BERSAMA singa, harimau disebut “si raja hutan”. Gelar yang sandangnya bukan sebatas “isapan jempol”. Dengan belang yang mewarnai tubuhnya, kuku dan taring yang runcing nan mematikan, serta kelincahan dan kekuatan yang dimiliki, ia bukan hanya ditakuti oleh penghuni hutan saja. Bahkan, manusia yang hidup di luar hutan akan takut dan ngeri terhadapnya.

Meski tak melihat fisiknya, hanya ketika harimau mengaum, manusia dan seisi hutan akan lari menyelamatkan diri. Demikian dahsyat auman harimau, melebihi lolongan serigala. Meski pada umumnya manusia hanya berani bila harimau dikerangkeng, namun menyisakan aura ngeri bila ia mengaum. Terlepas semuanya, ternyata ada pelajaran berharga atas seekor harimau, antara lain :

Pertama, Harimau mengaum tanda tak akan menyerang (berbuat). Aumannya hanya sekedar untuk menakuti lawan. Tapi, bila ia diam justeru sangat membahayakan. Serangannya begitu tiba-tiba dan sangat mematikan. Jangan pernah meremehkan ketika harimau diam. Untuk itu, ketika kondisi ini perlu kewaspadaan ekstra. Hal ini sesuai pepatah leluhur: “jangan membangunkan harimau yang tidur”. Ungkapan ini mengingatkan agar jangan membangkitkan kemarahan seseorang.

Diamnya perlu diwaspadai. Apatahlagi bila berkaitan harga dirinya. Bila harga diri dan martabat telah diinjak-injak, logika tak lagi berlaku. Sebab, bila kemarahannya telah tersulut, maka keberingasannya akan melebihi buasnya seekor harimau si raja hutan. Untuk itu, hadirkan sifat dan perilaku saling menghargai dan jangan sesekali membangunkan sisi “kehewanan” yang dipendamnya. Hanya dengan demikian manusia bisa hidup secara harmonis dalam keberadabanan.

Kedua, Harimau mengandalkan belang (asesories) dan lantangnya auman untuk menakuti lawan. Sebab, ia tak memiliki akal (karya) dan adab yang dapat dibanggakan. Belang yang dimiliki hanya melindungi diri dan habitat yang minta perlindungannya. Hanya sisi “ketakutan” yang dimiliki. Ia hadir hanya memangsa, bukan melindungi sesama dan menjaga peradaban. Sifat harimau yang demikian berbeda dengan sifat gajah. Hal ini diingatkan leluhur melalui pepatah yang menyebutkan, “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Pepatah ini bermaksud, bahwa setiap manusia pasti meninggalkan kesan dan dikenang sesuai nilai perbuatan yang dilakukannya. Bila berprilaku jahat (belang) akan meninggalkan cibiran, apatahlagi bila menyebarkan kezaliman dan keseng-saraan pada sesama. Sementara bila manusia berprilaku baik, maka ia akan meninggalkan kenangan indah, bernilai tinggi  bak gading, dan diingat sepanjang waktu. Meski mungkin ingatan manis akan hadir oleh lintas generasi setelahnya. Demikian janji Allah melalui firman-Nya : “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. ar-Rahman : 60).

Kenangan atas karya nyata, bukan sebatas kata tanpa karya. Hadirkan sifat gajah yang meninggalkan gading bernilai tinggi. Mungkin bagi manusia yang tak mengerti, gadingnya hanya sebatas benda tak berharga atau tak berarti. Tapi, bagi manusia yang mengerti nilai sebuah gading, ia akan diolah dan bernilai tinggi. Demikian perilaku manusia yang beradab dan berhati nurani. Meski nilai kebaikan yang disuguhkan hanya akan dipandang sebelah mata oleh sebagian penduduk Bumi.

Tapi, bagi seluruh penduduk langit, apa yang telah dilakukan akan selalu dinantikan dan diingat dengan torehan tinta emas. Demikian sebaliknya, meski manusia dipandang mulia oleh seluruh isi bumi, tapi belum tentu dianggap mulia oleh penduduk langit, bahkan dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Sebab, mungkin “belang” yang dimiliki hanya membuat ketakutan yang menghadirkan “tepukan mulia” penuh kemunafikan, bukan penghargaan yang sebenarnya dan penuh keikhlasan.

Sungguh, sifat belang harimau yang ditakuti tak bersifat abadi. Ia hanya hadir sementara kedigdayaan ada di “tangan”. Ketika “belang” telah hilang dan “taring” telah patah, hanya tersisa cibiran dan kehinaan sepanjang masa. Berbeda bagi manusia yang membawa sifat “gading” dan nama baik. Meski telah tiada, “gading” dan karya yang ditinggalkan tetap bernilai tinggi, bahkan semakin lama semakin berharga. Kehadirannya bagaikan barang antik bernilai tinggi oleh lintas generasi.

Ketiga, Harimau akan hilang kekuatan dan auranya yang menyeramkan ketika berada dikerangkeng (kandang). Meski manusia takut terhadap harimau, namun selama ia berada dalam kerangkeng, justru harimau hanya sebatas “mainan” dan objek untuk berfoto. Apatahlagi bila harimau dibayangi oleh cemeti dan ancaman keinginan perutnya (makan), maka ia akan tunduk. Hal ini bisa dilihat nasib harimau di arena sirkus. Meski belangnya menakutkan dan taringnya begitu tajam, tapi tunduk bila melihat cemeti di tangan pelatih sirkus. Demikian sifat manusia yang kehilangan muruah diri. Ia bagaikan harimau dalam kerangkeng atau lepas untuk “menghibur” di bawah ancaman cemeti yang akan melukai. Meski bebas, tapi gerak terbatas. Meski masih memiliki auman, tapi sebatas jadi tontonan dan bahan tertawa.

Sungguh beruntung harimau di rimba. Hidup bebas sebagai raja, meski tak pernah mendapat tepukan menggema. Harga dirinya terjaga penuh wibawa dan kekaguman tanpa pura-pura.

Keempat, Harimau kehilangan suara aumannya bila disuguhkan seonggok daging segar. Ia tak peduli di mana ia ditempatkan, apakah di kerangkeng sempit atau ruang lapang penuh fasilitas. Ia tak menyadari, meski ruang lapang disedia-kan, tapi dikelilingi oleh tembok yang kokoh nan tinggi. Sungguh, harimau lupa atas kemerdekaan dirinya yang terjual. Kehebatannya terpasung dan hanya menyisakan gelar si raja hutan yang tak berarti. Semua sirna tak tersisa hanya oleh seonggok daging segar.

Kelima, Karakter seekor harimau yang beringas akan muncul tatkala berada di alam bebas. Ia bebas bergerak dan berbuat tanpa aturan yang mengekangnya. Demikian sifat manusia. Untuk itu, jangan takut pada pemilik kehebatan. Ia bak harimau. Sebab, bila ia terkurung pada ruang yang penuh fasilitas, maka ia akan tunduk pada “telunjuk sakti”. Tapi, takutlah pada manusia hebat yang berada di luar “kurungan”. Ia bebas menyuarakan kebenaran dan idealis dirinya yang terjaga. Lidahnya bagaikan api dan goresan tangannya bak pedang Sayyidina Ali RA.

“Harimau” yang bebas merupakan karakter manusia yang memiliki kecerdasan dan harga diri (muruah). Ia hanya bisa bekerja-sama untuk kebaikan. Kehadirannya akan bermanfaat tatkala ia didekati dengan adab. Untuk itu, rangkul semua pihak dari sisi kemanusiaannya untuk bisa bersama secara harmonis. Sebab, ia akan bekerjasama dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Sebenarnya, justru yang perlu dikhawatirkan pada sosok pemilik potensi tatkala ia di luar arena dan dilepas tanpa ikatan adab. Apatahlagi bila ia dizalimi “di alam bebas”. Kehadiran “cemeti” justeru akan membangkitkan semangatnya untuk menyerang dan kesewenagan membang-kitkan asanya untuk menerkam. Apatah-lagi, bila sisi kemanusiaan dan harga dirinya terinjak-injak. Ia akan berubah melebihi sifat harimau, bahkan ganasnya melebihi makhluk yang paling ganas. Sebab, dengan kelebihan (ilmu dan adab) yang dimiliki, ia bisa merobohkan gunung yang tinggi dan mengguncang isi dunia, serta munajatnya mampu menggetarkan pintu langit. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Maidah : 8).

Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan agar manusia berlaku adil, bijak, dan beradab pada sesama. Jangan mengedepankan kebencian, fitnah, iri, dan kezaliman menguasai diri. Jangan memandang golongan, suku, kerabat, atau agama sebagai pembatas yang menyuburkan rasa kebencian. Kedepankan sifat kebajikan dan jaga kehormatan sesama agar hadir dorongan berbuat baik (ihsan) kepada alam semesta. Sebab, ihsan  merupakan sifat dan tindakan berbuat kebaikan yang beradab, toleransi, bijaksana, saling meng-lhargai, dan varian  sejenisnya. Melalui sifat ini, manusia akan selalu mengedepankan kebajikan bukan pengkhianatan, membangun keberadaban bukan pemicu timbul-nya kebiadaban, saling menghargai bukan menzalimi, atau varian lainnya. Tidaklah mulia bila kehebatan yang kering adab dan saling menghargai. Untuk itu, wajar bila ajaran Islam menempatkan ihsan pada derajat yang tinggi setelah iman dan Islam. Hanya melalui sifat ihsan, hadir sosok manusia pelindung yang menghargai, bukan menyakiti dan menzalimi. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya: “Ingatlah, barangsiapa berlaku aniaya terhadap seorang mu’ahad, menekannya, atau membebaninya dengan beban yang tidak mampu ia tanggung, atau merampas hak mereka, maka aku adalah orang yang akan memintakan pertanggungjawaban-nya kelak di hari kiamat” (HR. Abu Daud).

Demikian jelas sabda Rasulullah kepada umatnya, namun semakin terang pula pelanggaran yang dilakukan manusia. Sungguh, tampilan asesoris yang indah tak akan pernah mampu menutupi busuk yang ada dalam diri. Pada saatnya akan tercium dan terlihat jua. Ketika saat itu terjadi, hanya tersisa penyesalan yang tak bertepi.

Sadarlah, meski harimau digdaya dengan sebutan si raja hutan, tapi ia harus selalu waspada. Mata pemburu selalu mencari titik lemah untuk “ditangkap” dan dilemahkan. Sementara, ketika masa renta, belangnya tak lagi menyeramkan. Apatahlagi bila “taring” telah patah. Wajar bila kehadirannya tak menakutkan lagi. Ia akan diusir, tak diperlukan, dan tak lagi dipedulikan. Tak ada yang mau membantu dan menghargainya lagi. Sebab, ketika kuasa dan digdaya, ia hanya menyebarkan ketakutan pada seisi hutan. Ia hanya ditunggu oleh kumpulan ulat yang setia menantikan untuk memakan tubuhnya.

Demikian sifat manusia. Ketika digdaya akan disegani, tapi begitu tak lagi memiliki daya, maka ia akan dicampakkan. Hanya saja, sikap ini mungkin terjadi dengan alasan : (1) Sikap harimau ketika kuat ber-taring, menampilkan prilaku arogan, zalim, dan mementingkan diri tanpa mengayomi. Wajar ketika tak lagi berdaya, ia akan dibiarkan dan terhina di mata penduduk hutan. (2) Sikap bijak yang mengayomi. Dengan kadigdayaannya, ia hadir sebagai pelindung dan pembela. Meski ketika yang diayomi telah “dewasa”, ia akan dilupakan dan diterlantarkan. Perilaku seperti ini disebabkan karena sosok yang diayomi berkarakter “kacang lupa akan kulitnya”.

Tampilan harimau yang demikian bagai sifat segelintir manusia yang bermazhab “pragmatis” penuh ambisi dan lupa balas budi. Ia hanya akan berkiblat pada sosok yang dapat memberi manfaat sesaat, tapi mudah melupakan bila harapannya telah tercapai apalagi tak mampu diraih.

Mungkin, suatu ketika sosok “pengayom” yang adil hanya dipandang sebelah mata oleh oknum yang pernah diayomi. Pergeseran akibat dirinya tak diperlukan lagi. Tapi, Allah tak pernah lupa pada janji-Nya. Meski penduduk bumi tak lagi menghargai, tapi pengayom yang ikhlas akan tetap mulia di sisi-Nya dan dinanti penduduk langit. Namun, bagi pengayom penuh kelicikan dan tanpa adab, meski disanjung mulia di dunia, tapi hanya seketika. Pada waktunya, ia akan menuai hina sepanjang masa oleh seisi alam semesta.

Sungguh benar pepatah leluhur mengingatkan : “harimau mati karena belangnya, manusia celaka akibat keangkuhan dan kezalimannya”. Demikian tinggi nilai petuah leluhur, pedoman hidup lintas generasi. Namun, semua seakan telah sirna. Sebab, petuah tak lagi memiliki “tuah”, agama tak lagi dijadikan pedoman, adab tak lagi mengisi ruh peradaban, dan adat telah tercabut dari istiadat. Semua disebabkan hati yang membusuk, akal yang membeku, serta harga diri yang telah terjual dan mati. Sungguh memprihatinkan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Translate »