Hadiah memang boleh  menjadi tanda cinta bila dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Namun, bila dikaitkan dengan jabatan atau kedudukan seorang pemimpin, jelas hal itu amat terkait dengan suap menyuap atau sogok menyogok. Karenanya, Khalifah Umar bin Khattab amat mempersoalkan bila diberikan kepadanya atau keluarganya, meskipun hal itu diberikan oleh orang yang sangat baik.

Ketika Umar pulang ke rumahnya, didapati ada kain sajadah yang panjangnya tidak lebih dari satu setengah meter. Kepada istrinya Atikah, ia bertanya, “Dari mana engkau peroleh kain itu?.”

“Hadiah untuk kita dari Abu Musa Al Asy’ari,” jawab Atikah.

Abu Musa?,” tanya Umar hairan. “Panggil dia kemari! pintanya.

Abu Musa datang dengan hati yang cemas. Ketika ia tiba, didapatinya kain sajadah itu ada di tangan Umar dan sikapnya bagaikan orang yang hendak menerkam dirinya. “Jangan engkau buru-buru menyalahkan aku, wahai Amirul Mukminin,” pinta Abu Musa.

Akan tetapi, Umar segera menyalahkannya dan melemparkan sajadah itu kepadanya seraya berkata, “Apa yang mendorongmu untuk memberi kami hadiah?. Ambil kembali karena kami tidak membutuhkannya!.

Apa yang dilakukan Umar memang telah dicontohkan oleh pendahulunya, Abu Bakar Ash Shiddik. Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, sesudah Romawi dan Persia ditaklukkan, maka penduduknya diberikan pilihan untuk masuk Islam atau membayar jizyah (pajak bagi penduduk non-Muslim) sebagai jaminan keamanan yang besarnya sama dengan upah tentara penjaga kota. Namun, ketika pasukan Muslim tidak bertugas lagi di kota Himsha, pajak itu pun dikembalikan lagi kepada rakyat melalui pemimpin masyarakat. Abu Bakar berkata, “Kami mengambilnya sebagai upah perlindungan. Karena kami meninggalkan kalian, maka gugurlah hak kami terhadapnya.”

Akan tetapi, lantaran ternyata mereka merasa seriang dengan kepemimpinan kaum Muslimin, maka tokoh-tokoh masyarakat di sana berkata: “Ambillah sebagai hadiah!”

la menjawab: “Kami tidak menerima hadiah.”

Mereka bertanya: “Mengapa, bukankah Nabi kalian menerima hadiah?.”

la menjawab, “Beliau Nabi yang suci. Bagi beliau, itu merupakan hadiah. Namun, dalam kedudukan kami sekarang, itu namanya sogok.”

Mereka berkata, “Kami akan menyimpannya sampai kalian datang lagi kepada kami.”

Begitulah, kehati-hatian pemimpin dalam masalah harta sehingga tidak mahu menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:

1. Para pemimpin dan pejabat harus berhati-hati dalam mendapatkan harta agar tidak bercampur dengan yang syubhat apalagi haram.

2. Hadiah yang berkaitan dengan jabatan termasuk dalam kategori sogok yang tidak boleh diterima.

Oleh: Drs. H. Ahmad Yani

Translate »