Setiap pemimpin harus memiliki kesiapan mental untuk menghadapi berbagai ujian. Dengan ujian itu, citra seorang pemimpin bisa menjadi hina, namun bisa juga bertambah mulia. Kemampuan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik dalam menghadapi dan mengatasi ujian dengan langkah-langkah yang benar membuatnya menjadi pemimpin yang bercitra mulia, meskipun menjadi pemimpin dalam waktu yang amat singkat.
Suatu ketika, Fatimah ra, putri Rasulullah saw, dan Abbas, paman Rasululullah saw menemui Khalifah guna menuntut hak mereka atas sebidang tanah yang diperoleh Rasul dari ghanimah (harta rampasan perang) yang hasilnya diberikan kepada keluarga dan fakir miskin. Khalifah Abu Bakar kemudian mengatakan apa yang pernah disabdakan Rasulullah saw semasa hidupnya, “Kami golongan nabi- nabi, tidaklah mewariskan dan apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.”
Setelah mengemukakan hadits tersebut, meskipun pada dasarnya ia amat berat untuk mengatakan “tidak kepada Fatimah, karena memang hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, Abu Bakar melanjutkan ucapannya “Maka, demi Allah, tidak satu pun perbuatan yang dilakukan Rasulullah, melainkan akan aku lakukan juga. Sungguh, aku takut jika meninggalkan sesuatu yang diperintahkannya akan tergelincir.”
Mendengar pernyataan itu, wajah Fatimah tampak terlihat sebagai wajah orang yang kecewa. Sebenarnya, Abu Bakar merasa tidak enak hati karena Fatimah adalah anak yang begitu dicintai Rasul dan ia juga termasuk orang yang paling setia kepada perintah Rasul, bahkan ia tidak pernah melanggar perintahnya. Meskipun demikian, Abu Bakar tetaplah sebagai khalifah yang harus mengatasi ujian yang berkaitan dengan syariat. Oleh karena itu, Abu Bakar memanggil para sahabat seperti Umar, Thalhah, Zubair, Sa’ad dan Abdurrahman.
Dihadapan Fatimah, beliau bertanya, “Atas nama Allah yang dengan titah-Nya berdiri langit dan bumi, saya minta engkau memberikan jawaban atas pertanyaanku, bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Kami ini tidaklah mewariskan dan apa-apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah?”
Belum lagi para sahabat menjawab, Fatimah memotong pembicaraan, “Engkau tentu tahu bahwa Rasulullah telah menghibahkannya sewaktu hidupnya sehingga tanah itu menjadi milikku dengan hibah, bukan warisan?”
Abu Bakar menjawab, “Memang aku tahu, tapi aku lihat beliau membagikannya kepada fakir dan miskin serta orang yang dalam perjalanan setelah memberikannya kepanja engkau secukupnya. Dengan demikian, Rasul bermaksud agar padanya terdapat hak yang tetap bagi fakir miskin
Fatimah berkata pula, “Kalau begitu biarkanlah ia berada di tangan kami dan kami akan tetap melaksanakan apa yang biasa berlaku pada Rasulullah.”
Namun, Abu Bakar tetap tidak setuju. la berkata, “Aku adalah pemimpin kaum Mukmin sepeninggal Rasul mereka. Aku lebih berhak menentukan daripada engkau berdua dan aku akan menempatkannya pada tempat yang telah ditetapkan Rasulullah.”
Bagi Abu Bakar, masalah ini terasa sebagai ujian yang berat. Di satu sisi, ia harus berpegang teguh pada ketetapan Rasul, namun, di sisi lain, ia juga harus menghormati keluarga beliau. Ternyata, ia tetap berpegang teguh pada ketetapan Rasul tanpa harus mengabaikan penghormatan kepada keluarganya.
Ujian berpegang teguh pada undang-undang membuat Abu Bakar sangat berhati-hati, apalagi dalam masalah keuangan negara. Keesokan harinya, sesudah ia disepakati dan dilantik sebagai khalifah, ia tetap ke pasar dengan membawa barang-barang yang hendak dijualnya. Karenanya, Umar baranathab bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan di pasar, bukankah engkau telah diserahi kewajiban mengatur urusan kaum Muslimin?.”
“Ya, tapi dari mana aku memperoleh nafkah untuk memberi makan keluargaku bila aku tidak berdagang?”
Sampai disini kita berkesimpulan bahwa Abu Bakar tetaplah Abu Bakar, la tidak mau seenaknya mengubah di rinya tanpa didasari oleh undang-undang. Karenanya, mes ki telah menjadi khalifah ia tetap berdagang tanpa menga- baikan kewajibannya sebagai khalifah. Namun, Umar bin Khattab mengatakan kepadanya, “Mari ikut kami. Akan ka- mi sisihkan bagi engkau uang baitul mal seadanya.”
Khalifah Abu Bakar mengikuti Umar ke masjid. Kepada para sahabat Umar mengusulkan pemberian tunjangan kepada Khalifah. Kendati demikian, mereka hanya bisa memberikan sekadar untuk menunjang hidup, yakni sete- ngah ekor domba setiap hari ditambah 250 dinar setahun. Pada tahun berikutnya tunjangannya itu dinaikkan menjadi seekor domba dan 300 dinar.
Dengan keluarganya yang besar, Abu Bakar menjalani hari-harinya yang berat dengan tunjangan yang pas-pasan. Meskipun begitu, ia sangat hat-hati terhadap perkara yang syubhat atau ragu-ragu antara halal dan haram, apalagi bila su makanan haramnya. Suatu ketika, pelayaran apemberikan makanan dan ia pun memakannya. Namun, setelah itu, pelayannya bertanya, “Tahukah engkau, maka nan apakah itu wahai khalifah?”
Abu Bakar bertanya, “Makanan apa?”
Pelayannya menjawab, “Masa jahiliyah dulu, aku bertenung kepada seseorang. Padahal aku sebenarnya tidak bisa, tapi aku berhasil menipunya. Kebetulan hariya ia menemuiku dan memberinya upah. Maka, hasil inilah yang engkau makan itu.”
Mendengar hal itu, Abu Bakar langsung memasukkan tangan ke mulutnya hingga ia pun muntah dan menge- luarkan yang tidak halal dari apa yang telah dimakannya itu.” Beliau sampai mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tidak dapat mengeluarkannya, kecuali bersama nyawaku, pasti akan aku keluarkan juga.”
Oleh karena itu, selama menjadi khalifah, ia hanya mengambil bagian sedikit dari baitul mal, sekadar untuk menyambung hidup dan memenuhi fasilitas hidup yang sangat sederhana. Meskipun demikian, ketika menjelang kematiannya, dipanggil putrinya yang merupakan istri Rasulullah saw, yakni Aisyah ra. la berkata, “Periksalah harta, kalau-kalau ada kelebihan harta Abu Bakar sejak ia diangkat menjadi khalifah, lalu kembalikanlah kepada kaum Muslimin.” Kalimat inilah yang menjelang kematiannya. diulang-ulangnya
Setelah diurus jenazahnya, maka harta yang diperiksa dan dikembalikan ke baitul mal adalah seekor keledai yang biasa digunakan untuk mengangkut air, sebuah tong besar untuk tempat memerah susu, dan sehelai baju yang dipakai untuk menerima tamu-tamu utusan dari daerah dan negara lain.
Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
1. Ketegasan dalam menjalankan ketentuan bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi perjalanan masyarakat dan bangsa yang baik.
2. Jabatan kepemimpinan merupakan ujian bagi seseorang untuk tetap bisa sederhana tanpa menuntut tunjangan jabatan yang besar dengan segala fasilitinya.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments