Alhamdulillah wa syukrillah.. Marhaban yaa Ramadhan 1441 H. Begitu sayangnya Allah pada hamba dengan memberikan 1 bulan istimewa melebihi seribu bulan, bulan pengampunan, dan bulan edukasi totalitas kemanusiaan hamba. Persoalannya, apakah manusia mampu menggunakan ramadhan dengan bijak dan benar.

Sungguh di era milenial 4.0 trend modern, umat sangat intens membangun atribut agama dalam semua dimensi. Namun, atribut agama yang dipakai adakalanya dalam dimensi sempit sesuai kebenaran yang ditanamkan oleh komunitas (terbatas).

Bila hanya tataran intern, paham tersebut tidak menimbulkan masalah. Namun bila memahami kebenaran hanya milik komunitasnya dan di luar komunitas adalah paham yang salah, maka hal ini akan mengundang konflik yang sulit diselesaikan.

Ramadhan dengan seluruh dimensi keagungannya, menjadi media membangun dimensi kehambaan dan kemanusiaan yang bijak.

Dalam dimensi kehambaan, ramadhan melatih manusia untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap gerak nadinya. Meski manusia tak melihat, namun iman menyatakan hadirnya pengawasan Allah dalam kehidupan. Bukti nyata hadirnya keimanan ini tatkala manusia mempertahankan puasanya meski dalam keadaan sendiri. Melalui latihan ini, lahir sosok hamba yang hanif sesungguhnya.

Adapun dalam dimensi kemanusiaan, ramadhan melatih manusia menjadi sosok yang tawadhu’. Sebab, puasa pencerminan perasaan peduli pada sesama. Bagaimana rasa haus dan lapar mendera para dhuafa’. Ada yang memahami makna dimensi ini dalam batas teks dengan memperbanyak sedekah pada fakir miskin, namhn belum banyak memahami dalam makna kontekstual.

Dalam makna lebih luas, ramadhan melatih terbangunnya watak pribadi kehambaan dan kemakhlukan. Dimensi ini melahirkan hamba yang membawa kebajikan pada seluruh alam semesta. Pribadinya senantiasa tunduk pada Allah dan tawadhu’ pada sesamanya.

Ramadhan menghadirkan sejuta kebajikan. Kebajikan yang hadir selama ramadhan meruoakan bentuk cinta dan motivasi Allah pada hamba-Nya. Namun, bagi hamba yang telah terbangun karakter ramadhan sebagai ruh kepribadiannya, maka berbagai amalan yang dilakukan selama ramadhan tak pernah dihitung dalam transaksi ekonomi (keuntungan dannpahala), tapi dilakukan karena wujud kesyukuran atas nikmat Allah padanya.
Betapa tinggi keagungan ramadhan, namun acapkali dijalani dalam batas rutinitas menahan lapar dan dahaga. Bila hal ini terjadi, maka merugilah diri karena tak mampu memanfaatkan ramadhan secara benar.

Ramadhan hanya media melahirkan hamba yang tawadhu’. Namun, wujud sesungguhnya ramadhan ada pada setelah ramadhan berlalu. Bila ibadah pada saat ramadhan, maka prilaku tersebut baru pada proses. Sungguh mudah melihat hasil tempaan ramadhan pada diri.

Bukti sertifikat ramadhan akan terlihat pada diri hamba setelah ramadhan berlalu dengan watak ramadhan yang senantiasa terpelihara 11 bulan ke depan, baik gemuruh hati yang berzikir, kata yang bijak, dan prilaku yang santun dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin. Bila hal ini diperoleh, maka bahagialah hamba atas raihan kualitas diri yang ditempa selama ramadhan. Namun, bila bangunan prilaku hanya terjaga selama ramadhan, namun hancur pasca ramadhan, maka merugilah hamba.

Meski sebesar apapun pakaian keshalehan yang digunakan untuk menutupi kegagalan memperbaiki watak, pakaian tak akan mampu menutupinya karena keburukan watak jauh lebih besar dengan kezhaliman yang ditimbulkan. Lalu, dimanakah kita ? Hanya setiap insan yang memperoleh hidayah Allah yang mampu menilai diri secara benar.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.

Oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag
Ketua STAIN Bengkalis

Translate »