Kereta api merupakan salah satu jenis alat transportasi yang telah hadir sejak dahulu kala. Ia merupakan alat transportasi yang begitu vital (penting) dan mampu memfasilitasi pergerakan orang dan barang secara efektif dan efisien.

Dalam catatan sejarah perkeretaapian Indonesia, alat transportasi ini mulai dibangun oleh kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Pembangunannya dilakukan pada masa Tanam Paksa. Ideanya berawal dari proposal Kolonel J.H.R. Carel Van der Wijck (1840). Jalur kereta api pertama selesai dibangun (1867) menghubungkan stasiun Semarang dengan Tanggung (Grobogan). Proses pembangunannya dilakukan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Pengembangan jalur kereta api terus berlanjut dengan membangun jalur-jalur baru yang menghubungkan berbagai kota di Jawa dan Sumatera. Tujuannya didorong untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politik kolonial Belanda. Sejumlah hasil pertanian dan mineral diangkut dari daerah produksi ke pelabuhan utama. Jalur kereta api juga digunakan untuk memfasilitasi mobilitas administratif, militer, dan perjalanan para pejabat kolonial penjajah. Sungguh, pemanfaatan kereta api saat itu lebih dominan untuk kepentingan penjajah kolonial dan pendudukan Jepun.

Dinamika sejarah kereta api di Indonesia telah banyak berkontribusi bagi membangun peradaban negeri ini. Bahkan, eksistensinya bukan sebatas “hitam-hitam kereta api”, tapi mengingatkan dinamika sejarah bangsa dalam meraih dan mengisi kemerdekaan, sekaligus membangun karakter bangsa berperadaban. Adapun pelajaran yang bisa diambil antara lain :

Pertama, Menghadirkan kembali (flash back) sejarah bangsa Indonesia dan pesan persatuan. Sebagai alat transportasi yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda, kereta api menjadi alat transportasi masyarakat yang vital pada masanya. Kereta api di negeri ini meninggalkan sejumlah peristiwa pilu anak bangsa. Pilu atas banyaknya rakyat yang meninggal ketika membangun rel kereta api dan kekayaan alam negeri ini yang dirampok.

Mereka meninggal dunia akibat kerja paksa zaman Belanda dan Romusha zaman pendudukan Jepun. Bahkan, sebagian rel kereta api yang dibangun pada zaman Belanda dan Jepun masih tetap digunakan sampai sekarang. Semua menjadi saksi bisu pengorbanan para pekerja. Meski demikian, ketika melintasi rel tersebut, sungguh tak pernah tercium aroma bau “busuk” kolonial Belanda dan kekejaman tentara Jepun. Padahal, begitu banyak korban berjatuhan selama proses pembangunannya. Sampai saat ini, kereta api terus “berlari kencang” untuk membawa penumpang menikmati era kemerdekaan.

Hanya tersisa segelintir pemilik bermental kolonial dan Jepun. Meski sebagian kereta api dan rel lintasannya dibangun zaman kolonial dan Jepun, tapi kereta api menghadirkan pesan persatuan. Setiap gerbong diikat oleh tujuan yang sama dan tak pernah berbenturan. Meski tak semua gerbong isinya sama, setiap gerbong tak saling iri. Gerbong pertama tak pernah angkuh dan gerbong dibelakang tak pula ingin mendahului. Semua gerbong terikat aturan dan saling “berpegangan”. Ternyata, kereta api mengimplementasikan firman Allah: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…”( QS. Ali Imran: 103).

Sementara, segelintir manusia yang ada di kereta api justru pongah dan sombong bila berada “di kelas utama”. Penumpang “kelas bawah” dipandang hina. Akibatnya, wajar bila tak terjalin keharmonisan. Masing-masing berupaya untuk saling menjatuhkan. Padahal, bila salah satu gerbong jatuh tergelincir, maka akan berdampak pada gerbong lainnya.

Secara ekonomi, kolonial Belanda dan pendudukan Jepun tak meninggalkan hutang pada pundak pemerintah RI atas jalur kereta api yang dibangun. Mereka tinggalkan semua aset yang ada untuk dimanfaatkan seluruh rakyat negeri ini. Meski sejarah awal kereta api di Indonesia menyayat hati dengan korban berjatuhan, namun tersisa nilai positif yang bisa dinikmati sampai saat ini. Tapi, segelintir-nya tak mampu (ingin) mengimplementasi-kan pesan “kereta api” dalam kehidupan.

Meski kereta api mengikat setiap gerbong bersatu, tapi belum mampu menyatukan penumpang setelah sampai ditujuan. Para penumpang acapkali terpecah belah, bermusuhan, saling mengadu domba (devide et impera), bahkan saling memeras ala Romusha. Semua hanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan. Subur sifat serakah mengeruk keuntungan untuk diri dan kolega. Berakar khianat atas amanah yang diberikan. Karakter mentalitas yang demikian mengeluarkan aroma kolonial yang menyengat dan suka “menghisap darah” sesama bak Romusha. Sungguh, Allah SWT sangat membenci prilaku yang demikian. Hal ini terlihat pada firman-Nya: “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencana-kannya sendiri…” (QS. Fâthir: 43).

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan janji Allah SWT. Setiap pelaku kejahatan, berniat jahat, merencanakan hal buruk terhadap orang lain, maka pada akhirnya akan berbalik kepada pelakunya. Sungguh, Allah tak pernah mengingkari atas semua janji-Nya. Berbeda dengan janji makhluk yang acapkali diingkari dan didustakan sejalan kepentingannya.

Kedua, Masinis cerminan pemimpin yang taat aturan dan konsisten pada tujuan. Ia berjalan sesuai rel yang ada. Dalam menjalankan kereta api, ia tak pernah mencoba keluar rel, apalagi membuat rel sesuai keinginannya. Semua penghalang yang menghalangi jalannya akan dilanggar. Sebab, ia yakin berjalan sesuai di atas relnya. Sebab, masinis menyakini sabda Rasulullah SAW : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk kalau perintahnya merupakan pelanggaran terhadap Allah (dan Rasul)” (HR. Ahmad).

Kunci ketaatan masinis menjalankan kereta api dengan tetap pada relnya. Ia juga mentaati kecepatan yang diperbolehkan. Dengan ketaatan atas aturan tersebut menghantarkan kereta api menjadi alat transportasi paling aman untuk membawa penumpang ke tujuan yang direncanakan.

Ketiga, Kekuatan mesin mampu menggerakkan gerbong. Mesin tak pernah berpangku tangan dan mengeluh atas beban yang akan ditariknya. Dengan suplai bahan bakar yang cukup, ia tarik semua gerbong dengan ikhlas. Di sisi lain, gerbong sadar akan posisinya. Ia berusaha untuk tidak menambah berat mesin. Ia lumasi rodanya agar lebih meringankan kerja mesin.

Sistem kerja kereta api menjadi pelajaran berarti. Seluruh elemen bekerja sesuai rugas dan fungsi yang diamanahkan. Pemimpin bagaikan masinis yang memaksimalkan kerja mesin. Unsur pimpinan bagaikan mesin yang bekerja sesuai kontrol masinis untuk menggerakan gerbong sampai tujuan. Sementara rakyat bagaikan gerbong yang bekerja sesuai aturan, bukan memberatkan beban mesin dan mempersulit masinis. Semua bekerjasama dan sama bekerja. Tak ada yang saling menzhalimi, sombong, dan berpangku tangan. Hal ini sesuai firman Allah: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. at-Taubah: 105).

Ayat di atas begitu jelas. Kualiti manusia terlihat atas apa yang dikerjakan, bukan sekedar berkata (bergaya) tanpa ada yang dilakukan. Tapi anehnya, manusia acapkali mendustai atas semua yang difirmankan-Nya. Lebih memilih pemilik kata dusta, tapi menyingkirkan pemilik karya nyata. Sungguh, kejahilan manusia modern telah melampaui jahilnya manusia

Keempat, Kereta api tak pilih kasih dalam menghantarkan semua penumpangnya. Meski ada klasifikasi gerbong VVIP, eksekutif, ekonomi, bahkan barang. Semua dibawa menuju tujuan yang sama. Tak ada yang ditinggalkannya. Sungguh, kereta api mencerminkan prinsip keadilan yang ditetapkan Allah melalui firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. an-Nahl: 90).

Meski ayat-Nya demikian jelas dan alam begitu nyata menyampaikan pesan, namun manusia (segelintir) acapkali mendusta-kannya. Untuk itu wajar bila pilihan kezaliman lebih menggiurkan dan menguntungkan.

Kelima, Kereta api tak pernah menyerah terhadap beratnya beban. Semua gerbong ditariknya tanpa berkeluh kesah dan berputus asa. Meski berat dirasakan, ia tetap berjalan sesuai kemampuannya. Sungguh, deru suara mesin kereta api (demikian transportasi lainnya) senantiasa meng-hadirkan asma Allah. Ia senandungkan asma-Nya untuk menambah energi menarik seluruh gerbong. Kegigihan kereta api seakan sedang menyampaikan pesan atas firman-Nya : “….Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir” (QS. Yusuf : 87).

Sementara, segelintir manusia justeru berprilaku sebaliknya. Ingin kerja ringan dan mudah untuk meraih hasil berlimpah. Berpangku tangan mengharap hasil maksimal. Ketika bekerja tapi luput asma-Nya. Bila berhadapan persoalan selalu berkeluh kesah dan berputus asa. Namun, ketika berhasil menjadi pongah, zalim, khianat, sombong, dan lupa diri.

Keenam, Kereta api merupakan (mungkin satu-satunya) alat transportasi yang selalu berangkat dan sampai (tujuan) tepat waktu. Ketepatan waktu diraih karena adanya komunikasi antara operator, masinis, dan penjaga lintasan yang berjalan harmonis dan sesuai aturan. Semua elemen melaksanakan tugas dan fungsinya, saling menghargai, tanpa arogan atas posisi masing-masing. Sungguh, kereta api telah mengimplementasikan firman Allah pada QS. al-‘Ashr: 1-3.

Apa yang dilakukan kereta api acapkali tak terjadi dalam realiti kehidupan manusia. Untuk itu, paling tidak ada 3 (tiga) tipikal manusia dalam mentaati waktu, yaitu : (1) taat waktu, aturan, dan giat berkerja. Kehadirannya penuh kreativitas, karya nyata, dan mengedepankan kerja tuntas. Pemilik tipikal ini merupakan karakter manusia beruntung yang membangun peradaban. (2) taat waktu, tapi tak pernah mampu untuk menuntaskan kerja yang diamanahkan. Ia hanya sekedar berpangku tangan. Sebab, ia tak memiliki kemampuan berarti. Tipikal ini hanya sebatas hadir tanpa mampu menyelesaikan masalah yang ada. Namun, bila pekerjaan bisa diselesaikan pihak lain, maka ia justru tampil di depan mengaku paling hebat dan berjasa. Pemilik tipikal ini merupakan karakter manusia merugi yang hanya “menembak di atas kuda” dan perusak peradaban. (3) mengulur dan mensia-sia-kan waktu tanpa peduli pada ketuntasan hasil kerjanya. Tipikal ini hanya mengedepankan hak ketimbang kewajiban. Pemilik tipikal ini merupakan karakter manusia celaka dan penghancur peradaban.

Sungguh, kereta api bukan saja meninggalkan torehan sejarah dan berkontribusi bagi peradaban, tapi juga menyimpan pelajaran bagi manusia. Hanya saja, tak semua mampu memahami dan berterimakasih atas hadirnya kereta api. Pada kereta api yang masih hadir sampai saat ini saja tanpa ingatan terimakasih, apatahlagi pada manusia yang “menghadirkan” kereta api di tengah kehidupan. Mungkin mereka telah tiada. Namanya hilang tenggelam oleh kesombongan generasi yang tak pernah ingat pada jasa leluhur. Tapi, mereka telah meninggalkan kebermanfaatan bagi generasi sesudahnya. Wujud ladang amal yang terus mengalir. Tapi, bila generasi sesudahnya lupa bersyukur dan mengkhianati semua jerih payah generasi sebelumnya, maka sosok yang demikian bak pepatah “air susu dibalas air tuba” (kebaikan dibalas dengan kezaliman). Ia hanya menikmati hasil tanpa pernah berbuat apapun. Tapi anehnya, ia justeru menganggap dirinya hebat dan paling berjasa. Semua pilihan bagai tanaman. Pada waktunya, setiap diri pasti memetik (memanen) atas apa yang ditanamnya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: jawapos.com

Translate »