Hidup manusia selalu berkembang dari waktu ke waktu. Seiring dengan itu, manusia semakin memiliki banyak keperluan sehingga memungkinkan pula meningkatnya kemakmuran yang dapat diraihnya. Dalam kaitan ini, Khalifah Umar bin Khattab berusaha menaikkan gaji para bawahannya, baik yang berada di Madinah maupun di luar kota Madinah. Namun, yang menghairankan sekaligus mengangumkan adalah ia tidak menaikkan gaji untuk dirinya sendiri.

Suatu ketika, terdengar informasi bahwa untuk memenuhi keperluan hidupnya Khalifah Umar sampai harus berhutang. Maka, para sahabat seperti Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan Zubair, pun berkumpul. Mereka bersepakat untuk merundingkan dan meminta kepadanya agar ia menaikkan gaji dan tunjangan untuk dirinya sendiri. Namun, akhirnya mereka mengurungkan maksud itu karena mereka tahu, bahwa dalam masalah ini Khalifah Umar mudah marah dan bersikap keras.

Usman kemudian berkata, “Baiklah, kalau begitu kita selidiki keadaannya dari jalan belakang.”

Mereka kemudian menemui salah seorang anak Umar, iaitu Hafshah, yang merupakan janda dari Rasulullah saw. Mereka meminta agar menyelidiki keadaan ayahnya dan menyimpan rahsia ini.

Hafshah menemui ayahnya dengan hati yang cemas. Dengan lembut ia berkata kepada ayahnya tentang kenaikan gaji untuknya. Namun, Umar bertanya, “Siapa yang mengutusmu menemui aku untuk membicarakan hal ini?”

“Tidak seorang pun,” jawab Hafshah.

Dengan tegas Umar berkata, “Tidak mungkin, kamu pasti dikirim oleh sekelompok orang yang seandainya aku ketahui siapa mereka pasti akan aku tuntut!”

Umar berkata lagi kepada anaknya itu, “Kamu adalah istri Rasulullah, berapa helaikah pakaian yang disediakannya untukmu di rumah?”

“Dua helai,” jawab Hafshah.

“Lalu, makanan apa yang paling enak yang pernah dimakannya?” tanya Umar lagi.

“Roti empuk yang terbuat dari tepung gandum dan diolesi oleh minyak samin,” jelas Hafshah.

Umar masih bertanya lagi, “Kasur macam apa yang ada di rumahmu?”

Hafshah menjawab: “Kain tebal yang kami bentangkan di musim panas. Sementara, kalau tiba musim dingin, kami bentangkan separuhnya dan kami ambil sebagai selimut sebagiannya lagi.”

“Wahai Hafshah, sampaikanlah kepada orang yang menyuruhmu bahwa perumpamaan Ayah dengan kedua sahabat Ayah, yaitu Rasulullah dan Abu Bakar seperti tiga orang yang bersahabat yang menempuh satu jalan. Yang pertama telah lewat dengan membawa bekal dan sampai di rumah-Nya, serta yang kedua telah lewat dan sampai pula di rumah-Nya dengan membawa bekal. Maka, orang yang ketiga, sekiranya menetapi jalan yang dirintis kedua sahabatnya yang terdahulu itu serta rela membawa bekal yang menjadi hak dan miliknya, maka ia pun akan berhasil menyusulnya.”

Dengan sekelumit kisah di atas, memang benarlah apa yang dikatakannya, “Bila rakyat lapar, akulah yang pertama merasakannya. Sementara, bila rakyat kenyang, akulah yang terakhir merasakannya.”

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:

1. Pemimpin idealnya memang harus bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyat dan bawahannya.

2. Rasa tanggungjawab itu membuat pemimpin tidak berorientasi pada kesenangan diri dan keluarganya.

Oleh: Drs. H. Ahmad Yani

Translate »