Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang ataupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Imam Syafi`i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan.

Secara antropologi, mahar dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan, karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga, seperti hilangnya tenaga kerja dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.

Banyak dalil yang memerintahkan untuk memberi mahar didalam Al-Quran dan Hadis, misalnya saja seperti dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 4, yang artinya “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang ingin kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh keberkahan”.

Juga dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 24 yang artinya “ Maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”. Al-Qurthubi mengatakan pemberian mahar tersebut tidak memberatkan seorang laki-laki atau secara suka rela.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh `Urwah dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda “Termasuk berkahnya seorang wanita, yang mudah khitbahnya (melamarnya), yang mudah maharnya dan yang mudah memberi keturunan” (H.R. Ahmad).

Yang dimaksud didalam hadis tersebut ialah wanita yang paling baik adalah wanita yang tidak memberatkan seorang laki-laki yang ingin melamarnya, tidak memberikan persyaratan mahar yang tinggi ataupun tidak di sanggupi oleh laki-laki yang ingin melamarnya.

Nabi Muhammad saw. juga memberikan mahar kepada istri-istrinya, adapun istri beliau yang pertama yakni Siti Khadijah, beliau memberikan mahar berbentuk onta dan jenisnya adalah onta betina merah, yang mana jenis onta ini adalah yang palik baik dan paling istimewa pada saat itu.

Mengenai jumlah berapa banyak bilangan onta yang diberikan Nabi Muhammad saw. kepada Siti Khadijah ada beberapa riwayat-riwayat, diantaranya ada yang mengatakan sebanyak 20, 21, 50 hingga ada yang mengatakan 100 ekor onta betina merah.
Dalam sebuah hadis dari Aisyah dia berkata ”Mahar Nabi kepada istri-istrinya adalah 12 uqiyah dan 1 nasy, maka Aisyah bertanya kepada Abdurrahman, tahukah engkau berapa 1 nasy itu? Abdurrahman menjawab: tidak, Aisyah berkata 1 nasy ialah setengan Uqiyah, jika dijumlahkan semuanya maka 500 Dirham”.

Pada intinya Nabi Muhammad saw. memberikan mahar kepada setiap istri-istri beliau. Kita sebagai umatnya sudah sepatutnya untuk mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan Nabi kita Muhammad saw sebagai salah satu syariat dalam agama Islam.

Akan tetapi tidak semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad menjadi kewajiban bagi kita umatnya. Sebagian dari perilaku beliau ada yang statusnya menjadi sunnah, dalam arti kalau kita kerjakan mendapat pahala tetapi kalau ditinggalkan tidak mendapat dosa.

Prilaku yang Nabi Muhammad saw. kerjakan akan tetapi haram untuk kita mengerjakannya ialah, seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Jadi, meski perbuatan itu adalah perbuatan Nabi saw. tetapi belum tentu hukumnya menjadi wajib, bisa saja menjadi sunnah, makruh ataupun haram.

Bagi mereka yang memliki harta lebih, bisa memberikan mahar dan menyelenggarkan pesta walimah dengan nilai yang ratusan bahkan miliaran. Tentu perbuatan ini tidak salah, jika orang tersebut memang sanggup dan memiliki kekayaan yang banyak serta mengikut sunnah Nabi saw. dalam memberikan mahar.

Namun, Nabi juga pernah menikahkan seorang sahabat tidak dengan nilai yang besar. Ada yang hanya dengan sepasang alas kaki, ada juga dengan jasa mengajarkan Al-Quran. Jadi, pemberian mahar juga disesuaikan dengan keadaan orang yang bersangkutan.

Dan dari pihak yang diberikan maharpun (wanita) tidak meminta mahar yang banyak dan tidak disanggupi oleh si pemberi mahar (laki-laki). Hukum memberikan maharpun berbeda-beda setiap mazhab, tergantung imam mazhab siapa yang diambil.

Imam Syafi`i dan Imam Hambali sepakat bahwa tidak ada batas minimal dalam harga mahar. Sehingga apa saja yang layak diperjual belikan ataupun alat pembayaran dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga disepakati Umar bin Khattab dan Abdullah ibn Abbas.

Imam Syafi`i dalam kitabnya Al-Umm, mengatakan bahwa setiap barang yang bisa diual atau disewakan dengan suatu harga, maka barang tersebut bisa dijadikan mahar. Sebaliknya, jika barang itu tidak mempunyai harga dan tidak bisa disewakan, maka barang tersebut tidak layak dijadikan mahar.

Sedangkan dalil, Imam Syafi`i mengambil dari dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 24 yang artinya “ Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”.

Ayat diatas menjelaskan bahwa wajib atas orang yang menikah lagi mencampuri untuk memberikan mahar. Baik dalam bentuk apapun, selagi barang yang dijadikan mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai. Beliau juga merujuk kepada hadis Nabi yang menikahkan sahabat dengan mahar berupa alas kaki dan jasa.

Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Maliki berpendapat bahwa tidak disebut sebagai mahar kecuali ada nilai minimalnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Said bin Jubair, An-Nakha`i, Ibnu Subrumah dan lainnya. Namun berapa nilai mahar yang ditetapkan itu, mereka berbeda pendapat.

Imam Hanafi menyebutkan, minimal mahar yang diberikan adalah senilai 10 dirham, beliau mengambil dalil dari Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 24 yang artinya “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina”.

Kaitan ayat ini dengan bilangan 10 dirham adalah bahwa ayat ini mengharuskan mahar itu berbentuk harta. Dan secara `urf (kebiasaan) yang disebut harta bukan beberapa butir gandum, melainkan minimalnya 10 dirham menurut kebiasaan pada zaman itu.

Sumber : qureta.com

Translate »