Oleh: Samsul Nizar

Bagi pengguna angkutan umum (bus) jarak jauh, sopir dan kondektur merupakan sosok yang tak asing lagi. Di angkutan kereta api dikenal sosok marsinis dan kondektur, di angkutan laut dikenal sosok nakhoda dan kelasi, sedangkan di pesawat hadir sosok pilot dan pramugari. Kehadirannya hanya beda nama tapi memiliki fungsi dan tugas yang sama. Keduanya memegang peranan penting bagi menghantarkan penumpang dengan selamat ke tujuan yang ditetapkan.

Sopir yang bijak mampu menguasai kendaraan dan mengetahui seluk beluk medan yang dilaluinya. Dengan keahliannya, para penumpang merasa nyaman selama perjalanan. Sedangkan kondektur yang baik perlu menyapa dan siaga membantu penumpang yang memerlukan bantuan. Hanya harmonisasi antara supir yang bijak dengan kondektur yang ramah dan amanah akan menjadikan perjalanan aman dan nyaman untuk ditumpangi.

Bagi para penumpang, sosok mereka bagaikan “pahlawan” yang menghantarkan ke tujuan dengan selamat. Namun, bila sopir dan kondektur kurang piawai, membawa kendaraan sesuka hatinya (ugal-ugalan), tidak harmonis, dan tanpa ilmu atau adab, maka angkutan umum tak lagi menghadirkan kenyamanan dan layak ditumpangi. Perjalanan hanya menyisakan kesengsaraan dan ketakutan yang mencekam.

Sosok sopir dan kondektur pada hakikatnya merupakan profesi untuk beribadah pada-Nya (vertikal) dan berbuat kebajikan pada sesama (horizontal). Sebab, ketika penumpang nyaman dan selamat sampai ketujuan, maka berarti ia menyampaikan hajat (harapan) bersama. Hal ini merupakan ibadah yang akan diraihnya. Rasulullah pernah bersabda : “barangsiapa yang membantu hajat saudara-nya, maka Allah akan selalu membantunya dalam (memenuhi) hajatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, bila sopir dan kondektur melanggar aturan, ugal-ugalan dan tidak amanah, maka ia akan berakibat kecelakaan dan penderitaan bagi penumpangnya. Bila hal ini yang dilakukan, maka Allah akan menimpakan kesulitan baginya (dosa). Hal ini diingat-kan Allah melalui firman-Nya : “Orang-orang yang menyakiti mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, sungguh, mereka telah menanggung kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. al-Ahzab: 58).

Belajar dari sosok sopir dan kondektur (berikut varian sebutan lainnya), ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dalam kehidupan, antara lain: Pertama, Sopir harus berilmu, taat aturan, dan rambu-rambu jalan. Sertifikat mengemudinya bukan sekedar ada tapi melalui cara ilegal. Bila sopir melanggar dan ugal-ugalan, maka potensi kecelakaan akan sangat tinggi.

Dalam Islam, posisi sopir bagaikan pemimpin. Untuk itu, ketika sopir mematuhi peraturan, maka kondektur dan penumpang harus mentaati instruksinya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu” (QS. an-Nisa’ : 59).

Ayat di atas turun pada saat Ammar Ibn Yasar menjamin seorang musuh sebagai tawanan. Sebab, ia telah masuk Islam. Namun, kebijakan Ammar tanpa sepengetahuan Khalid bib Walid sebagai pimpinan pasukan. Seyogyanya, Ammar bermusyawarah terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan. Demikian pula ketika kondektur mengambil tindakan, maka perlusepengetahuan sopir terlebih dahulu. Bukan melangkahi sopir.

Kedua, Sopir dan kondektur harus mengerti tugasnya untuk mengoperasikan, “mencintai”, dan menjaga bus agar penumpang nyaman dan selamat sampai tujuan. Keduanya harus tau kondisi kendaraan yang akan dioperasikan, standard pelayanan yang perlu diberikan, dan medan yang akan dilalui. Sopir yang baik memberikan keputusan yang terbaik. Tapi, bila supir yang ugal-ugalan dan melanggar rambu-rambu akan menyebabkan kecelaka-an. Sifat ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Katakanlah : Apakah di antara sekutumu ada yang membimbing kepada kebenaran ?. Katakanlah, Allah-lah yang membimbing kepada kebenaran. Maka kebenaran itu layak untuk diikuti, Tuhan yang membimbing kepada kebenaran itu , ataukah orang yang tidak mampu membimbing bahkan perlu dibimbing ? Maka mengapa kamu (berbuat demikian) ? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS.Yunus : 35).

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan pilihan atas pembimbing atas tuntunan yang ada. Pilihan untuk mengikuti pembimbing (sopir *pen) yang menuntun jalan kesesatan atau sosok penuntun jalan kebenaran. Andai kewenangan sopir didasarkan komunitas kebenaran, maka keselamatan yang akan diraih. Namun, bila supir memilih atau dipengaruhi pada komunitas yang keliru, maka kehancuran yang akan dipetik.

Ketiga, Sopir fokus pada tugasnya, bukan cawe-cawe tugas kondektur agar memperoleh fee tambahan. Atau sebaliknya, supir ingin bersantai pada posisinya dengan menyerahkan tugas menyetir kendaraan kepada kondektur. Atau, kondektur yang “mengambil wewenang” dan melangkahi supir. Akibatnya, bus yang dibawa berpotensi mengalami kecelakaan.

Keempat, Sopir dan kondektur perlu dilakukan tes dan ditelusuri rekam jejaknya, baik fisik, kepribadian maupun kebiasaannya. Bila sopir dan kondektur dipilih hanya disebabkan alasan “kekerabatan, memo, balas budi” atau sekedar mengisi kekosongan kerja tanpa perduli kualiti kemampuannya, maka seluruh penumpang akan binasa. Sopir tak bisa sekedar coba-coba. Sebab, penumpangnya manusia yang memiliki hak hidup. Sedangkan kondektur perlu memiliki ilmu komunikasi yang baik, sebab penumpang adalah manusia yang perlu dimanusiakan, bukan haiwan yang hanya perlu diangkut. Untuk itu, penyerahan tanggungjawab kepada sopir dan kondektur yang profesional dan amanah atas tugasnya sangat diperlukan (diutamakan).

Kelima,  Sopir perlu ketegasan dalam menempatkan kondektur. Andai kondektur bermasalah dan dikhawatirkan menjadi “bumerang” dalam tugasnya, maka supir harus berani menolak kehadiran kondektur yang akan membantunya. Namun, bila sopir tau secara pasti karakter negatif si kondektur (suka mencopet barang penumpang, memanipulasi bon minyak dan jumlah penumpang, atau berkata kasar),  tapi tetap memperkerjakannya, maka sikap sopir yang demikian patut dicurigai. Bisa jadi sikap sopir merupakan bentuk “balas budi”, terpaksa, atau berperilaku sama.

Andai penempatan sosok sopir dan kondektur pada sebuah kendaraan umum saja perlu kehati-hatian, apatahlagi penempatan pemegang amanah yang mengurusi hajat manusia yang lebih luas. Sopir bukan sebatas mampu membawa kendaraan dan kondektur setakat penyelesaian administrasi atau melayani para penumpang. Keduanya perlu dilakukan tracking atas karakter, tes kemampuan yang dimiliki, dan dievaluasi kinerjanya secara periodik. Apatahlagi terhadap sopir dan kondektur “titipan” perlu lebih diwaspadai. Namun, semua terkadang lepas dari perhatian pemilik kendaraan.

Sebab, perusahaan kalanya hanya lebih mengedepankan keuntungan materi.

Agaknya, fenomena sopir dan kondektur kalanya wujud cermin fenomena profesi yang lainnya. Penempatan tugas supir dan kondektur bukan sekadar “coba-coba” atau sebatas batu loncatan menjelang ada pekerjaan lain. Keduanya perlu dipilih dan ditetapkan secara profesional, serta terlebih dahulu dilihat rekam jejaknya (trade record). Andai karakternya teruji dan memiliki kemampuan profesional mumpuni, maka dimungkinkan kendaraan dan penumpang akan selamat sampai ketujuan. Sebab, tugasnya berkaitan langsung dengan keselamatan dan nyawa manusia. Ketika sopir dan kondektur yang berkaitan ruang terbatas perlu ditelusuri rekam jejak dan prestasinya, apatahlagi “sopir dan kondektur” yang berkaitan ruang tanggungjawab pada profesi yang lebih luas. Begitu urgennya memilih dan memilah sosok sopir dan kondektur –berikut semua amanah lainnya–, maka wajar bila Rasulullah SAW secara tegas mengingatkan melalui sabdanya : “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan ?’ Nabi SAW menjawab : “jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran-nya” (HR. Bukhari).

Sungguh  setiap amanah yang diemban merupakan tanggungjawab mulia. Dalam realita, ada 3 (tiga) alasan seseorang menerima amanah, yaitu : (1) ia dipandang berkemampuan, dinilai jujur, dan konsisten unruk menjaga amanah yang akan diberikan. Tipikal ini merupakan sosok pembangun peradaban yang selalu dinantikan. (2) sosok yang awalnya jujur, namun tergerus meng-khianati amanah yang diberikan. Ia tak mampu mewarnai dan memperbaiki kondisi negatif,  tapi terwarnai dan terpengaruh yang memperparah kondisi yang ada. Tipikal ini merupakan sosok yang mengkhianati amanah yang diberikan. (3) menggunakan asesories keshalehan dan retorika palsu untuk memper-oleh amanah. Asesories kemunafikan ini bisa dalam wujud personal style maupun “titipan” penuh kepentingan. Alasan ini acapkali melukai kepercayaan publik yang secara jelas tau kualitinya. Namun, melalui kekuatan “lobi-lobi” dan surat sakti penuh ambisi, ia gunakan jurus “muka tembok” atas semua penilaian yang ditujukan publik terhadapnya. Bak pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Tipikal ini merupakan sosok yang mengkhianati amanah dan hanya akan menghancurkan tatanan peradaban. Sungguh, amanah hanya mampu dijaga dan dimiliki oleh manusia pemilik harga diri. Ia bukan sebatas ungkapan janji, tapi perlu wujud nyata atas apa yang diikrarkan. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Tidak sempurna keimanan bagi orang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama seseorang bagi yang tidak memenuhi janji” (HR Ahmad). 

Sungguh, demikian tegas dan jelas sabda yang disampaikan oleh Rasulullah untuk mengingat-kan umatnya. Penegasan agar manusia menjaga amanah yang diembannya. Ketika amanah diisi dengan kemunafikan,  kesombongan, keangkuhan, dan kerakusan, maka tanpa disadari ia telah menzalimi dirinya sendiri. Meski asesories agama yang dipakai begitu indah menyilaukan mata, tapi nista dihadapan Allah dan Rasul-Nya.

Menempatkan sosok supir dan kondektur perlu kehati-hatian. Begitu pula terhadap semua amanah lainnya. Kelak, semua amanah akan dipertanggungjawabankan dihadapan Allah. Ketika itu, tak ada pembela selain amal ibadah. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sosok sopir adalah pemimpin pada kendaraan yang digunakan untuk membawa penumpang ke tujuan yang telah ditentukan. Bila supir piawai dan amanah, maka keselamatan penumpang menjadi tujuannya. Tapi, bila supir lalai, tak memiliki kemampuan, dan (apatahlagi) khianat, maka tujuannya hanya untuk keselamatan diri tanpa tanggungjawab. Orientasi hanya bermuara pada posisi dan pundi.

Seyogyanya, selevel sopir dan kondektur (berikut varian lainnya) berkaca dengan sejarah para pahlawan negeri ini. Mereka hadir dengan niat tulus dan menjadi contoh bagi seluruh elemen. Ketika lapar dan sakit, sosok pemberi contoh (Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan lainnya) merasakan derita mendahului apa yang dirasakan rakyatnya. Mereka hadirkan harapan untuk membangun semangat rakyat keluar dari derita penjajahan. Mereka tak mendahulukan kehidupan glamour, melanggar aturan, apatahlagi menghambur-hamburkan kemewahan di atas penderitaan rakyat. Sebab, mereka sosok yang tak ingin hati rakyat terlukai.

Bahkan, mereka wakafkan seluruh yang dimiliki untuk NKRI, bukan menjual aset negeri untuk kesenangan diri. Mereka sadar atas amanah yang diemban untuk membawa rakyat ke gerbong kesejahteraan. Mereka tak boleh “busuk” agar rakyat selalu segar. Jangan sampai bak pepatah “ikan busuk dari kepalanya” atau hadir “duri dalam daging”. Sebab, penumpang akan celaka (tewas) karena ulah “supir dan kondektur” yang tak waras. Bila hal ini yang terjadi, maka kepercayaan dan keselamatan rakyat sebagai taruhannya.

Dengan sifat amanah, ketauladanan, dan patriotisme para pahlawan menjadi pembangkit asa seluruh elemen bangsa bersatu padu. Rakyat bahagia ketika pemimpin dan rakyat bersatu (harmonis), tanpa berkubu-kubu. Rakyat rela berkorban ketika melihat pemimpin yang mensejahterakan, bukan sekadar tampilan yang penuh kepalsuan.

Demikian indah kebersamaan yang dibangun dan ketauladanan yang selalu mengobarkan semangat untuk bersama mempertahankan kedaulatan NKRI. Sebab, mereka memiliki sosok pemegang amanah yang pantas “didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting”.

Sosok yang demikian akan pantas dikenang dan ditauladani sepanjang masa. Mereka berjuang tanpa pamrih meski pedih, tak berharap pujian apalagi mengambil keuntungan (ala aji mumpung). Jangan sampai tetesan darah para pahlawan ditukar dengan tetesan tangis pilu rakyat yang menderita. Jangan sampai martabat yang mereka miliki untuk mempertahankan NKRI ditukar dengan menjual kedaulatan negeri. Jadilah diri sebagai “sopir, kondektur, dan penumpang” yang amanah bijak bestari. Jadikan amanah sebagai hamparan “sajadah” untuk diper-sembahkan pada Ilahi. Hadirkan prestasi yang mensejahterakan agar para pahlawan dan rakyat negeri ini tersenyum bangga.

Sungguh, sosok supir yang bijaksana dalam menempatkan dan memilih kondektur sangat diperlukan. Bila tepat, ia bisa menjadi pahlawan. Tapi bila sebaliknya, ia hanya akan melukai kepercayaan para penumpang. Semoga supir tak pernah terkebiri atau dikebiri dan kondektur tak pula mengkhianati janji dalam menjalankan amanah untuk menghantar penumpang pada tujuan dan mimpi bersama. Jangan sampai di zaman kemerdekaan masih hadir sifat penjajah.

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024. Jasa dan pengorbananmu tak pernah kulupa-kan. Semoga semua menjadi amal jariyah yang menerangimu di alam barzah, aamiin. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »