Dalam pendekatan historis, penetapan Muharram sebagai bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah ditetapkan oleh Sayidina Umar bin Khattab. Penetapan ini dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.

Penetapannya ditandai peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah (Yastrib) pada tahun 622 M. Dengan menetapkan hijrah sebagai titik awal tahun, umat muslim memiliki fondasi yang kuat untuk mengukur waktu dan mengindikasikan bahwa Islam merupakan agama peradaban. Semangat memperingati Tahun Baru Hijriah dimaksudkan agar umat Islam mampu mengambil iktibar (pelajaran) dan semangat atas peristiwa tersebut.

Sebab, perjalanan hijrahnya Rasulullah SAW merupakan titik tolak hadirnya perubahan ke arah kebaikan yang beradab dan perkembang-an ajaran Islam yang mewarnai peradaban di muka Bumi. Penetapan bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriah memiliki keistimewaan dan sisi kesejarahan yang panjang. Dalam kitab I’anat at-Thalibin disebutkan, bahwa kelebihan bulan Muharram terletak pada hari ‘asyura (hari kesepuluh).

Sebab, pada hari ‘asyura, Allah SWT menciptakan qalam-Nya di Lauh Mahfudz, menciptakan dunia, menetapkan kiamat, menurunkan hujan dan rahmat untuk pertama kali di atas bumi,  mengangkat (menyelamatkan) Nabi Isa AS, Nabi Nuh AS turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang, dan beberapa peristiwa istimewa lainnya. Untuk itu, momentum penetapan bulan muharram  sebagai titik awal tahun baru hijrah memiliki makna yang sangat luas. Dalam al-Qur’an, kata hijrah (berbagai kata variannya) dapat ditemukan sebanyak 31 kali. Penggunaan kata hijrah pada beberapa ayat bersanding dengan kata jihad (upaya sungguh-sungguh). Hal ini di antaranya terlihat pada firman-Nya :

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenang-an” (QS. at-Taubah : 20).

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan sifat manusia yang beriman. Mereka berupaya melakukan hijrah (perbaikan) dengan upaya maksimal. Seluruh energi dikerahkan, baik diri dan harta untuk kebenaran agama-Nya, bukan “menjual” agama.

Menurut penulis, makna harta bukan sebatas materi, tapi semua yang dimiliki berupa ilmu, jabatan, kuasa, atau varian lainnya. Semua digunakan untuk terjadinya hijrah hakiki (perubahan) diri dan umat menuju cinta-Nya.

Namun, pada tataran implementasi peringatan Tahun Baru Hijriah terkesan sebatas seremonial. Padahal, makna Tahun Baru Hijriah begitu luas, antara lain:

Pertama, Simbol ukhuwwah hakiki yang tulus. Ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar yang diikat oleh agama. Sikap ini merupakan wujud implementasi atas firman-Nya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya ber-saudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki-lah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. al-Hujurat : 10).

Meski secara teoritis ayat di atas diimani kebenarannya, namun pada tataran realita, ayat tersebut hadir sebatas primordial dan tergerus oleh dorongan kepentingan. Meski ayat QS. al-Maidah: 2 begitu jelas memerintahkan untuk saling tolong-menolong untuk kebaikan, namun acapkali hanya sebatas selogan. Sebab, tolong-menolong yang dilakukan acapkali terjadi penuh pamrih. Bak pepatah “tak ada makan siang yang gratis”. Ukuran kebaikan lebih dimaknai pada apa yang akan diperoleh dan tercapainya apa yang diharapkan. Untuk meraih yang diinginkan, manusia kalanya tak peduli apapun yang harus dilakukan, meski menginjak aturan agama dan nilai-nilai kebenaran.

Ketika peristiwa hijrahnya Rasulullah dan sahabat mampu mengikat kaum Muhajirin (pendatang) dan kaum Anshar (penduduk tempatan), namun era modern justeru segelintirnya membangun arogansi sektoral. Bahkan lebih parah lagi, keharmonisan “intern penduduk tempatan” hancur dan terkelupas oleh kepentingan yang masif mendominasi diri. Hanya hadir “ikatan kepentingan” yang semu penuh sandiwara. Lidah tak bertulang hanya menari berikrar dengan bungkus agama, tapi bersemayam ruh kemunafikan.

Tegak kokoh diri penuh kesombongan “bersutan di mata, beraja di hati”. Sifat yang demikian terlihat semakin tak terbendung bila didukung oleh kolegial yang bersifat serupa. Kekuatan ini begitu mengkristal. Sayangnya, semua sebatas pemandangan yang menyakitkan mata, tanpa ada yang mampu dan mau memperbaikinya.

Terhadap tipikal manusia di atas, Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, menyebutkan bahwa: “Bersikap sombonglah kamu terhadap orang yang sombong, karena sesungguhnya bersikap sombong terhadap orang yang sombong adalah sedekah”.

Meski demikian, tak semua kesombongan perlu dibalas dengan kesombongan. Kesombongan yang ditunjukkan hanya sebatas upaya untuk mengingatkan manusia yang sombong agar sadar dan merubah perilakunya. Andai upaya ini tak mampu menyadarkannya, maka serahkan semua pada-Nya atas kesombongan yang terjadi. Sebab, janji-Nya adalah pasti (QS. Al-A’raf: 146).

Kedua Hijrah dari kekufuran (keingkaran) kepada keIslaman (keimanan dan kepatuhan). Percaya dan gantungkan semua harapan pada Allah semata. Perubahan mindset kaum jahiliah yang menyembah berhala dan pernik-perniknya kepada menyembah Allah Yang Maha Esa. Demikian keimanan yang diajarkan Rasulullah SAW pada umatnya.

Namun, seiring perkembangan zaman, segelintir manusia modern justeru kembali ke era jahiliah. Mereka lebih percaya, bergantung, taat, dan takut pada “makhluk” ketimbang Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga, Hijrah dari kejahilan pemilik ilmu (membangkang) kepada pemilik ilmu yang beradab. Makna zaman jahilyah bukan berarti bodoh. Sebab, pada zamannya telah berkembang sejumlah peradaban. Hanya saja, pada zaman tersebut kering dari adab.

Perilaku yang ditampilkan hanya membenarkan diri dan membangkang kebenaran dari orang lain. Untuk itu, Ahmad Amin (sejarawan muslim) mengatakan bahwa, jahiliyah merujuk pada kebiasaan melawan kebenaran meski telah diketahuinya. Hal ini sebagai alasan mengapa bangsa Arab sebelum Islam disebut sebagai bangsa jahiliah.

Andai paparan di atas dijadikan dasar memaknai zaman jahiliah, maka secara hakiki era jahiliah berpotensi hadir setiap zaman. Tatkala manusia telah meng-ingkari kebenaran, lebih percaya dan menempatkan orang bodoh untuk memegang amanah, atau menjadikan pemilik ilmu yang tanpa adab sebagai sumber rujukan. Andai pemilik sifat ini yang mengatur alam semesta, maka alam akan menjerit dan meronta.

Keempat, Hijrah dari belenggu perbudakan kepada kemerdekaan. Hal ini dijelaskan Allah melalui firman-Nya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempu-an. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (QS. al-Hujurat : 13).

Meski perbudakan secara formalitas telah dihapus pada peradaban modern, namun pada tataran tertentu, perbudakan dalam makna standard “status” masih terasa dan terpampang jelas. Manusia dipandang mulia dan dihormati atas status “pakaian” yang dimiliki, bukan atas isi yang sebenarnya. Akibatnya, penghormatan yang diperoleh bersifat semu, bukan hakiki. Sebab, tatkala “status pakaian” telah sirna (ditanggal), hanya msnghadirkan cercaan dan hinaan. Tumpukan “kudis berulat” ter-sebut akan menyisakan busuk menyengat. Saat itu, ia akan disingkirkan bak “sesosok bangkai” yang menjijikan.

Ternyata, penghormatan yang hadir hanya selama ada “status pakaian”, bukan berasal dari ruh kualitas diri pemilik status. Padahal, melalui ayat di atas, Allah telah menjelaskan secara gamblang. Hanya kualitas “taqwa” yang membedakan kedudukan hamba, bukan asesories atau “status pakaian” yang bersifat sementara. Sungguh, manusia terkesan sedang melakukan hijrah ke zaman jahiliyah. Wajar bila tipikal sifat suku Quraisy jahilyah seperti sosok Abu Jahal dan Abu Lahab yang tanpa adab akan terus hadir sepanjang sejarah peradaban manusia.

Ketika zaman jahiliah, mereka membuat patung untuk disembah. Sementara, pada zaman modern mereka mengkondisikan “patung berwujud manusia” untuk dipuja. Anehnya, wujud manusia tersebut justru bangga dan minta disembah atau dipuja. Sungguh, bila fenomena ini yang terjadi, maka gerak hijrah yang terjadi bukan lagi merujuk pada zaman Rasulullah dan sahabat, tapi sebaliknya menghidupkan tradisi jahiliah yang telah dihancurkan oleh Rasulullah SAW. Untuk itu, wajar bila murka dan peringatan-Nya berulangkali terjadi. Namun, manusia tak pernah mau menyadari, bahkan semakin jahiliah dari masa ke masa.

Kelima, Hijrah dari aturan jahiliyah (barbar) yang menginjak-injak keadilan dan bak pisau bermata tunggal (tajam ke bawah), berubah menjadi aturan beradab yang melindungi hak kemanusiaan dan berkeadilan. Rasulullah menjadikan hukum bak pisau bermata ganda, tajam ke bawah dan lebih tajam ke atas. Hal ini dinyatakan Rasulullah SAW melalui sabdanya: “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian jelas dan tegas batasan zaman jahiliyah dan zaman Islam. Rasulullah mengajarkan dan melaksanakan wujud hijrah (perubahan) yang sebenarnya dan diikuti para sahabat secara istiqomah. Konsistensi hukum yang sederjat pernah dialami oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib. Ketika baju besinya dicuri oleh seorang Nasrani. Dalam persidangan, hakim memenangkan si Nasrani tersebut. Padahal, waktu itu Sayidina Ali bin Abi Thalib seorang khalifah. Keputusan hakim disebabkan ia tak dapat membuktikannya. Padahal, baju besi tersebut benar milik Sayidina Ali bin Abi Thalib. Demikian tinggi dan mulia Islam menuntun kesetaraan derajat yang berkeadilan, bukan wujud ketimpangan derajat yang membuka peluang kezaliman dan ketidakadilan.

Sungguh, semangat hijrah yang dibawa dan dilaksanakan Rasulullah bersifat dinamis dan progresif ke arah yang lebih baik. Untuk mencapai tujuan hijrah, Rasulullah tampil bukan sebatas memberi contoh, tapi sekaligus menjadi contoh yang dapat diteladani.

Namun, semangat hijrah yang dibangun oleh Rasulullah seakan sedang “dipermainkan”. Bila Rasulullah meninggalkan zaman jahiliah, namun segelintir manusia modern justru melakukan hijrah (perubahan) kembali ke zaman jahiliah. Sebab, pergantian tahun masih menyisakan kegetiran. Semangat hijrah yang diimplementasikan justru mengarah pada pengingkaran. Akibatnya, momentum tahun baru hijrah hanya sebatas seremonial atau rutinitas tanpa makna. Tahun baru hijrah sebatas pergantian waktu, tanpa perubahan prilaku (substansi) sebagaimana yang dipraktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Andai ini terjadi, maka “mungkin pada waktunya, seekor kerbau lebih mulia dibanding manusia. Sebab, kerbau masih bisa dipegang talinya. Sementara, manusia tak lagi bisa (sulit) dipegang kata dan janjinya”. Mungkin akhir zaman semakin dekat. Melalui kejahilan, kezaliman, kemunafikan, dan kesombongannya, manusia sedang mengundang murka-Nya. Tak ada yang bisa menjawab, kecuali Allah Yang Maha Mengetahui.

Hanya dengan mengembalikan ruh dan makna hakiki hijrahnya Rasulullah dan sahabat, persoalan peradaban dapat disembuhkan. Moga semangat hijrah menjadi momentum hadirnya perubahan dan perbaikan yang diridhai-Nya, aamiin. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »