Dalam transaksi ekonomi, terutama di pasar tradisional, eksistensi alat timbangan merupakan komponen yang vital. Keberadaannya menjadi pemandangan pada hampir setiap meja (lapak) yang ada. Terlihat berbagai bentuk dan warna alat timbangan. Meski berbeda bentuk, warna, ukuran, dan kapasitas beban yang akan ditimbang. Namun, fungsinya sama yaitu sebagai alat untuk mengetahui berat barang yang akan diperjualbelikan.
Secara istilah, timbangan atau neraca adalah alat yang dipakai untuk mengukur berat atau massa suatu benda. Jenis-jenis timbangan berbeda-beda menyesuaikan dengan keperluan. Sementara secara umum, jenis timbangan meliputi timbangan manual dan timbangan digital atau elektronik. Kesemua digunakan untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam bertransaksi. Untuk itu, secara khusus Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang paling baik dan paling bagus akibatnya” (QS. al-Isra’ : 35).
Merujuk pendapat Wahbah al-Zuhaily, ayat di atas menekankan penggunaan timbangan dengan benar. Timbangan dalam transaksi ekonomi merupakan sebagian aspek muamalah. Sementara, muamalah dalam makna yang lebih luas merupakan interaksi pada Allah SWT, diri (akal dan hati), sesama manusia, dan alam semesta. Bila muamalah yang dilakukan berdimensi kebaikan, maka ia akan disenangi oleh Allah dan alam semesta. Namun, bila sebaliknya, meski mulia di dunia namun sebatas kemuliaan nisbi (sementara). Sedangkan buah kehinaan akan dipetik dan dibawa selamanya. Meski demikian, manusia acapkali lebih fokus pada jenis timbangan lahiriah (urusan duniawi). Namun, manusia acapkali lupa pada timbangan hakikat (akhirat) yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Ada beberapa aspek timbangan diri yang perlu diingat dan dijadikan alat melihat diri, antara lain :
Pertama, Timbangan hati dan akal. Kedua potensi ini seyogyanya menempatkan manusia menjadi makhluk beradab dengan menjadikannya sebagai timbangan (neraca) kualitas diri untuk mengenal-Nya. Hanya akal dan hati yang dibimbing-Nya akan selalu disibukkan untuk menilai kesalahan diri dan menilai kebenaran orang lain. Tipikal timbangan akal dan hati model ini akan terhindar dari sifat ta’asub pada diri sendiri, sombong, riya’, bangga dan angkuh, serta varian sifat tercela lainnya. Timbangan yang dibawa adalah upaya untuk selalu memperbaiki diri, sehingga tak tersisa energi melihat kesalahan sesama. Berbeda dengan akal dan hati yang jauh dari bimbingan-Nya, hanya sibuk menilai kebaikan diri dan selalu mencari kesalahan orang lain. Tipikal timbangan yang dibawa hanya melihat kelebihan dan kehebatan dirinya semata. Energi negatif yang ada hanya diperuntukkan menilai orang lain. Akibat-nya, terbangun keangkuhan, takabur, dan merasa paling benar. Sementara ketika melihat orang lain di luar diri atau “seputar tali pinggangnya” hanya berupa tumpukan kesalahan dan kejahilan semata.
Kedua, Timbangan nilai syariat dan hakikat. Bagi manusia yang memiliki timbangan yang benar, maka ia akan melihat dirinya dengan kacamata syariat agar semakin istiqomah dalam ibadah. Sementara ketika melihat orang lain, ia gunakan kacamata hakikat agar tak berburuk sangka pada sesama. Buya Hamka pernah berpesan melalui untaian kata yang indah, yaitu: “ingat 2 (dua), lupakan yang 2 (dua). Ingat kesalahan diri, ingat kebaikan orang. Lupakan kebaikan diri, lupakan kesalahan orang”. Bila ingat kesalahan diri, maka akan hadir upaya memperbaikinya. Sedangkan bila ingat kebaikan sesama, maka akan hadir kesyukuran dan saling menghargai. Adapun bila lupa kebaikan diri, maka terhindar kesombongan dan riya’ atas apa yang dilakukan. Sementara bila melupakan kesalahan sesama, maka akan terbangun sifat pemaaf jauh sebelum diminta maaf. Ketika kedua timbangan sifat ini dimiliki dan dibawa setiap manusia untuk masing-masing diri atas sesama (orang lain), maka keselamatan dan kedamaian hidup akan diraih.
Namun, jangan membawa timbangan (neraca) rusak yang membangun sifat kebalikannya. Jika selalu lupa atas kesalahan diri, maka menyuburkan kebiasaan berbuat salah dan terbiasa melakukan kesalahan (sengaja atau tak sengaja). Akibatnya, ia akan melupakan kebaikan orang lain dan menganggap kebaikan orang lain sebagai prilaku penuh kebohongan. Ketika manusia memilih hanya ingat kebaikan dirinya, maka akan hadir Iblis membangun menara kesombongan diri dan riya’ atas apa yang dilakukan. Seakan, hanya dirinya yang layak dipuji dan disanjung atas sedebu kebaikan yang dilakukan. Sementara, ketika manusia hanya ingat kesalahan orang lain, maka dendam kesumat tak bertepi semakin kokoh menghantui diri. Akibatnya, setitik kesalahan orang lain selalu diingat, tapi segunung kebaikan orang lain dianggap angin belaka. Sedangkan segunung kesalahan dirinya dianggap hal yang lumrah bak debu. Tapi, setitik kebaikan yang dilakukan akan digunungkannya.
Bila melihat diri dengan kacamata hakikat, maka akan membutakan kesalahan sendiri. Hal ini akan menempatkan diri menjadi “jaksa” yang membela dan membenarkan apa yang dilakukan meski kesalahan yang demikian besar. Demikian akibat bila melihat orang lain dengan kacamata syariat, akan menganga kesalahan sesama. Hal ini akan menempatkan diri hanya sebagai melihat kesalahan sesama dan menilai orang lain dalam kacamata kesalahannya tanpa melihat kebaikan yang ada. Sementara ia tak pernah menelusuri kesalahan diri atau koleganya. Sifat manusia seperti ini diingatkan oleh pepatah leluhur “gajah dipelupuk mata tak terlihat, tapi semut diseberang lautan nampak jelas (terlihat)”.
Demikian bila hati dan akal tertutup kejahilan. Hanya melihat dan memikirkan kebaikan diri, serta melihat dan memikirkan untuk mencari kesalahan orang lain. Meski begitu jelas al-Quran dan hadis, bahkan oleh mereka yang bersama kedua sumber tersebut, namun eksiatensi-nya hanya bagaikan “air dan minyak”.
Ketiga, Timbangan kualitas akal dan hati terlihat pada mulut dan perbuatannya. Untuk melihat kualitas akal dan hati manusia, secara umum dapat dilihat dari apa yang dikeluarkan. Secara verbal, ungkapan mulut (varian tulisan) dan non verbal melalui perbuatannya menjadi indikator kualitasnya. Sebab, ungkapan menjelaskan apa yang difikirkan dan dirasakan. Gabungan keduanya membentuk gerak perbuatan.
Bila akal dan hati yang senantiasa dalam bimbingan-Nya, maka akan keluar ungkapan verbal (varian tulisan) kebaikan. Bila kebaikan berinteraksi dalam diri, maka akan terlihat nyata bentuk perbuatan kebaikan yang dilakukan. Untuk itu, berhati-hati dengan mulut. Sebab, apa yang dikeluarkan akan memperlihatkan kualitas akal dan hatinya. Untuk itu, Allah ingatkan dalam firman-Nya : “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan-nya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18).
Seirama ayat di atas, Rasulullah SAW memperkuat melalui sabdanya : “Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan” (HR. Bukhari).
Begitu terang firman Allah mengingatkan dan sabda Rasulullah menjelaskannya. Tergantung pada kualitas manusia untuk memilihnya.
Pada dimensi eksonomi dan penegakan keadilan, sebagai pemilik akal dan hati, manusia diperintahkan untuk menjadi timbangan kebenaran dan keadilan. Sebab, dalam transaksi ekonomi, Allah melarang manusia mengurangi timbangan yang digunakan. Untuk itu, manusia seyogyanya menegakkan timbangan dengan adil dan tidak berlaku curang. Gunakan timbangan yang adil dalam semua amal perbuatan dan ucapan yang dikeluarkan agar tak merugikan diri dan sesamanya. Hal ini sesuai firman Allah :“dan tegakkanlah keseimbangan (timbangan) itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan (timbangan) itu” (QS. ar-Rahman : 9).
Sungguh Rasulullah SAW merupakan sosok pemberi dan sekaligus menjadi contoh terbaik timbangan kemuliaan. Hal ini diungkapkan Syekh Abdul Rahman ad-Diba’i melalui ungkapan :“Apabila Rasulullah SAW tersenyum, senyumnya menyejukkan bak butiran embun. Apabila ia berkata, seakan mutiara berjatuhan dari mulutnya (ucapannya)”.
Nukilan di atas dapat dijadikan sebagai timbangan manusia untuk beradab dan memiliki adab yang mulia. Namun, kalanya manusia hanya sebatas menyatakan umat Rasulullah, tapi wujud implementasi seakan berseberangan dengan ajarannya. Sebab, acapkali senyuman penuh cibiran menyakitkan dan kata penuh tipu daya kemunafikan. Kalimat Allah dan Rasulullah sebatas lipstik penghias bibir. Namun, hakikat yang bersemayam pengingkaran. Sifat yang demikian bak pepatah “bersutan di mata, beraja di hati”. Pepatah ini menjelaskan sifat manusia yang suka berbuat sesuka hati dan sewenang-wenang. Asesories dirinya hanya seakan menampil-kan kesalehan setitik untuk menutupi kesalahan yang membanjiri alam semesta.
Mempertimbangkan sifat manusia yang berpotensi ingkar maka secara khusus Allah memgingatkan melalui firman-Nya :“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang). (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam” (QS. al-Muthaffifin : 1-6).
Bila ayat di atas dikembangkan dalam konteks yang lebih luas, maka timbangan menjadi dasar hadirnya pertimbangan yang bermuara pada wujud keputusan. Tentu, sebelum sampai ke muara, banyak bentuk “muatan” pada pertimbang-an yang akan dilakukan. Andai, muatan obyektif dan berkeadilan, maka kebajikan dan buah amal yang akan dipetik. Namun, tatkala “muatan janji transaksi” sebagai dasar pertimbangan, maka hadir peng-khianatan atas ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kebenaran ditukar menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran. Bila hal ini yang dilakukan, maka akan berbuah mafsadah dan dosa yang tak bertepi. Allah mengingatkan, sungguh celaka manusia yang secara sadar hanya menjadikan ayat-Nya sekedar dibaca untuk didustakan dan dipermainkan. Andai transaksi berisi janji materi, bagaikan menggenggam kerikil api neraka. Andai transaksi posisi, bagaikan menempatkan diri di kerak api neraka”.
Meski Allah Maha Pengampun, namun bila berkaitan transaksi dengan sesama, Allah akan mengampuni bila sesamanya telah saling memaafkan. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Barang-siapa yang mempunyai kezhaliman kepada saudaranya mengenai hartanya atau kehormatannya, maka diminta dihalalkanlah kepadanya dari dosanya itu sebelum datang hari di mana nanti tidak ada dinar dan dirham (hari kiamat), di mana akan diambil dari pahala amal kebaikannya untuk membayarnya. Kalau sudah tak ada lagi amal kebaikannya, maka akan diambil dari dosa orang yang teraniaya itu, lalu dipikulkan kepada orang yang menganiaya tersebut” (HR. Bukhari).
Merujuk hadis di atas, terlihat jelas atas kualitas suatu timbangan (neraca) yang menjadi dasar pertimbangan yang diambil dan dampaknya. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan : “Takutlah kalian pada doa orang yang dizalimi, karena sesungguhnya ia akan dibawa ke atas awan. Kemudian Allah berkata : Dengan kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, Aku pasti akan menolong-mu, sekalipun nanti” (HR. at-Thabrani).
Gunakanlah timbangan akal dan hati yang dibimbing oleh agama (iman). Melalui cara ini, ia akan bertindak secara benar sebagai dasar pertimbangan yang bijak, adil, dan obyektif. Dengan demikian, seluruh keputusan yang diambil akan berjubah keadilan-Nya. Bila tidak, maka pertimbangan yang dilahirkan akan menghadirkan kenestapaan dan kezaliman yang akan ditanggung sepanjang zaman.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 1 Juli 2024
Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments