Pandemik bukan satu-satunya musuh manusia, namun pandemik telah banyak mencuri perhatian warga dunia.
Berdasarkan data Worldometers, sampai pukul 16.00 WIB, 7 April 2020, jumlah total kasus positif corona di seluruh dunia telah menyentuh angka 1.352.266 pasien. Tidak ada tanda-tanda apa pun corona virus ini akan redah.
Di Indonesia sendiri, telah menyentuh angka 2.313 pasien positif virus corona. Jumlah ini setara dengan 84,47 persen dari total kasus positif Covid-19 yang sudah ditemukan di tanah air.
Tingginya angka kematian karena pandemik covid-19 ini membuat kita makin hari makin cemas. Ditambah dengan penyajian informasi begitu bias yang banyak mewarnai media massa maupun media sosial.
Tercatat, sejak Presiden Jokowi mengumumkan adanya pasien terkonfirmasi positif corona tanggal 2 Maret 2020, sontak membuat kepanikan di mana-mana.
Langkah demi langkah langsung dilakukan pemerintah dalam upaya pencegahan covid-19 tersebar di pelosok negeri, mulai dari membuat imbauan jaga jarak, social distancing, mengendalikan kerumunan dengan tagline di rumah saja, menjaga perbatasan wilayah, serta physical distancing, penyemprotan desinfektan, rapid tes massal, hingga terakhir mewajibkan seluruh warga negara memakai masker, tidak malah menurunkan angka positif corona, dan malah hanya membuat kita makin panik.
Wacana lockdown dan karantina wilayah pun mulai bergelora. Seakan-akan bahwa aturan tersebut akan menekan laju penyebaran covid-19. Kendati demikian, mungkin inilah cara yang terbaik bagi kita melawan pandemik.
Saat ini pemerintah terus mengimbau agar masyarakat tidak terlalu panik, namun tetap waspada. Namun, pemerintah mungkin lupa, bahwa angka yang terus meningkat tiap hari juga menandakan bahwa pemerintah terlihat santai dalam mencegah penyebaran corona.
Belum lagi aturan demi aturan yang dikeluarkan. Betul itu adalah salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah penyebaran covid-19, namun terdapat beberapa kekeliruan dalam aturan tersebut.
Seperti surat edaran penutupan semua warkop, grosir, dan toko-toko jualan lainnya, semua saling tumpang tindih, dan tidak adanya kepastian di dalamnya.
Surat edaran seperti pembatasan waktu warung kopi misalnya, yang hanya boleh beraktivitas dari pukul 08.00 hingga petang sore 17.00, yang saling tumpang tindih dengan aturan dilarang nongki, atau berkumpul melebihi kapasitas 10 orang.
Penutupan semua pasar, yang hanya memperbolehkan pedagang sembako saja, selain dari itu harus tutup, juga menjadi aturan yang gamang. Sebab hal itu tidak menjamin tidak akan terjadinya perkumpulan, dan tentu lagi-lagi legalitas aturan dilarang berkumpul jadi ambyar.
Belum lagi alat-alat kesehatan untuk mendeteksi corona belum terbagi rata pada seluruh daerah. Sehingga orang yang tidak terdata positif corona kemungkinan banyak.
Sedangkan pemerintah dalam konferensi pers-nya mengungkapkan bahwa peningkatan angka pasien yang terkonfirmasi kebanyakan dari Orang Tanpa Gejala (OTG).
Informasi tentang status OTG pun juga masih terdapat perbedaan. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto, jelas mengatakan mereka adalah orang-orang tanpa gejala, yaitu orang-orang yang dalam tubuhnya telah terdapat virus dan berkembang biak, kemudian menyebar ke sekitarnya melalui percikan ludah, droplet, pada saat dia berbicara, bersin atau batuk.
Dari pernyataan itu dapat dipastikan bahwa OTG (Orang Tanpa Gejala) merupakan pasien yang juga positif terjangkit virus corona yang dapat menyebarkan virus pada sekitarnya.
Hal ini malah berbeda yang terjadi di beberapa daerah, yang dimana OTG (Orang Tanpa Gejala) disamakan statusnya dengan Orang Dalam Pemantauan (ODP), sehingga hanya dianjurkan untuk karantina mandiri, tanpa pemeriksaan apa pun. Koordinasi dan komunikasi yang tidak satu titik ini hanya malah menambahkan kepanikan.
Terbukti, dengan tidak adanya aksi preventif yang dilakukan pemerintah seperti di atas, kecemasan warga terhadap penyebaran covid-19 ini makin tinggi. Masker dan hand sanitizer serta bahan-bahan antiseptic pun jua telah habis di pasaran. Di beberapa daerah, stok makanan pun mulai terbatas.
Kendati demikian, pencegahan penyebaran covid-19 tidak serta hanya tugas pemerintah saja. Ini adalah pandemik dan sudah menjadi bencana dunia, yang sudah pasti membutuhkan kekuatan dan komitmen bersama. Karena ini adalah tugas bersama, kita harus membangun asas kebersamaan untuk capaian yang harus segera diselesaikan dalam menghadapi covid-19.
Sikap terbuka dengan bersama-sama berpacu melawan corona merupakan titik pangkal agar persoalan ini dapat teratasi.
Sikap menyerahkan penanganan covid-19 hanya tugas pemerintah malah membuat kita merugi dengan sendirinya. Sebab Covid-19 merupakan wabah yang tidak hanya menyerang segelintir orang. Covid-19 tidak memiliki mata untuk melihat jabatan dan kekayaan. Dia menyerang semua orang tanpa pandang bulu.
Mungkin yang paling banyak disayangkan, di tengah-tengah penyebaran corona, sebagian masyarakat malah menjadikan hal ini sebagai ladang bisnis. Mereka tidak memusingkan penyebaran corona, namun mereka lebih memusingkan barang dagangnya tidak laku.
Tak dapat dimungkiri, psikologis masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kepanikan yang muncul di masyarakat Indonesia sudah pasti akan terjadi. Informasi dan berita hoaks yang merajalela kadang dijadikan alat untuk mempropagandakan masyarakat Indonesia untuk memunculkan reaksi yang berlebihan.
Pola pemikiran masyarakat Indonesia yang lebih condong eksklusif dengan serangan berita-berita yang mengatasnamakan kepentingan kemanusiaan, agama ternyata hanya bualan kepentingan bisnis belaka.
Nilai-nilai kemanusiaan yang harusnya menjadi sarana untuk melawan pandemik lebih diutamakan, ketimbang meraup keuntungan di atas penderitaan yang lain. Kalau semuanya juga ikut panik, pasti kita pun juga akan panik.
Sumber : qureta.com
Recent Comments