BAGI hamba yang telah diberi kesempatan menikmati manisnya Ramadan, maka ia tak ingin berpisah dengan Ramadan. Hal ini bukan semata-mata karena Ramadan melipatgandakan amaliah manusia, tapi kenikmatan bersama rahmat Allah yang terbuka luas di bulan Ramadan.

Sosok hamba yang demikian ini akan mampu  merasakan nikmat Ramadan. Hal ini terukir dalam sabda Rasulullah SAW: “Seandainya umat manusia mengetahui pahala ibadah di bulan Ramadan, maka niscaya mereka akan meminta agar satu tahun penuh menjadi ramadhan” (HR. Tabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi).

Meski demikian jelas sabda Rasulullah,  namun tak semua hamba yang sadar dan memperoleh kesempatan menikmati ruang Ramadan. Sebagian hanya sebatas hadir di bulan Ramadan, tanpa mampu merasakan kenikmatannya. Ia hanya hadir bagai seorang yang berada di danau yang jernih airnya. Ia sekadar hadir, tapi tak menikmati dinginnya air danau untuk membersihkan dirinya. Apalagi meminum airnya yang nikmat serasa tak pernah dirasakan. Seyogyanya, andai tak bisa menjemput Ramadan dengan baik, maka lepaskanlah ia dengan haru dan rindu.

Sungguh, pergantian Ramadan merupakan wujud sunnatullah. Namun, karakter manusia atas berakhirnya ramadhan terkadang berbeda-beda. Paling tidak ada 3 (tiga) sikap yang hadir, yaitu :

Pertama, Ramadan dilepas dengan derai air mata. Ia khawatir bila Ramadan tahun ini merupakan Ramadan terakhir yang ditemuinya. Ia tangisi karena merasa ibadah yang dikerjakan belum maksimal dan berkualitas. Ia khawatir bila tak akan bertemu dengan Ramadan yang akan datang. Sebab, ia sadar bahwa dirinya sedang menunggu antara Ramadan dengan Ramadan untuk dipanggil oleh Allah SWT.

Andai perasaan ini yang dirasakan, maka pertanda ia merupakan hamba-Nya yang beruntung. Sadar atas kekurangan amaliah diri dan berupaya mendapatkan bekas Ramadan (atsar Ramadan)  yang terukir pada karakter dan amal pasca Ramadan.

Kedua, Ramadan dilepas dengan suka cita dan bahagia. Kebahagiaan karena merasa telah mampu menyelesaikan kewajiban berpuasa atau kebahagiaan bisa lepas dari kekangan selama Ramadan. Sikap ini memposisikan Ramadan bulan “pengekangan” kebebasan. Untuk itu, euforia menjemput Syawal menjadi lebih dominan dan gegap gempita. Bahkan, euforia yang muncul bak “kuda lepas dari kandang”. Merasa gembira sekali karena bebas dari larangan, kungkungan, dan aturan Ramadan lainnya.

Andai perasaan ini yang dirasakan, maka pertanda ia merupakan hamba-Nya yang merugi. Ia merasakan amaliah diri selama ramadhan telah cukup “membeli” surga-Nya. Setelah ramadhan berlalu, kebiasaan sebelumnya yang melanggar atiran Allah tetap terus dilakukan. Dalam pikirannya, amaliah Ramadan yang dilipatgandakan telah mampu menghapus dosa yang dilakukan sebelumnya. Perilaku kesalahan terus berulang dan yang akan dibersihkan tatkala bertemu dengan Ramadan berikutnya. Apatahlagi bila diyakini, ia telah memperoleh lailatul qadar yang amalannya dilipatgandakan 1.000 bulan.

Hamba yang demikian bagaikan seekor kerbau. Setelah bersih dimandikan, tapi tetap kembali ke kubangan. Seluruh badannya kembali kotor. Ia tak peduli. Sebab, ia yakin bahwa dirinya akan bersih tatkala tuannya nanti memandikannya. Tapi, setelah kembali bersih, ia tetap mencari kubangan. Demikian seterusnya. Ia tak tahu, sebagian besar nasib kerbau mati disembelih tatkala dalam keadaan kotor oleh kubangan lumpur. Hamba yang demikian ini tak mampu mendapatkan bekas Ramadan (atsar Ramadan). Sebab, pasca ramadhan, ia akan kembali pada kubangan lumpur dan mengotori dirinya.

Ketiga, Ramadan dilepas kepergiannya tanpa sesal (kesan) dan menemui Syawal tanpa rasa. Baginya, Ramadan dan Syawal atau bulan lainnya tak ada berbeda. Semua bergulir dan berputar sebagaimana mestinya. Untuk itu, bulan Ramadan dan lainnya merupakan keniscayaan selama alam terbentang.

Andai perasaan ini yang dirasakan, maka pertanda ia merupakan hamba-Nya yang celaka (nestapa). Sadar atas kekurangan amaliah diri, tapi tak mau memperbaikinya. Hamba yang demikian sama sekali tak merasakan kehadiran ramadhan. Ia makhluk tanpa rasa atau mati rasa. Wajar bila ramadhan tak pernah dirasakan. Manusia seperti ini bagaikan mayat hidup yang tak lagi mampu merasakan diri sebagai manusia.

Ketika ramadhan berlalu disambut takbir, tahmid, dan tahlil syahdu, pertanda syawal hadir membawa pesan bagi hamba yang bertaqwa menuju Idulfitri, bulan kemenangan. Bulan kesadaran menjaga kesucian bagi hamba yang mensucikan diri. Meski anehnya, Syawal acapkali dimeriahkan oleh hamba yang merasa kembali suci tapi tak pernah mensucikan dirinya dengan pakaian adab mulia.

Makna Idulfitri (kembali suci) perlu dimaknai secara komprehensif. Kembali suci tatkala Ramadan menjadi media pembersih diri. Namun, Idulfitri dapat dipahami dalam makna “kembali pada aturan agama” setelah dibentuk dan disadarkan selama ramadhan. Makna fitrah pada perspektif ini merujuk pada firman Allah: “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Rum : 30).

Jumhur mufasir menjelaskan bahwa makna fitrah pada QS. ar-Rum : 30 adalah addin hanif (agama yang lurus). Fitrah yang benar akan menyadarkan manusia terhadap perjanjiannya dengan Allah. Perjanjian dan dialog antara hamba dan Khaliq di alam mitsaq (ruh). Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…..” (QS. al-A’raf : 172).

Melalui ayat di atas, ternyata ketika hamba terjaga kesuciannya, ia bisa berdialog dengan Allah Yang Maha Suci. Hanya saja tatkala manusia berwujud ke alam materi, ia mengalami “kelumpuhan”, hati kronis, tuli, bisu, dan buta. Akibatnya, jasad dan ruh mengalami degradasi (keterpurukan) dan selimut kotoran yang menyebabkan tak tersambung dengan Allah SWT (QS. al-Baqarah : 18). Untuk itu, manusia diberi jalan menuju fitrahnya. Jalan tersebut  melalui addin hanif. Rangkaian gerbong addin hanif yang dijalankan secara kaffah melalui rangkaian ibadah vertikal dan adab horizontal yang dididik selama Ramadan.

Tatkala fitrah dimaknai bersih atau suci, maka secara bahasa Idulfitri dimaknai kembali kepada kesucian. Makna ini membentang pada 2 (dua) pilihan, yaitu :

Pertama, Fitrah zahir dan batin. Setelah proses penggemblengan Ramadan selama sebulan, manusia ditempa lahir dan batin untuk fitrah pada kebersihan diri secara totalitas. Melalui puasa, seluruh komponen sel jasmani mengalami proses perbaikan. Proses tersebut secara medis diakui sangat ampuh dalam menata kesehatan jasmani manusia. Di antara pengaruh yang terjadi melalui puasa adalah menurunkan berat badan, jantung, pencernaan, dan lainnya. Altivitas perbaikan kesehatan tersebut terjadi melalui ibadah puasa.

Demikian pula kesehatan rohani. Melalui puasa selama ramadhan, hamba dilatih untuk berfikir positif dengan banyak membaca Al-Qur’an atau zikir lainnya, menjaga ucapan, peduli dengan sesama (kecerdasan sosial), serta senantiasa bersikap dan perilaku yang terpuji. Sungguh begitu besar manfaat puasa bagi manusia. Untuk itu, wajar bila Rasulullah menjelaskan keutamaan puasa melalui sabdanya: “Berpuasalah kamu niscaya akan sehat” (HR. Thabrani).

Ketika hamba mampu meraih menjadikan Ramadan untuk membersihkan jasmani dan rohaninya, maka ia keluar bak “ulat dari kepompong”. Hadir kupu-kupu yang berwarna indah terbang membawa kedamaian. Demikian halnya hamba yang mampu memberaihkan diri selama Ramadan. Ia akan menemui bulan Syawal bagai seorang anak yang baru lahir, bersih nan suci.

Kedua, Fitrah zahir tanpa batin. Ketika Ramadan hanya sebatas “pelepas kewajiban” atau sebatas uforia tanda beragama, maka puasa Ramadan hanya sebatas aktivitas jasmani. Sekadar rangkaian ibadah menahan lapar dan dahaga. Sebab, batinnya tak mampu dihadirkan menikmati kebersamaan ramadhan. Meski jasmaninya “terkekang” oleh puasa selama Ramadan, tapi hati dan nafsu duniawinya lepas liar tanpa kendali. Wajar bila dibenaknya hanya kapan Lebaran, persiapan menyambut Lebaran, merias diri dengan asesoris mewah gemerlap di Idulfitri, atau kumpulan kemewahan lahiriah lainnya. Namun, semua hanya suci pada dimensi jasmani belaka. Sementara sisi rohaninya tak tersentuh dan dirawat selama Ramadan. “Kesucian” Idulfitri sebatas jasmani, tapi menyisakan rohani yang tetap kotor dan busuk.

Andai Ramadan (panas) tak lagi mampu menempa rohani, mungkin hanya neraka yang mampu mencairkan kebekuan rohaninya. Sebab, Ramadan telah hadir silih berganti, namun penyakit hati yang menerpa `manusia semakin menggila, keserakahan semakin tak terbendung, kata sebatas pemanis untuk menutupi  kebusukan yang ada, janji hanya untuk diingkari, kezaliman dan dendam kesumat selalu menyala tak pernah padam, iri dengki menjadi jati diri, atau untaian sumpah sebatas tumpukan sampah.

Andai selama Ramadan, nilai-nilai kemuliaan dikotori, apatahlagi di luar Ramadan. Andai, nama Allah dan Rasul-Nya dipermainkan dan diperjualbelikan, apatahlagi dengan sesama manusia. Semua begitu mudah tertipu dan menipu. Andai Allah buka hijab wujud asli manusia, maka akan terlihat berbagai wujud wajah manusia. Wujud yang sesuai dengan kualitas hati dan prilaku diri. Tapi, Allah tak ingin membuka aib manusia. Sementara manusia suka membuka aib sesama. Tapi, segelintir manusia tak pernah sadar dan kembali ke jalan yang benar. Padahal janji Allah demikian nyata dan pasti adanya.

Sungguh, hanya bagi hamba yang mampu memerdekakan dirinya menuju addin hanif yang layak mengumandangkan untaian takbir, tahmid, dan tahlil. Sebab, ketiga untaian kata mulia tersebut merupakan ikrar dan proklamir hamba yang tampil sebagai pemenang selama ramadhan. Kemenangan hakiki dengan menampilkan karakter hamba yang bertaqwa, bukan manusia pecundang yang menginjak-injak ajaran Ilahi.

Lalu, tatkala Idulfitri hadir, pilihan fitrah mana yang akan diambil. Apakah kembali pada addin hanif secara kaffah (totalitas) atau sekadar euforia sesaat untuk kembali ke kubangan nan kotor, atau tanpa rasa akibat kotoran hati yang telah berkarat.

Apakah pilihan fitrah (suci) lahir dan batin secara istiqomah, sebatas suci lahir dengan pakaian gemerlap tapi membiarkan hati tetap kotor, atau hadirnya Idulfitri tanpa ada kebersihan lahir dan batin sedikit jua. Semua pilihan telah dihadirkan oleh Allah pada manusia. Setiap pilihan memiliki kosekuensi. Pilihan bijak akan membawa kebajikan pada alam semesta. Sementara pilihan zalim hanya membawa bencana pada diri dan peradaban semata. Allahu Akbar 3 X  wa lillah Ilhamd. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Translate »