Setiap makhluk memiliki naluri (instinct), tak terkecuali haiwan. Melalui instinct yang dimiliki, mendorong haiwan bisa bertahan hidup (aktiviti). Secara bahasa, instinct (naluri atau gharizah) adalah pola perilaku dan respon terhadap suatu rangsangan.

Potensi ini ada sejak kehadirannya di muka Bumi. Dorongan instinct ini diperoleh secara turun-temurun (filogenetik). Menurut Freud, instinct bawaan lebih dominan (murni) bila dibanding pengaruh rangsangan dari luar diri. Instinct yang hadir pada pikiran pertama merupakan dorongan pemikiran objektif. Sementara  instinct pada pikiran selanjutnya merupakan dorongan pemikiran yang terpengaruh oleh faktor subjektivitas lainnya.

Meski kajian instinct haiwan perlu dilakukan secara khusus dan ilmiah, namun pada realiti, terlihat instinct haiwan memiliki nilai kepekaan naluriah. Mungkin haiwan tak memiliki akal secerdas manusia, tapi naluri (rasa) haiwan kadangkala lebih peka dan tulus (ikhlas). Di antara haiwan yang memiliki kepekaan naluri (rasa) adalah seekor kucing.

Kepekaan naluri (perasaan) seekor kucing dapat terlihat pada akhlak Rasulullah SAW. Hal ini sesuai hadis :“Ketika nabi Muhammad akan berwudhu dihampiri oleh seekor kucing dan kucing tersebut minum di bejana tempat beliau wudhu. Nabi berhenti hingga kucing tersebut selesai minum, lalu (melanjutkan) berwudhu” (HR. Muslim).

Dari hadis di atas, ada 4 (empat) nilai yang bisa dipetik, yaitu : (1) keberuntungan kucing yang bernama Muezza (Mu’izzah) yang mem-peroleh nikmat bisa melihat dan bertemu langsung dengan Rasulullah. (2) menyaksi-kan dan membuktikan ketinggian akhlak Rasulullah dan memperoleh perlakuan yang beradab. (3) perasaan kucing saja diperhati-kan, apalagi perasaan manusia. (4) andai terhadap haiwan saja Rasulullah SAW menampilkan adab yang mulia, apatahlagi akhlaknya pada sesama manusia.

Wujud kepedulian terhadap haiwan tak pernah berharap pujian dan pamrih. Sedangkan, wujud berbuat baik pada manusia terkadang terselubung keinginan untuk dipuji dan penuh pamrih. Bahkan, agar memperoleh pujian dan simpatik yang diinginkan, tampil wujud sifat peduli penuh kemunafikan. Terhadap sosok yang tak disenangi, berbagai upaya menutup lembaran jasa “sejarah keemasan” dilakukan. Seiring berita fitnah dan aib yang disebarkan. Sungguh, perilaku seperti ini merupakan tampilan manusia yang su’ al-adab pada sejarah. Meski demikian, usaha ini akan gagal. Sebab, semua sejarah kebaikan akan dicatat oleh penduduk langit yang selalu bertasybih, bukan oleh penduduk bumi yang kalanya penuh ambisi dan muslihat.

Untuk menutupi muslihatnya, segelintirnya “berteriak nyaring” (berikut asesories pisik) mengagungkan kalimat agama. Namun, ia tak mampu menyentuh ruh ajaran-Nya dan menggapai nilai akhlak Rasulullah sebagai “pakaian” dirinya. Seyogyanya, praktek keagamaan bukan sebatas euforia. Meski eksistensinya diperlukan dan dilestarikan untuk menampilkan dimensi dakwah. Namun seiring upaya utama menghadirkan ruh atas lantunan pujian yang membuahkan adab mulia. Sebab, di antara tujuan Rasulullah diutus guna memperbaiki akhlak manusia. Hal ini dijelaskan Rasulullah melalui hadis dari Abu Hurairah, bahwa : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR. al-Baihaqi). 

Manusia yang mampu menghadirkan ajaran Rasulullah pada dirinya akan tampil karakter beradab, bukan su’ al-adab. Lantunan yang membuat diri semakin tawadhu’, bukan membuat gaduh. Semua hadir dalam rasa, bukan sebatas frasa. Meski kucing hanya seekor haiwan, tapi banyak pelajaran tentang kepekaan naluri (perasaan) yang bisa diambil, antara lain:

Pertama, Kucing memiliki instinct yang tau pada manusia mana rezeki yang Allah titip-kan untuknya. Ia datang bukan untuk mengemis makanan, tapi ia dihadirkan untuk mengambil rezki pada manusia yang dikehendaki-Nya. Kucing seakan tau untuk menjemput rezeki pada manusia pemurah dan bukan pemarah, manusia pemberi dan bukan pembuli. Instinctnya begitu tajam menemukan manusia “pilihan”, bukan manusia “serpihan”.

Secara zahir, ia jemput rezeki yang Allah titipkan menjadi haknya dan menjadi ladang amal bagi tuannya. Untuk itu, kehadiran haiwan (kucing dan varian haiwan peliharaan lainnya) perlu disyukuri. Sebab, ia hadir  karena dihadirkan-Nya. Untuk itu, kehadiran-nya perlu dilindungi (sebatas kemampuan yang ada), bukan disiksa dan diterlantarkan. Sebab, menelantarkan haiwan yang dititipkan-Nya merupakan perbuatan dosa. Untuk itu, Rasulullah mengingkatkan: “Seorang wanita di azab karena seekor kucing yang dia kurung sehingga dia mati kelaparan. Maka wanita tersebut masuk ke dalam neraka atas apa yang dilakukannya” (HR. Bukhari).

Bila hadis di atas ditinjau sisi asbab al-wurud, ianya berkaitan dengan wanita yang berbuat zalim terhadap seekor kucing. Namun, bila dikaji secara konteks, maka ada 2 (dua) tujuan yang dituju, yaitu : (1) berkaitan semua makhluk Allah (flora dan fauna) yang dipelihara perlu dipenuhi keperluannya. (2) terhadap seekor kucing saja dilarang berbuat aniaya, apatahlagi pada sesama manusia. Namun, manusia kadangkala justeru mem-budayakan saling “menghabisi”, bukan mengasihi. Kedua tujuan ini menjadi ukuran kualiti amanah kekhalifahan manusia di muka bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.

Kedua, Kucing tau memilih tempat “berteduh” pada manusia yang memiliki kesucian hati. Ketulusan dan keikhlasan diri akan menjadi magnet hadirnya ikatan antara manusia dan makhluk di muka Bumi. Sungguh, secara hakikat kucing dihadirkan Allah sebagai sumur amal pada manusia yang ikhlas. Meski secara matematika normatif ia menghabis-kan finansial tuannya, tapi secara matematika Ilahiah, ia menghadirkan nilai tambahan dan keberkahan bagi tuannya.

Ketika kucing memilih tempat berteduh, ia akan melihat kualiti psikis tumpuan. Betapa banyak manusia yang kaya, tapi tak didatangi kawanan kucing. Begitu pula, tak sedikit manusia yang hidup sederhana menjadi tempat berharap kucing yang datang. Seakan, kucing ingin menyampaikan pesan bahwa aspek psikis akan bertahan lama dan aspek pisik memiliki keterbatasan.  Sementara segelintir manusia kadangkala menggunakan instinctnya hanya memilih tempat berteduh pada tampilan pisik “pohon yang rimbun dan berbuah lebat”. Meski ia sadar tak pernah menanam dan memupuknya, tapi kerakusan mendorongnya untuk menguasai dan tampil sebagai “pahlawan kesiangan”. Namun, ketika “daun pohon berguguran tanpa buah”, manusia begitu mudah meninggalkan dan mencari pohon rimbun berbuah lebat yang lain. Ia tinggalkan pohon sandaran setelah habis manfaatnya. Sifat ini diingatkan leluhur melalui pepatah “habis manis, sepah di buang”. Begitulah instinct manusia yang berkarakter su’ al-adab.

Ketiga, Kucing (begitu pula haiwan lainnya) tau membalas budi. Meski tak mampu berbuat semisal pada penolongnya, tapi akan berbuat sebatas kemampuannya. Ia tak pernah menggigit (menyakiti), tapi hadir menjadi pembela (pelindung). Ia selalu apungkan munajat pada Allah untuk kebaikan penolongnya. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Barangsiapa menyayangi meskipun terhadap haiwan sembelihan, niscaya Allah akan merahmatinya (kelak) pada hari kiamat” (HR. Bukhari).

Munajat haiwan pada Allah untuk manusia tak pernah mampu diketahui, apatahlagi untuk dipamerkan (riya’). Ia akan selalu ingat pada manusia yang pernah menolong dan siapa pula yang menganiayanya. Berbeda dengan manusia, segelintirnya justru menggantung-kan harap seakan lautan tak bertepi, namun lupa diri dan lupa balas budi bila hasrat telah diperoleh. Pertolongan yang pernah diperoleh dianggap tak lagi berarti. Hadir pengkhianat-an seiring asa untuk menjatuhkan. Sebab, penolong dianggapnya sebagai penghalang. Apatahlagi bila keinginan tak sesuai harapan. Sifat manusia yang demikian diingatkan dalam pepatah Melayu“seperti menolong anjing terjepit” (kebaikan dibalas kejahatan). Sungguh, ada kalanya manusia berprilaku baik ternyata menyimpan maksud tertentu. Kebaikan yang tampil didominasi dorongan nafsu, bukan dari kesucian hati. Akibatnya, bila keinginan telah diperoleh, maka terbuka sifat buruk yang selama ini disembunyikan. Hadir fitnah dan mencari aib sesama. Dendam kesumat semakin subur, tanpa pernah sadar kelemahan dan aib yang ada pada diri sendiri yang selama ini ditutupi. Tipikal manusia seperti ini berpotensi menimpa pada semua manusia tanpa terkecuali. Tak lagi ada pengaruh status, strata, usia, dan pendidikan yang dimiliki. Bahkan, sifat yang ditampilkan kadangkala melebihi tabiat haiwan yang paling buas. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak diperguna-kannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti haiwan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).

Ayat di atas menghadirkan peringatan Allah pada manusia. Meski diciptakan-Nya sebagai makhluk pilihan, tapi manusia berpotensi hadir sebagai makhluk paling hina. Derajat kemuliaan akan diraih tatkala manusia menggunakan seluruh potensi jasmani (akal dan pancaindera) dan rohani (hati) dengan suluh agama-Nya. Tapi, ketika potensi ini tak digunakan, maka manusia akan menjadi hina melebihi haiwan yang paling buas.

Pada sisi lain, haiwan akan selalu ingat pada manusia yang telah menyakitinya. Hal ini wajar terjadi, sebab haiwan tak memiliki akal yang bisa membedakan baik dan buruk. Tapi, manusia kadangkala berprilaku yang serupa. Hadir sifat egois, iri, dan dendam kesumat tak bertepi. Bahkan, sifat tersebut muncul tanpa alasan yang tepat. Hilang sirna sifat kemanusiaan, seiring tumbuh subur sisi kebinatangan. Untuk itu, pepatah leluhur mengingat seukur berbaur, setopeng bercuai” (kalau bersefahaman akur, kalau tak bersefahaman bercerai). Bahkan, dalam pesan lain diingatkan“bak membuang bunga ke jerat” (berbuat baik kepada orang yang tak tau membalas budi). Demikian pepatah mengingatkan melalui pesan kearifan lokal. Pepatah yang mulai hilang sebagai pedoman, seiring dinamisnya rasa (hati) yang telah kehilangan ruh-Nya. Untuk itu, masihkah diri merasa –paling– mulia tatkala di mata Allah dan Rasul-Nya ternyata hanya di bawah derajat haiwan yang melata.

Sungguh, Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan begitu nyata. Isi neraka berupa jin dan manusia. Dalam Islam, haiwan tak pernah menjadi penghuni neraka. Sebaliknya, haiwan justeru ada yang menjadi penghuni surga, di antaranya : Buraq tunggangan Rasulullah (QS. al-Baqarah : 20), unta nabi Shaleh (QS. Hud : 64-68) dan nabi Muhammad SAW, sapi nabi Ibrahim (QS. az-Zariyat : 24-30), domba (kibas) nabi Ismail (QS. ash-Shaffat : 102- 107), burung Hudhud Ratu Bilqis (QS. an-Naml : 18), semut nabi Sulaiman (QS. an-Naml : 17-19), anjing (Qithmir) ashabul kahfi (QS. al-Kahfi : 22), ikan Nun nabi Yunus (QS. ash-Shaffat : 139-148), sapi betina nabi Musa (QS. al-Baqarah : 68-73), dan keledai nabi Uzair (QS. al-Baqarah : 259).

Bila ayat-ayat di atas dicermati secara seksama, jelas terlihat bahwa semua haiwan tersebut memperoleh surga disebabkan kebaikan yang diberikan pada hamba-Nya (para nabi dan rasul). Meski hanya meng-andalkan instinctnya yang statis, ternyata haiwan mampu berbuat kebaikan dan diangkat sebagai penghuni surga. Sementara sebagian manusia justeru kalanya memilih sebaliknya. Meski memiliki akal, hati, ilmu, dan agama, tapi justeru acapkali berbuat kejahatan dan berusaha menuju neraka. Secara hitungan matematika, meski biaya menuju surga tak semahal biaya menuju neraka, namun anehnya (kadangkala) manusia rela membayar mahal (menjual harta dan harga diri) untuk menggapai neraka. Sungguh aneh pilihan manusia, berharap surga tapi merindukan neraka. Berharap kebaikan, tapi cara dan prilaku berwujud kemungkaran.

Sungguh, naluri kucing (berikut flora dan fauna) senantiasa bertasybih mengagungkan asma-Nya (QS. al-Isra’ : 44). Ikrar tasybih penghambaan, bukan sebatas tasybih untuk menutupi kemunafikan dan kekufuran (QS. al-Baqarah : 8). Andai ketulusan penghambaan seekor kucing (haiwan) saja kadangkala manusia tak mampu memilikinya, masihkah ingin menyatakan diri paling benar dan mulia di muka bumi. Hanya Allah pemilik kemuliaan dan kebenaran. Penilaian-Nya tak pernah mampu ditipu dan tak mungkin pernah keliru. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis

Sumber: jawapos.com

Translate »