TANPA terasa, 79 tahun sudah negeriku ini merdeka. Rentang waktu yang cukup panjang dalam kiprahnya membangun peradaban. Bung Karno pernah berpesan melalui diktum historis yang dikenal JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

Pesan yang sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Sebab, manusia pada fitrahnya merupakan makhluk sejarah. Setiap langkah, kata, perbuatan, kebijakan, dan karyanya merupakan untaian sejarah yang diukir. Semua akan dinilai pada masa sesudahnya.

Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan sejarah yang tertulis dengan tinta emas bagi seluruh anak bangsa NKRI. Sejarah NKRI merupakan mata rantai atau tali yang terhubung antara sisi awal, tengah, dan selanjutnya (akhir). Eksistensinya tak bisa dilepaskan dari untaian peristiwa karya generasi sebelumnya, ruang pada masanya, dan wujud gerak sesudahnya.

Sejarah bangsa beradab bergerak lurus dengan semangat generasi sebelumnya (the founding father). Sementara, generasi yang tanpa adab dalam membangun peradaban, acapkali lupa pada sejarah awal, memutus-kan tali antar generasi, serta merusak dan menguburkan mimpi masa depan.

Merdeka pada hakikatnya bebas lahir dan batin. Kebebasan yang beraturan (bertanggungjawab), bukan saling membenturkan. Dalam konteks NKRI, tujuan kemerdekaan tertera pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtera-an umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” 

Tujuan di atas dapat diwujudkan tatkala kemerdekaan hakiki dapat diraih, yaitu ketika seluruh elemen mampu melepaskan ikatan sisi hewani pada diri menuju kesadaran atas sisi kemanusiaan untuk hidup sesuai aturan Allah SWT (tauhid). Tujuan kemerdekaan RI dilambangkan pada kelima sila secara utuh. Sila pertama sebagai pusat, jantung, dan ruh keempat sila lainnya. Bila diperhatikan, letak dan urutan lambang Pancasila pada dada burung Garuda bagaikan posisi “ka’bah dan gerak thawaf” (posisi kiri ke kanan pada 4 sisi). Gerak menuju posisi tinggi menembus langit. Kelima sila terikat pada tali “Bhinneka Tunggal Ika”. Tali yang dicengkeram erat dan selalu terjaga.

Makna kemerdekaan hakiki ketika lepas dari belenggu atau keterpasungan. Sebab, selama diri terbelenggu oleh sisi hewani, maka penjajahan akan senantiasa hadir sepanjang sejarah manusia. Sebab, sisi hewani merupakan sifat dasar setiap hewan yang mengedepankan nafsu, bukan akal, hati, dan budi. Penjajahan bisa dalam wujud nafsu atas diri, sesama anak bangsa, atau bangsa asing. Untuk itu, eksistensi “seutas tali” yang kuat diperlukan agar sisi hewani bisa diikat (dipasung) dan mampu terkendali.

Sungguh, andai kemerdekaan diumpamakan seutas tali di atas, maka kemerdekaan  mengandung beberapa makna hakiki, antara lain :

Pertama, Tali mengikat kumpulan lidi menjadi sapu. Melalui i’tikad dan tujuan yang sama, seluruh lidi disatukan. Meski ada lidi yang besar, kecil, tinggi, rendah, tua, muda, dan varian lainnya, semua terikat fisik dan hati tanpa iri, dengki, dan menzalimi. Semua bersatu padu agar tujuan untuk tercipta “ruang” yang nyaman.

Sungguh, seutas tali hadir menyatukan lidi (rakyat) yang bervariasi agar kuat dan kukuh menyingkirkan semua kotoran yang ada. Semakin kuat tali mengikat kumpulan lidi, semakin kukuh kerjasama antara lidi. Tapi, tatkala tali telah lapuk atau hadir sosok munafik yang sengaja melepaskan tali, maka kumpulan lidi akan lepas dari kumpulannya. Ketika hal ini terjadi, maka tak ada yang bisa dilakukan.

Bahkan, lidi dengan mudah bisa dipatahkan. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan agar manusia menjaga ikatan tersebut sebagaimana firman-Nya : “Dan berpegang-lah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…”( QS. Ali Imran : 103).

Ruh ayat di atas hadir pada cita-cita NKRI. Wujudnya tergambar pada simbol sila kedua Pancasila. Simbol yang dilambangkan 17 ikatan mata rantai  alam konteks hubungan kerjasama harmonis antar manusia yang saling membantu dan saling memerlukan agar tercapai cita-cita kemerdekaan. Melalui kerjasama harmonis akan hadir persatuan, bukan memecah belah dan saling memangsa.

Kedua, Tali pembatas areal lahan atau peng-amanan. Ia digunakan agar wilayah tanaman terjaga dan tak bisa dimasuki musuh yang mengancam tanaman. Semakin kuat tali yang digunakan, semakin aman tanaman yang ada. Sebaliknya, bila tali telah “lapuk” atau sengaja diputus, maka musuh (hama) akan mudah menghancurkan tanaman.

Tali sebagai lambang aturan (hukum) yang berkeadilan menjaga ruang keadilan seluruh rakyat. Tali penjaga agar keamanan terjaga dan keselamatan seluruh warga. Tali yang objektif tanpa pandang bulu dan “bermain mata”. Tali yang memiliki marwah tinggi, tanpa pernah bisa dibeli atau dikebiri. Demikian tali (hukum) hakiki yang mampu menjaga NKRI. Hukum yang seyogyanya tajam ke bawah dan lebih tajam ke atas.

Kehadiran tali tentu tak bisa sendiri. Ia memerlukan kumpulan kayu untuk diikat menjadi kekuatan sebuah pagar. Kayu merupakan elemen negeri penjaga dan pelaksana aturan. Keduanya berupaya menjaga tanaman (rakyat) agar terjamin rasa aman. Hadirnya tali dan kayu (pagar) merupakan tamsilan untuk hukum (aturan) yang kuat bagi terjaganya keamanan seluruh unsur yang ada di negeri ini. Keduanya harmonis menjaga amanah, bukan seperti pepatah “pagar makan tanaman”.

Demikian makna kemerdekaan dan kedaulatan negara. Sebab, sejarah membuktikan kehancuran rumah (termasuk negara) akibat hadirnya “rayap dalam rumah” (internal), bukan semata-mata pencuri dari luar (eksrernal). Sifat rayap (anai-anai) tak bisa ditolerir. Ia perlu dibasmi sampai tuntas. Andai saja tersisa “sepasang rayap”, maka dalam waktu singkat akan berkembang biak di luar nalar.

Meski tali kuat dan mampu mengikat kayu yang kukuh, namun hancur oleh kehadiran rayap. Koloni rayap ada pemimpinnya. Membasmi rayap bukan hanya mematikan ratunya, tapi seluruh koloninya.

Sungguh, eksistensi kemerdekaan memerlukan tali dan kayu yang kuat. Kekuatannya akan mampu menjaga kedaulatan negara. Semua anasir yang berpotensi merusak negara secara bersama diberantas. Perusak negara bisa dalam wujud penjajahan fisik, budaya, ekonomi, dan politik. Penjajahan modern perlu diantisipasi. Wujudnya hadir bak “angin”. Eksistensinya ada sebatas terasa, tapi sulit untuk disingkirkan.

Ketiga, Tali untuk memanjat lebih tinggi. Tali hadir untuk mengantarkan pemanjat tebing dan menyelamatkan pemanjat agar tak jatuh. Demikian makna kemerdekaan. Ia mengantarkan rakyatnya mencapai puncak peradaban dan menyelamatkannya dari keterpurukan. Cita-cita tinggi merupakan asa terpuji. Sebaliknya, tanpa cita-cita atau “mengkerangkeng” dan mematikan cita-cita mulia merupakan sifat tercela. Hal ini dingatkan oleh Umar ibn Al Khattab bahwa: “Janganlah engkau sekali-kali berobsesi rendah. Sesungguhnya saya belum pernah melihat orang yang paling kerdil dari orang yang berobsesi rendah.”

Ketika memiliki cita-cita berbalut kedaulatan, akan hadir harapan fan kerja maksimal. Namun, ketika cita-cita tak dimiliki atau terjajah, maka punah harapan dan tak pernah ada perjuangan. Negara merdeka akan meng-hadirkan asa bagi seluruh rakyatnya. Ia memberi ruang untuk “terbang tinggi menembus awan. Hanya tali (negara) yang kuat akan menjagamu untuk berbakti pada negeri”.

Dengan tali yang kuat, layang-layang mampu terbang tinggi dan kail pancing menangkap ikan besar. Untuk itu, Ibnu al-Qoyyim pernah berkata : “Orang yang tertinggi himmah (hasrat)-nya adalah yang tertinggi merasakan nikmatnya mengenal Allah, mencintai-Nya, serta rindu akan perjumpaan-Nya.”

Berbeza dengan penjajahan, ia mengikat (memasung) rakyat untuk maju dan mengkebirinya agar tetap terkebelakang dan sengsara. Berbagai cara dilakukan agar terbangun mental kerdil (minder complex) dan membungkam kaum intelektual nan cerdas agar tak lagi bersuara (membisu). Pembungkaman melalui aturan, memper-sempit ruang gerak, atau mencengkeram dengan posisi jebakan. Akibatnya, inferiority akut akan menghantui peradaban. Sungguh, kehadiran negara merdeka akan menyelamatkan peradaban yang memanusia-kan. Kemerdekaan yang melindungi bagi tumbuh subur peradaban masa depan yang bermartabat. Jangan biarkan pohon benalu merusak tanaman. Apatahlagi bila benalu yang selalu “dipupuk”. Sebab, ia hanya memutuskan harapan bagi “layang-layang” terbang tinggi menembus awan.

Keempat, Tali pengikat haiwan atau pagar tanaman. Dalam konteks ini, kemerdekaan bermakna tali pengikat janji nasionalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahka nasionalisme bermakna “paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Dengan demikian, setiap warga negara merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap negara dan bangsanya sendiri”.

Tali yang mengikat rasa dan kebanggaan sebagai bagian negara. Tali yang mengikat janji untuk membela dan menjaga negara dari semua anasir yang bisa mengganggu stabilitas negara. Bila negara telah “memanggil”, semua dilakukan tanpa pamrih. Namun, bila kemerdekaan tak mampu mengikat nasionalisme rakyatnya, maka negara akan lemah. Andai hal ini terjadi, perlu ditelusuri penyebabnya. Ada 2 (dua) kemungkinan penyebab hilangnya nasionalisme pada negara, yaitu : (1) tali pengikat telah rapuh. (2) komponen yang diikat tak mau diikat dan secara sadar (licik) melepaskan ikatan agar bebas melakukan tindakan sesuai yang diinginkannya. Kedua sifat ini akan membahayakan eksistensi kemerdekaan. Ia hadir bagaikan benalu dan menghancurkan bak anai-anai.

Kelima, Tali layang-layang dan pengikat kail pancing. Kemerdekaan memberi peluang bagi seluruh rakyat memiliki dan meraih mimpi terbang tinggi “mencecah awan”, serta mampu memperoleh apa (hasil) yang diharapkan. Namun, semuanya tak boleh lepas dari negara. Keberhasilan yang diraih harus membawa nama besar dan menjadi kebanggaan bangsa (negara). Bagai tingginya layang-layang dan keberhasilan meraih ikan besar. Semua membawa nama si pemain layang-layang dan pemancingnya.

Demikian rakyat pada bangsa yang besar. Semua prestasi positif yang diraih tak lepas membawa nama baik negara. Untuk itu, negara harus kuat menjaga “layang-layang” menembus awan dan “mata kail” yang menangkap ikan agar tak mudah lepas atau sambar musuh. Untuk itu, negara harus mampu mengikat rakyatnya dengan memberi kesempatan dan penghargaan yang selayaknya. Negara yang kuat akan “mengikat” rasa kebangsaan. Sebab, ia hadir menjaga dan menghargai rakyatnya. Tapi, negara yang rapuh justeru sebaliknya. Melepaskan rakyatnya terbang keluar batas angkasa, tapi sibuk membawa rakyat negara lain (asing) untuk mengurusi negerinya. Hal ini diingatkan pepatah leluluhur : “Anak yang dipangku dilepaskan, anak monyet dirimba disusukan (*anak negeri disia-siakan, anak orang lain  [asing] diperhatikan)”. Bangsa sendiri tersia-sia, bangsa asing begitu dipuja. Sebangsa tak saling menghargai, tapi pada bangsa asing begitu bangga. Seakan, rasa nasionalisme sedang tidak baik-baik saja.

Padahal, pesan yang disampaikan leluhur di atas begitu nyata mengingatkan agar hidup meraih keselamatan. Tanggungjawab perlu dijaga untuk dilaksanakan agar terjaga nilai keadilan. Namun, andai pesan leluhur telah dikhianati, berarti nilai kemerdekaan tak lagi berarti dan keadilan sebatas slogan, maka negara tak mampu mencapai tujuannya.

Dalam sejarah NKRI, kehadiran para pengkhianat hadir sejak zaman penjajahan, merebut kemerdekaan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Kehadirannya perlu selalu diwaspadai secara serius. Bila tidak, sejarah pengkhianatan akan terulang kembali. Politik “devide et impera” yang pernah meluluhlantakkan persatuan negeri ini perlu menjadi pelajaran bersama. Ikat tali persatuan dengan “cengkeraman erat Garuda Pancasila”. Hadirkan kelima silanya sebagai pengikat persatuan, bukan sebatas berlindung tapi menginjak nilai yang ada. Bak layang-layang, bila tak mampu terbang, jangan pernah dipaksa untuk terbang. Sebab, dikhawatirkan tatkala terbang tertiup angin,  ia tak mau kembali ke bumi (lupa diri). Hanya ketika negeri ini berada di tangan manusia amanah, maka layang-layang “Merah Putih” akan terbang tinggi menghias langit NKRI.

Andai tanpa tali atau tali di tangan manusia khianat yang sengaja melepaskannya, maka layang-layang akan meninggalkan rumput yang mati terinjak tatkala menaikkannya. Perilaku ini hanya dimiliki para pengkhianat kemerdekaan . Mereka sungguh tak pantas hadir di negeri ini. Hal ini secara tegas dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu meng-khianati Allah dan Rasul (Muhammad ) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, se-dang kamu mengetahui” (QS. al-Anfaal : 27).

Dalam ayat lain,  Allah berfirman :“Dan sesungguhnya Allah tidak meridhai tipu daya orang yang berkhianat” (QS. Yusuf : 52).

Melalui ayat di atas dijelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang khianat atas amanat yang dipikulnya. Apatahlagi tatkala pengkhianatan diiringi fitnah dan prilaku zalim pada sesama. Sebab, pada waktunya, Allah akan membuka aibnya. Mereka akan semakin jauh dari hidayah-Nya. Sungguh, janji Allah sangat jelas dan benar.

Untuk itu, ikat diri dengan “tali Allah” (agama) agar terhindar prilaku hewan yang lepas kendali. Meski berstatus pemeluk agama, namun belum melaksanakan ajaran agama, maka bak “kuda liar lepas kendali”. Untuk itu, Allah SWT telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah mene-rangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran: 103).

Sungguh, manusia diberikan kebebasan, tapi kebebasan yang beraturan (adab). Petunjuk kebebasan telah dihadirkan Allah secara jelas. Kemerdekaan bukan akhir perjuangan, tapi melanjutkan perjuangan. Kemerdekaan hakiki tatkala manusia lepas dari penjajahan nafsu Iblis atau haiwan dan meraih  kualitas insan bernafsu Muthmainnah. Hanya dengan demikian, kemerdekaan akan mampu membawa pesan rahmatan lil ‘aalamiin. Bila hal ini terwujud, maka tak ada lagi pengkhianatan, kezaliman, saling menyakiti, mencaci, menindas, dan perpecahan. Wujud kemerdekaan hakiki akan diraih bila seluruh elemen menjaga marwah NKRI untuk membangun peradaban yang beradab.

Dirgahayu negeriku ke-79. Berkibarlah Sang Merah Putih mewarnai angkasa raya. Selama merah darahku dan putih tulangku, engkau akan slalu kujaga. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: jawapos.com

Translate »