Al-Qur’an sebagai kitab suci, ternyata tidak hanya menandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syariah, dan akhlak semata, akan tetapi juga memberikan perhatian terhadap perkembangan ilmu pengatahuan. Hal ini memicu munculnya satu bentuk penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni tafsir ilmu.

Tafsir ilmu sendiri ialah satu bentuk penafsiran ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul saat sekarang. Seperti halnya ilmu biologi, sosiologi, ekonomi, fisika, serta ilmu-ilmu lain yang berkembang di era modern.

Model tafsir ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa al-qur’an merupakan kitab suci yang didalamnya mengandung berbagai informasi ilmu, baik yang terkait dengan persoalan agama maupun isyarat-isyrat ilmu pengetahuan.

Tafsir ilmu sebenanya sudah muncul sejak abad keempat Hijriyah, tepatnya pada masa Daulah Bani Abbasiyah pada masa Khalifah al-Makmun dengan adanya kegiatan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya para ilmuwan dan filosof Yunani ke dalam bahasa Arab.

Sejak itulah umat Islam mulai banyak bersentuhan dengan teori-teori ilmiah para ilmuwan dan filosof Yunani. Mereka mulai melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan teori-teori ilmiah dan pemikiran-pemikiran filsafat.

penafsiran inipun lebih terkesan banyak berbicara mengenai ilmu dan filsafat dari pada tafsir itu sendiri. Taruhlah, tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakh al-Razi sebagai contohnya, yang lebih banyak mengurai masalah-masalah ilmu dan filsafat.

Penafsiran ilmiah ini menjadi marak dan mengalami puncaknya pada akhir abad ke-19 M sampai sekarang, dimana perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang dengan pesatnya dan seakan tidak terbendung di zaman sekarang.

Akan tetapi, hal yang kurang menggembirakan tentunya adalah dari faktor penyebab maraknya penafsiran ilmiah saat itu, yakni adanya inferiority complex (rasa kurang percaya diri) sebagian umat Islam ketika harus berhadapan dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai Barat.

Setiap kali ada teori-teori atau penemuan-penemuan baru di dunia ilmu pengetahuan, para mufasir mengatakan bahwa al-Qur’an pun telah berbicara mengenai hal tersebut. Mereka kemudian berusaha mencarikan ayat al-Qur’an yang sesuai. Sehingga terkesan mencocok-cocokan dengan teori dan penemuan yang ada.

Pandangan para ahli tafsir atau ulama mengenai tafsir ilmu ini, menuai berbagai pro-kontra. Ada yang menerima atau bahkan mendukung dan ada yang menolak adanya tafsir ilmi dengan beberapa pendapat yang masing-masing mereka utarakan.

Diantara para ulama yang mendukung tentang penafsiran bercorak ilmiah adalah Imam Al-Ghazali (w. 505 H). Ia mengutip sebuah riwayat dari IbnMas’ud, “barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu orang yang terdahulu dan masa akan datang, maka hendaklah ia mendalami atau mentadabburkan Al-Qur’an.”

Fakhruddin Ar-Razi (w. 543 H) karyanya di bidang tafsir adalah Mafâtihul Ghaib. Dalam tafsirnya, Ar-Razi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu logika sehingga ia mencampurkan tafsirnya dengan ilmu kedokteran, logika, dan filsafat. Termasuk salah satunya mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan istilah-istilah ilmiah.

Adapun ulama yang menolak penafsiran bercorak ilmiah ini seperti, Sayyid Quthub, menurutnya, sesungguhnya hakikat yang ada di dalam Al-Qur’an itu bersifat mutlak, pasti, dan final. Sedangkan ilmu pengetahuan atau kajian manusia secanggih apapun perangkatnya, hakikatnya akan tetap belum final.

Bahkan Syekh Syaltut dalam pembukaan tafsirnya ia telah mengecam sekelompok cendikiawan yang menguasai ilmu pengetahuan kontemporer atau mengadopsi teori-teori ilmiah, filsafat, dan lain sebagainya. Yang kemudian menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kerangka ilmu pengetahuan yang ia kuasai.

Selain dua sikap ulama diatas, ada pula ulama kontemporer yang bersikap moderat, yakni menerima dengan memberikan syarat tertentu. Seperti halnya Al-Maraghi dan ulama tafsir dari Indonesia Muhammad Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”.

Al-Maraghi berpendapat :“Kita tidak boleh menarik ayat-ayat Al-Qur’an kepada ilmu sains, atau menghubungkan sains dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan sains jika lahiriyah ayat sejalan dengan fakta-fakta yang pasti.”

M. Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” memberikan beberapa ketentuan. Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah bahasa Arab. Kedua, memperhatikan konteks antara kata atau ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan.

Banyak kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para mufasir, baik yang disusun pada masa awal kemunculannya maupun pada masa kontemporer, yang dapat dikategorikan sebagai al-tafsir al-‘ilmy diantaranya berikut: Jawahir alQur’an karya Al-Imam al-Ghazali, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi.

Al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’an dan Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil karya Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan Allah al-Kawniyyah karya Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi, Al-Qur’an wa al-Ilm al-Hadits karya Abd al-Razzaq Naufal, dan masih banyak lagi kitab-kitab tafsir yang ditulis melalui pendekatan ilmiah.

Contoh penafsiran dengan metode ini seperti penafsiran surah al-Mu’minun ayat 14, “kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang….”

Kata “alaqah” (segupal darah) dalam ayat ini ternyata memiliki makna lain yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yakni “leech (lintah)” dan “suspended (yang menggantung)”. Kedua makna lain ini juga ternyata sesuai dengan apa yang terjadi dalam kandungan setelah bertemunya sperma dan sel telur.

Ketika usia 22-25 hari kehamilan. kondisi embrio pada masa ini berbenuk seperti lintah dengan panjang 25 milimeter dan telah terhubung dengan tali pusar bayi sehingga menjadikannya menggantung pada rahim seorang ibu. Penemuan yang baru ditemukan akhir-akhir ini ternyata sudah dibicarakan oleh a-Qur’an sejak 14 abad yang lalu.

Sumber : qureta.com

Translate »