Seorang pemimpin bukanlah figure yang kebal terhadap kritik. Kerananya, pemimpin yang sejati biasanya selalu mendambakan adanya masukan dan saran dari orang-orang yang dipimpinnya, baik yang terkait dengan dirinya secara langsung maupun staf-stafnya. Sebagai seorang khalifah, Umar bin Khattab juga amat menghargai keberanian rakyatnya dalam mengungkap segala kejanggalan, bagaimanapun cara mengungkapkannya. Pasalnya, bagi seorang pemimpin, yang penting adalah masalah yang dikemukakan dan bukan cara mengungkapkannya.
Suatu ketika, Umar sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba saja, datang seorang lelaki yang di tangannya terdapat rambut bekas cukuran. Dengan wajah yang kesal, orang itu melemparkan rambut yang dipegangnya ke dada Khalifah Umar.
Para sahabat tentu saja menjadi kesal, begitu pula Umar yang menjadi sasaran pelemparan. Namun, Umar berhasil mengendalikan emosinya dan ia pun mencegah agar para sahabat jangan sampai melampiaskan kemarahan mereka.
Umar memungut rambut itu dan orang itu dipersilahkannya untuk duduk dan ditunggui sampai amarahnya reda. Umar kemudian bertanya, “Apa sebenarnya yang terjadi pada dirimu?”
“Demi Allah, bila engkau berbohong, api neraka taruhan- nya, wahai Umar,” tegas orang itu dengan nada marah.
Umar menjawab, “Benar, demi Allah seandainya aku berbohong, api neraka sebagai taruhannya. Akan tetapi, apa masalahnya?”
Orang itu kemudian menjelaskan bahwa Gubernur Abu Musa Al Asy’ary menjatuhkan hukuman kepadanya dengan dicambuk dan dicukur rambutnya dengan pisau cukur, padahal ia tidak merasa bersalah.
Umar menjadi paham apa masalahnya. Kemudian, sambil melirik semua yang hadir, Umar berkata, “Seandainya seluruh rakyat memiliki keberanian seperti saudara kita ini, aku lebih senang daripada semua jizyah yang pernah dikaruniakan Allah kepada kita.”
Setelah itu, Umar berkirim surat kepada Abu Musa agar ia memberi kesempatan kepada orang itu untuk mengambil hukum qishas.
Ada kes lain yang terjadi pada Khalifah Umar tentang bagaimana ia menghargai keberanian menyatakan pendapat. Suatu ketika, beliau melakukan perjalanan bersama Jarud al Abdi. Tiba-tiba saja, seorang wanita berseru, “Tunggu sebentar wahai Umar. Ada yang hendak kusampaikan.”
Umar berpaling ke wanita itu, dan dengan penuh perhatian ia mendengar wanita itu berbicara, “Wahai Umar, aku masih ingat ketika engkau masih dipanggil Umeir, bergulat dengan anak-anak muda di pasar Ukaz. Tidak berapa lama kamu telah bernama Umar, kemudian tidak berapa lama kemudian kamu telah dipanggil Amirul Mukminin. Oleh sebab itu, takutlah engkau kepada Allah mengenai rakyat dan ketahuilah bahwa barangsiapa yang takut akan mati, tentu ia juga akan takut pada kealpaan diri.”
Mendengar hal itu, Jarud berkata kepada wanita itu, “Berani benar kamu berkata lancang kepada Amirul Mukminin!”
Namun, dengan senyum yang mengembang dan seraya menarik tangan Jarud, Umar berkata, “Biarkan dia, hai Jarud”
Umar melanjutkan lagi pembicaraan “Kamu belum kenal dirinya. Inilah Khaulah binti Hakim yang suaranya didengar Allah swt ketika ia menggugat Rasulullah tentang suaminya dan mengadukannya kepada Allah. Maka, demi Allah, Umar lebih pantas lagi mendengar tegurannya.”
Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
2. Seorang pemimpin harus memberikan kebebasan berpendapat agar masyarakat punya keberanian berpendapat meskipun kritik kepada pemimpin.
2. Siapapun yang menyampaikan kritik dan pendapat yang benar, pemimpin harus menerima pendapat itu meskipun tidak enak bagi dirinya.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments