Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda malu adalah sebagian daripada iman. Meskipun hadis ini populer dan hampir semua orang tahu, namun tak banyak yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, mengimplementasikan hadis tersebut terasa berat untuk realita saat ini.

Meskipun dengan kalimat sederhana, hadis tersebut menitipkan pesan yang sangat dalam. Malu menjadi salah satu indikator keimanan seseorang. Tatkala malu telah hilang, maka pada waktu bersamaan iman mulai terkikis. Malu sebagai indikator iman memberikan makna bahwa tatkala seseorang akan melakukan kejahatan, seyogyanya ia malu untuk melakukan kejahatan tersebut. Meskipun mungkin manusia bisa diperdaya dengan topeng kebaikan yang mampu dimanipulasikannya, namun Allah tak akan mampu diperdaya.

Banyak krisis malu yang terlihat pada prilaku manusia moden. Mulai hilangnya malu mengambil hak orang lain, hilangnya malu melakukan berbagai tindakan kejahatan, hilangnya malu tatkala menzalimi sesama, dan sebagainya. Bahkan, justeru anehnya ada yang malu kalau jujur, berlaku benar, dan berperilaku amanah. Dunia semakin aneh karena semakin tidak malu melakukan hal-hal yang aneh.

Hampir semua dimensi kehidupan manusia moden mengalami krisis malu. Di dunia pendidikan tidak terkecuali ikut mengalami krisis malu. Mulai tidak malu mengajar yang bukan bidangnya, tidak malu memperoleh nilai tinggi dengan segala cara dan justru malu kalau jujur yang mengakibatkan nilainya rendah, tidak malu melakukan plagiasi untuk memperoleh gelar tapi malu kalau jujur yang mengakibatkan tak memiliki gelar, hilangnya malu tak memiliki karya meski titel panjang mengitari nama, malu miskin tapi tidak malu memperoleh kekayaan dengan cara yang haram, malu mengakui kesalahan dengan meminta maaf tapi tidak malu berbohong dengan menyebar fitnah, dan malu mengakui kelebihan orang tapi tidak malu mempertontonkan kebodohan diri. Dalam dunia bisnis demikian pula. Malu kalau jujur yang membuat lambat kaya tapi tak malu melakukan berbagai penipuan asal bisa cepat kaya, malu kalau gagal mendapatkan projek tapi tidak malu menggelapkan projek. Malu kalau keluarganya tak memiliki pekerjaan tapi tak malu menempatkan keluarganya yang tak profesional menempati suatu jabatan, malu tak memiliki jabatan tapi tak malu kalau gagal dalam menjalankan amanah.

Dalam aspek budaya, krisis malu mulai terlihat dengan munculnya malu kalau dianggap tidak moden tapi tidak malu tatkala budaya moden justeru membuat diri bagaikan haiwan, malu berpakaian menutup aurat tapi tak malu membuka aurat. Dalam penegakkan supremasi hukum, budaya malu ikut tereduksi. Mulai munculnya budaya malu mengakui kebenaran tapi tak malu melakukan kesalahan, malu jika kasus tidak dimenangkan tapi tak malu dengan cara yang dilakukan, dan malu menegakkan kebenaran tapi tidak malu melakukan ketidakbenaran.

Semakin moden zaman, semakin malu mengalami erosi dan menjadi barang langka. Bahkan ada yang berpendapat, jika kamu malu, maka kamu tak akan dapat.  Begitu pede (percaya diri) manusia semakin tinggi dengan hilangnya rasa malu dalam dirinya.  Karena dianggapnya melalui hilangnya malu kesuksesan akan dapat diraih.

Tatkala krisis malu mulai menggerogoti diri, sebaiknya ingat dengan sabda Rasulullah bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah. Sudahkan kita siap dengan janji Allah, sebab janji Allah pasti kebenarannya. Mungkin kita akan hebat dengan hilangnya malu untuk merebut dan menguasai dunia, tapi pada waktu bersamaan kita sesungguhnya telah mencampakkan diri pada kehinaan yang abadi.

Rasulullah merupakan sosok hamba Allah yang memiliki rasa malu. Meskipun Rasululah sudah memperoleh jaminan surga dari Allah, namun beliau malu bila tidak melaksanakan perintah-Nya. Dalam budaya, tatkala pada suatu hari bahagian aurat Rasul tersingkap karena angin, muka Rasul memerah menahan malu. Sementara ummatnya justru malu ketika menutup aurat karena dianggap kampungan dan tidak malu mempertontonkan auratnya. Di bidang penegakan hukum, Rasulullah malu jika beliau melaksanakan hukum tebang pilih, sehingga Rasul pernah mengatakan bahwa bila Fatimah binti Muhammad mencuri, maka potong tangannya. Meskipun Fatimah merupakan putrinya, tapi Rasul malu bila hukum tidak dijalankan secara benar, tanpa memandang status apatahlagi keluarga. Demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz yang malu mempergunakan fasilitas negera untuk keluarganya. Hal ini terlihat dari ketegasan khalifah Umar bin Abdul Aziz mempertahankan rasa malu tatkala putrinya menghadap ingin berbicara dengan beliau. Ia bertanya dengan putrinya, apakah kamu mau menemuiku untuk membicarakan masalah dalam kapasitasmu sebagai anak khalifah atau rakyat jelata. Jika sebagai anak khalifah, maka aku akan mematikan lampu karena fasilitas ini untuk rakyat. Aku akan menghidupkan lampu yang aku miliki sendiri. Demikian rasa malu mampu dipertontonkan oleh orang-orang pilihan karena kualiti keimananannya.

Pilihan selalu ada bagi mereka yang memiliki akal yang sehat dan hati yang bersih untuk berupaya bersikap dan mempertahankan rasa malu secara benar sebagai harga diri yang harus dijaga. Tatkala rasa malu mampu tertanam dalam diri dan terimplementasi dalam kehidupan, insya Allah keberkahan hidup akan diraih. Hanya dengan demikian, tatanan kehidupan manusia akan lebih baik dan bermakna.

Wa Allhualam bi al-shawwab

Oleh: Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA

Translate »