DALAM dunia sandiwara (perfilman), ada alur cerita yang dipentaskan berangkat dari kisah kehidupan nyata dan ada pula yang bersifat hayalan (fiktif) belaka. Ada yang suka cerita nyata, tapi tak sedikit yang senang cerita fiksi. Sandiwara berarti pertunjukan yang dipentaskan di atas panggung. Genrenya bisa humor, romantis, misteri, dan semacamnya.

Para pemeran (lakon) dilatih sebelum pementasan agar pagelaran menarik untuk ditonton. Respon penonton pun beraneka ragam. Semua tergantung pada karakter, alur cerita, dan kualitas setiap manusia yang menonton. Namun, terlepas asal cerita, tapi kisah yang dipentaskan kalanya mampu membangkitkan emosi (marah, sedih, dan gembira), serta gaya (style) diri setiap penonton.

Demikian besar pengaruh sebuah pementasan. Tanpa disadari, semuanya hadir membawa pesan kehidupan manusia di muka bumi. Untuk itu, Iwan Fals menukilkan lewat tembang “Panggung Sandiwara”. Bait tembang yang berisi sindiran dan kritik atas prilaku umat manusia yang penuh sandiwara. Sebab, ia hanya mengisi hidup di dunia dengan tipu daya, ajang flexing, senda gurau, dan varian lainnya. Seakan kekal selamanya tanpa pertanggungjawaban.

Hanya saja, ungkapan tersebut tidak tepat untuk menilai dunia sebagai sandiwara. Sebab, Allah SWT menciptakan dunia dan alam semesta bukan sebagai bahan candaan dan permainan. Hal ini dinyata-kan Allah melalui firman-Nya : “Tidaklah Kami ciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya secara main-main” (QS. ad-Dukhan : 38).

Begitu jelas ayat di atas menolak faham dramatisasi dunia sebagai media yang disandiwarakan. Mereka yang berfaham demikian pasti akan tergelincir dan ter-hina. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya : “Kami tidak menciptakan langit dan bumi, serta apa yang ada di antara keduanya secara sia-sia. Itulah anggapan orang-orang yang kufur. Maka, celakalah orang-orang yang kufur karena (mereka akan masuk) neraka” (QS. Shad : 27).

Sungguh, kalanya antara sandiwara dan kenyataan sangat sulit dibedakan. Kalanya sandiwara berubah nyata dan kisah yang nyata sebatas sandiwara. Sebab, aktivitas sandiwara dan dunia tak terlepas pada manusia sebagai aktor utamanya. Ada beberapa i’tibar sandiwara manusia dalam dunia kehidupan, antara lain:

Pertama, Dunia merupakan hamparan kertas putih untuk menulis cerita. Setiap manusia sebenarnya sedang menuliskan kualitas dirinya. Tulisan yang akan dilihat dan terlihat oleh sesamanya, bahkan lintas generasi. Andai tulisan peradaban yang mencerdaskan, maka lembaran tulisan akan ditoreh dengan tinta emas. Namun, andai tulisan penghancur peradaban, maka torehan tinta hitam seiring cercaan sepanjang zaman. Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya :  “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…..” (QS. Hud : 7).

Bagi pemilik kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya, tulisan yang dilukisnya bercerita tentang kebesaran Allah dan adab Rasul-Nya. Semua kreasinya akan membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin. Tapi, bagi manusia yang jauh dari Allah dan Rasul-Nya, tulisan yang dilukis hanya menunjukan keingkarannya semata. Pilihannya hanya membawa mafsadah lil ‘aalamiin. Untuk itu, KH. Hasyim Asy’ari berpesan, bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita”.

Demikian dalam makna nasehat yang disampaikan. Meski tak banyak yang mampu melakukan apa yang dinasehatkan.

Kedua, Dalam melakukan pementasan, manusia sebagai aktor ada kalanya menggunakan wajah asli (kejujuran) dan topeng (kepalsuan dan kemunafikan). Padahal, Rasulullah telah mengingatkan melalui sabdanya :“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meski dalam realita, acapkali ditemukan sosok yang melalui jalan penuh dusta. Pilihan salah yang dianggap menjadi boleh. Bahkan, jalan yang dianggap sudah menjadi tradisi yang dilestarikan.

Ketiga, Cerita ada yang membuat tertawa,  membuat tangis luka, bahagia atau kesedihan, dan kesuksesan atau kesesatan (kegagalan). Tapi, semua pementasan pasti akan berujung. Tak ada yang abadi.

Pada waktunya, semua “film” akan berakhir. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS. al-Baqarah : 64).

Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa kehidupan ini bersifat fana yang membuat manusia lupa diri. Layaknya sebuah sandiwara, semua pementasan akan menemui episode akhir. Meski dalam bisnis perfilman memanfaatkan animo penonton yang tinggi menjadi alasan mem-buat sequel untuk melanjutkan cerita. Tapi, sepanjang apa pun cerita dibuat, tapi semua “pementasan’ pasti berakhir. Kesenangan dan kesedihan, penguasa dan hamba, baik dan buruk, kemuliaan dan kehinaan, atau varian lainnya tidak ada yang abadi di dunia ini.

Namun, kalanya manusia seakan lupa atas sunnatullah. Ia lupa, bahwa pada waktunya semua akan berakhir. Tapi, sifat kejahilan mendominasi untuk memegang erat dunia dan tak mau melepaskannya. Sifat ini menghantarkannya menghalalkan segala cara agar dunia dalam genggamannya.

Keempat, Suksesnya sebuah pementasan dipengaruhi banyak variabel, baik aktor utama maupun tokoh di belakang layar. Harmonisasi variabel tersebut saling mempengaruhi kualitas cerita yang dipentaskan. Namun, sosok yang diingat, terkenal, dan memperoleh pundi mencolok hanya produser (pemilik modal) dan aktor utama (pelaku cerita). Sementara unsur pendukung (sutradara, cameramen, perias, lighting, catering, stuntman, piguran, dan lainnya) kurang dikenal dan tak memper-oleh hasil yang sama. Padahal, mereka menunjang keberhasilan pemeran utama.

 Apatahlagi sosok stuntman yang penuh resiko. Namun, keberadaannya kurang diperhatikan secara berkeadilan. Demikian kehidupan nyata. Piguran acapkali menjadi solusi menutupi kesalahan aktor. Padahal, aktor dan produser merupakan penikmat pundi yang ada.

Kesuksesan pementasan acapkali diberi bumbu rekayasa agar apa yang ditampilkan menjadi baik. Padahal, tak semua adegan berangkat kebenaran. Beberapa adegan acapkali dipoles untuk “menipu” penonton seakan benar. Demikian kehidup-an nyata manusia. Apa yang terjadi di dunia akting acapkali wujud wajah realitas peradaban.  Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya : “Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS. Ali Imran : 54).

Meski begitu jelas ayat disampaikan, namun semakin jelas keingkaran dilakukan. Seakan manusia “menantang” firman-Nya melalui perilaku yang penuh tipu daya.

Kelima, Pementasan akan bernilai atau gagal tergantung pada sambutan (respons) penonton. Berapa banyak pementasan meraih keuntungan ketika animo dan jumlah penonton demikian tinggi. Sementara, tak sedikit pementasan mengalami kerugian ketika kehadirannya tak memperoleh sambutan dan sepi penonton. Untuk itu, sosok aktor yang menarik, bijak meraih simpati, dan lihai mengolah kata lewat janji manis akan menghipnotis penonton. Meski setelah pementasan selesai, penonton acapkali kecewa melihat prilaku aktor yang tak sesuai saat pementasan. Namun, begitu pementasan pada film lainnya, aktor yang sama kembali mampu menghipnotis penonton. Tapi anehnya, penonton tak pernah cerdas dan aktor tetap terus memainkan dagelannya. Kedua belah pihak hadir pada frekuensi sifat yang sama. Dalam kitab Kasyfu al-Khafâ ditulis bahwa : “Pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian”. Ungkapan ini merujuk secara jelas pada firman-Nya pada QS. an-Nur : 26.

Demikian jelas dan gamblang ungkapan dan ayat di atas mengingatkan setiap manusia. Andai penonton menyenangi kisah sinetron, maka sutradara akan membuat skenario dan aktor akan memerankan sesuai kesenangan penonton. Rujukan utama sesuai pada kecenderungan ketertarikan penonton atas sandiwara yang disuguhkan. Begitulah wajah realitas kehidupan. Ketertarikan atas tontonan lebih mendominasi dan diminati. Sebab, suguhannya mengundang decak kagum dan pujian. Sementara, nilai tuntunan terasa hambar dan membosan-kan. Wajar bila tuntunan dianggap “lawan”. Untuk itu, sosok pemberi tuntunan tak lagi diperlukan dan perlu dikucilkan.

Kondisi di atas menerpa hampir semua sisi kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Tuntunan kehilangan ruang, sebab terisi tuntutan capaian materi. Akibatnya, wujudnya ada, namun tanpa ruh. Hadir bak sosok “boneka atau vampir” yang kehilangan karakter kemanusiaan yang hakiki. Hilang rasa malu, punah adab ilmu, semua bisa “dibeli” dan dikondisikan.

Keenam, musuh dalam sandiwara, tapi teman di dunia nyata. Demikian pula sosok yang arogan di dunia nyata, disulap santun di panggung sandiwara. Demikian wajah kehidupan ini. Wujud tampilan kehidupan nyata tapi penuh sandiwara. Atau manusia sedang bersandiwara dalam kehidupan nyata. Sungguh hati manusia sulit dicerna dan diterka. Demikian Allah mengingatkan dalam firman-Nya : “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui” (QS. al-‘Ankabut : 64).

Sungguh, andai dunia sebagai pentas sandiwara, berarti kehidupan dunia bagai sebuah permainan (lakon). Namun, kalau sedang “bermain”,  jangan pernah main-main ketika melaksanakan apa yang dimainkan, apatahlagi bila untuk memper-mainkan aturan permainan yang telah ditetapkan. Mungkin penduduk dunia bisa disilaukan oleh permainannya. Namun, semua tak bisa menipu penduduk langit. Akibatnya, ia hanya disanjung ketika di dunia, namun hina dan nestapa dipeng-hujungnya. Ketika hal ini terjadi, tak ada guna penyesalan dan popularitas yang ditinggalkan. Demikian isi firman-Nya pada QS. Ibrahim : 44. Sebait untaian gurindam, penulis tujukan untuk pengingat diri:

“Sosok berbudi tak menarik hati, sosok tak beradab mendapat simpati. Tulislah dunia dengan asma-Nya, bukan hanya mengejar popularitas dunia. Tulislah dengan bukti kemampuan, bukan melalui sejuta tipuan. Ukir prestasi yang penuh arti, bukan saling membenci. Buktikan diri bila mampu berbuat, bukan hanya sosok penjilat yang khianat.  Bangun karya peradaban untuk maslahah, bukan melalui cara memfitnah”.

Semua drama dan dramatisasi yang terjadi begitu jelas dan nyata. Namun, pilihan ada pada setiap manusia. Pilihan menuju jalan fujur atau taqwa. Tapi, semua tergantung kualitas hati dan pilihan siapa yang ada disekitar diri, bukan sekedar “bersolek” asesories sandiwara yang sarat alibi.Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Translate »