Kebahagiaan tertinggi adalah mengenal Allah swt. Orang yang mencari kebahagiaan, kemudian menemukan kebahagiaannya di luar mengenal Allah swt, maka ia belum mencapai puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaannya masih kelas menengah, atau bahkan termasuk kelas bawah. Atau bahkan, kebahagiaan semu.
Berjalan Di Tempat, Menemukan Kebahagiaan Semu
Karena belum menemukan kebahagiaan tertingginya, seseorang akan terus berpetualang mencari, dari satu kebahagiaan ke kebahagiaan yang lain. Anehnya, orang yang menemukan kebahagiaannya, misalnya, di dalam makanan, dan dia tahu bahwa makanan bukan kebahagiaan tertinggi, dia masih tetap memburu kebahagiaan pada makanan, meskipun dengan menu yang berbeda.
Inilah yang oleh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari di dalam Hikam-nya disebut min kaun ila kaun; dari kebahagian semu ke kebahagian semu yang lain. Mengapa, jika dia sudah tahu demikian, tidak mencari kebahagian di luar makanan. Mungkin dia sedang tak sadar bahwa dia sedang ‘berjalan di tempat’ dan tidak kemana-mana.
Mengapa tidak menggunakan pendekatan lain, jika pendekatan mencari kebahagiaan dengan menggunakan makanan tidak tercapai?
Makan, ya tetap makan. Tapi, jangan terlalu fokus pada kelezatan kuliner untuk menemukan kebahagiaan hidup. Berlibur, ya tetap berlibur. Tapi jangan terlalu fokus pada capeknya travelling atau menunggu berlibur untuk menemukan kebahagiaan. Di sinilah hebatnya kebahagiaan yang didapat dari mengenal Allah, bisa dirasakan di mana saja dan di setiap saat.
Berapa banyak orang yang ketika bosan, lalu mencari pelarian ke nonton film di bioskop untuk menemukan kebahagiaan. Berapa banyak pula orang yang menikmati liburnya ke kebun binatang untuk menemukan kebahagiaan.
Tentu saja, nonton di bioskop dan menikmati liburan di kebun bintang bukan sebuah langkah yang terlarang sama sekali. Hanya saja, mencari kebahagiaan tertinggi di sana hanya akan menemukan kesementaraan yang sangat sebentar.
Tulisan ini tak hendak mengajak untuk meninggalkan makan, karena tubuh wajib diberi makan. Atau meninggalkan liburan, karena jiwa manusia punya rasa bosan hingga harus berlibur. Hanya saja, pencarian kebahagiaan tidak boleh berhenti di dunia perut. Harus mencoba mencicipi kebahagiaan di atas level itu.
Mengenal-Nya, Tak Instan
Barangkali sudah terpikir untuk menggunakan pendekatan lain. Namun pendekatan lain itu dirasa tidak seinstan kelezatan makanan yang langsung bisa dicicipi. Iya, mengenal Allah swt tidak instan, meskipun bisa namun jarang. Jalan dan pendekatannya tidak secara langsung bisa dicicipi.
Berbeda dengan makanan, yang ketika matang, dan itu hanya butuh 2-3 jam, bisa langsung dicicipi kelezatannya. Mendekati Allah swt membutuhkan waktu tidak sebentar. Bagaimana mungkin sebentar dan instan, sedangkan ini adalah puncak dari semua kebahagiaan.
Mendapatkan cinta wanita yang kita cintai saja pengorbanannya ‘minta ampun’, apalagi mendapatkan cinta dari Tuhan alam semesta. Kebahagiaan yang diperoleh dari mengenal-Nya, melebihi berpuluh-puluh kali lipat dibanding memperoleh cinta dari gebetan kita.
Di saat seorang remaja bersungguh-sungguh mencintai gebetannya, apapun akan dilakukannya. Maka seharusnya begitu, usaha untuk mengenal Allah swt juga harus menggebu-gebu dan penuh antusias. Tapi tak usah kecewa, semua akan terbayar melebihi dari yang dibayangkan siapapun.
Semua Manusia Sudah Punya Persiapan Lengkap Untuk Mengenal-Nya
Tak banyak yang memahami bahwa kebahagiaan tertinggi adalah mengenal Allah, karena memang tak banyak yang merasakannya. Bahkan, meskipun sudah dijelaskan berkali-kali, sudah jarang orang yang percaya.
Celakanya, orang yang percaya pun, sudah terperdaya dan mulai ingin melupakan kebenaran ini. Padahal semua manusia, tulis al-Gazali di dalam Ihya’ Jilid 3 pada lembar pertama, memiliki persiapan yang lengkap untuk merasakan kebahagiaan tertinggi ini: mengenal Allah swt.
Sayangnya, mayoritas manusia terjebak di dalam kebahagiaan fisik, yang merupakan kebahagiaan terendah di alam semesta, karena memang semua manusia pernah merasakan kebahagiaan fisik ini.
Misalnya, saat lidahnya merasakan kelezatan aneka kuliner, minum kopi atau teh, dan lainnya. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kebahagiaan itu terletak di makanan dan minuman.
Maka tak usah heran, banyak orang yang memburu kelezatan makanan dan minuman berkilo-kilo jauh dari rumahnya, bahkan hingga ke luar negri. Hanya untuk mencicipi beberapa menit lidah menikmati kelezatan fisik.
Seperti dibenarkan oleh teori propagandanya Jozef Goebbels, bahwa kesalahan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran. Semua orang pernah merasakan kebahagiaan di saat mencicipi makanan.
Lalu, entah dari mana disimpulkan, bahwa kebahagiaan (tertinggi) itu terletak, misalnya, di makanan. Kesalahan ini terus diulang-ulang hingga akhirnya ‘terasa’ menjadi kebenaran.
Mengenal-Nya, Dengan Merayu-Nya
Setiap orang yang sampai kepada Allah, dia sampai kepada-Nya bukan karena usahanya, namun karena murni karunia dari-Nya. Manusia hanya merayu, siapa tahu Allah berkenan terbujuk rayuannya untuk memperkenal Diri-Nya kepadanya. Can no’ Kapodheng, kata orang Madura.
Sumber : qureta.com
Recent Comments