Lidah merupakan organ vital yang bisa merasakan (makan dan minum) dan memberi rasa ketika digunakan untuk berkomunikasi lisan (oral). Bila lidah digunakan untuk merasakan, ia hanya sebatas memberi rasa. Tapi bila lidah digunakan untuk berkomunikasi lisan, kadang ia bisa menyakiti.
Untuk itu, perlu adab ketika menggunakan lisan dalam berinteraksi. Sebab, interaksi lisan merupakan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan. Semakin modern peradaban manusia, maka semakin bervariasi bentuk interaksi lisan yang dilakukan. Meski variannya berbeda, namun hakikatnya merupakan wujud “perpanjangan” lisan. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa kualiti setiap interaksi merupakan manifesto hakikat diri yang sebenarnya, terutama interaksi lisan berikut variannya. Untuk itu, tak heran bila Rasulullah SAW mengingatkan umatnya agar bijak menggunakan lisannya. Hal ini terlihat pada sabdanya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Seirama pesan Rasulullah, pepatah Melayu mengatakan, “mulutmu adalah harimau-mu”. Atau “bagai lidah tak bertulang”. Bah-kan, dalam pepatah Arab mengatakan : “lisan mampu menembus apa yang tidak mampu ditembus oleh jarum”. Pepatah ini mengingatkan agar manusia berhati-hati dalam menggunakan lisan. Lidah, meskipun tidak bertulang, tapi bahaya yang ditimbulkan bisa sangat besar.
Sungguh hadis dan pepatah yang mengandung kedalaman makna untuk dicerna dan dijadikan cermin setiap insan.
Dalam konteks modern, kwpiawaian lisan dalam hadis dan pepatah di atas tak lagi berdimensi oral, tapi sudah melebar pada bentuk tulisan (verbal) yang saat ini muncul dominan di media sosial. Berbagai respon, informasi, tanggapan, publikasi, dan varian verbal lainnya menghias media sosial. Semua hadir menggantikan model komunikasi oral yang dianggap kurang efektif. Namun, semua hanya berubah pada wujud, tapi substansi tetap mencerminkan kualiti dan karakter diri si penyampai pesan.
Sungguh, kata (lisan) dan variannya yang saat ini muncul –dengan berbagai kualiti isi dan dampaknya– merupakan cermin diri sang pemilik kata. Sebab, kata (lisan dan tulisan) merupakan dorongan psikis yang memerintahkan pisik (lidah dan jari) untuk memunculkan ungkapan yang terbetik dan tergerak oleh psikis. Tak ada lisan dan goresan jari yang bergerak tanpa gerak psikis diri (hati dan pikiran).
Ada beberapa pantulan lisan (tulisan dan variannya di media sosial) sebagai cermin diri setiap insan, antara lain: Pertama, untaian lisan merupakan cermin kualiti dan rutinitas amaliyah yang dilakukan. Bila kualiti rutinitas amaliyah yang dilakukan berujung pada kedekatan pada Allah, maka wujud lisan berwujud pada kebenaran dan pantulan Ilahi. Sosoknya bagai sebatang pohon rindang yang berbuah lebat nan manis penuh nikmat.
Kerindangannya dinikmati sebagai tempat bertenduh hamba, sedangkan buahnya dinikmati penuh gizi yang menyehatkan. Namun, bila yang muncul lisan yang hanya menawarkan kebohongan, fitnah, atau kebencian, maka ia bak hunusan pedang yang menyakitkan. Sebab, ungkapannya merupakan cermin ibadah yang tak mampu membentuk akhlak diri. Meski ibadah secara zhahir terlihat “‘ bagai hamba yang alim” namun tak berisi dan mewarnai adab pada diri. Sisi dimensi ini bagai pohon yang indah dikejauhan, namun bila dihampiri ternyata penuh duri dan buah yang pahit dan beracun. Pohon seperti ini tak bisa dijadikan tempat ber-lindung dan buahnya justeru mematikan.
Eksistensi kualiti lisan pada dimensi ini muncul tanpa rekayasa. Wujudnya menye-ruak oleh isi psikis yang menggelora. Tampilan yang terlihat hanya sebagai bagian kecil dari sisi dalam diri bahkan membanjiri seluruh pori-pori. Bila gumpalan kebaikan yang bersemayam, maka lahir kebaikan pula. Sementara bila kabut hitam yang bersemayam, maka lahir malapetaka dari ungkapannya.
Kedua, rangkaian lisan wujud kepedulian, kegembiraan, kekecewaan, kebenaran, atau kemunafikan. Wujud lisan sesungguh-nya menggambarkan sejuta gambaran diri. Di antara gambaran yang mudah dilihat adalah tampilan kejujuran atau kepura-puraan. Pepatah Melayu mengajarkan agar manusia bijak menggunakan lisannya “sungguhpun harimau dalam perutnu, tetap kambing yang akan dikeluarkan”. Demikian bijak untaian hikmah yang ditinggalkan para leluhur agar anak cucu menjadi bijak bila bertutur. Namun sayang bila nasehat sudah diberikan, namun tak pernah dijadikan acuan. Meski perlu ketegasan andai kata sindiran tak mampu menyadarkan. Untuk itu, Allah menuntun adab lisan manusia melalui firman-Nya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. an-Nahl : 125).
Ayat di atas menjelaskan sosok hamba yang memiliki ketinggian adab. Hamba beradab pertanda pemilik kemuliaan dan ketinggian budi. Untuk itu, wajar bila Sayidina Ali berpesan “pemilik ilmu tanpa adab menunjukkan tabiat Iblis (QS. al-Baqarah : 30-34 *pen). Sedangkan pemilik adab menunjukkan ketinggian ilmunya”.
Ketiga, gaya dan isi lisan merupakan wujud kemampuan atau ketidakmampuan diri untuk bisa berbuat lebih baik. Adakalanya, gaya lisan bisa menunjukan kemampuan diri atau upaya menutupi kekurangan diri. Kemampuan diri tak perlu untuk diperlihat-kan dengan pongah. Sebab ianya karunia Allah untuk disyukuri, bukan disombong-kan dan dikufuri. Atau lidah yang berkilah dan bersilat merupakan upaya menutupi kekurangan diri yang coba ditutupi.
Ada pula lisan yang membawa nama Allah melalui sumpah atau ucapan yang tak diperlukan. Asesoris bak manusia baik digunakan untuk penguatan agar dinilai manusia mulia. Padahal, wujudnya hanya menutupi bahwa sebenarnya ia telah menginjak-injak agama Allah. Pada waktu-nya, Allah akan memperlihatkan semua tipu daya dan kelicikan mereka tak mampu menipu Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, untaian lisan merupakan cermin keperibadian (attitude) dan kebiasaan diri. Bila lisan yang muncul memberikan kesejukan, berarti eksistensi merupakan cermin atas kesejukan yang dimiliki. Namun, bila lisan yang dimiliki memuncul-kan fitnah dan kata yang kasar dituduhkan-nya, maka berarti demikian kualiti dan kebiasaannya. Sebab, hanya orang yang pernah berbuat tau apabila orang lain berbuat. Sebab, apa yang dikatakan dan dituduhkan atas orang lain merupakan wujud apa yang pernah dilakukan sebelum-nya. Pribadi seperti ini “bak menepuk air di dulang”. Ia menilai orang lain dengan standar cermin prilaku dirinya. Sebab, ia sedang melihat dirinya pada orang lain sehingga ia tau apa yang terjadi. Pada hakikatnya, hal ini telah mempermalukan dirinya sendiri.
Memang menguntai kata lisan sangat mudah dan sederhana. Namun, apa yang dinyatakan lisan merupakan wujud nyata sejuta abstraksi diri yang tersembunyi. Sangat bijak menggunakan kata agar diri senantiasa terpelihara. Menghamburkan kata yang tak bermanfaat justeru akan membuka karakter diri yang asli.
Sungguh, kehebatan dan kesuksesan –dengan berbagai variannya– merupakan guru yang buruk bila tak bijak diartikan. Sebab, bila tidak dikendalikan, ianya acapkali menggoda manusia untuk berpikir bahwa dirinya tak mampu dikalahkan. Akibatnya, diri akan meman-dang paling benar dan orang lain salah.
Begitu Allah SWT menciptakan “pagar lidah” berupa gusi, gigi, dan bibir agar lidah tak leluasa dan bebas sesukanya. Meski tiga lapis pagar telah disediakan, ternyata lidah acapkali tak terkendalikan. Apatahlagi di era media sosial. Lidah seakan terkunci, namun jari tangan bebas lincah menulis atau menyampaikan apa saja yang dikehendaki. Ketika kebaikan yang dimunculkan atau disampaikan, maka berbahagia peradaban. Tapi, bila perpecahan dan fitnah yang disuguhkan, hilang sirna kemanusiaan. Demikian Allah hadirkan bulan ramadhan agar lidah terkendali. Hal ini dinyatalan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi puasa itu juga menahan diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat dan kata-kata kasar. Oleh karena itu bila ada yang mencacimu atau menjahilimu, maka katakanlah kepadanya, sesungguhnya aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Majah dan Imam Hakim).
Hadis di atas bukan hanya ditujukan ketika berpuasa secara syariat selama bulan ramadhan. Tapi, puasa hakikat atas mulutnya untuk tidak berkata dusta dan kasar. Andai lidahnya (termasuk tangan) bisa ia puasakan, maka selamat kehidupan. Tapi anda lidah dibebaskan di alam terbuka bak kuda liar, maka nestapa yang akan dipetik. Bahkan, sumpah yang mengatasnamakan agama akan menjadi hiasan belaka. Nilai puasa yang demikian merupakan cermin sosok wanita yang menjadi istri Tsabit bin Zutho’ dalam kisah “Pemuda dan sebuah Apel”. Wanita yang dikatakan oleh ayahnya sebagai sosok yang “bisu, tuli, buta, serta tak memiliki tangan dan kaki”. Padahal, secara lahiriyah ia sempurna. Adapun maksud tamsilan tersebut merupakan puasa hakikat berupaya menjaga lisan, telinga, mata, serta tangan dan kaki dari perbuatan tercela. Ia mampu mempuasakan dan menjaga kesemuanya dari perilaku nista yang bertentangan agama Allah yang disampaikan Rasulullah. Dari keduanya lahir seorang ulama besar yang bernama Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah.
Sementara puasa syariat yang hadir atas ketidakfahaman hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, berikut asesoris ibadah ramadhan lainnya. Sedangkan puasa “siasat” hanya mempermainkan aktivitas puasa untuk menutupi kesalahan yang dilakukan. Akibatnya, kata dan janji untuk diingkari, untaian sumpah sekedar tumpukan sampah, mulut manis bak sembilu yang mengiris, dalam senyuman terjadi pembunuhan, atau varian kebiadab-an lainnya. Andai model ini yang terjadi dan dilakukan pada segelintirnya, maka perilaku salah akan tetap dilakukan. Andai terjadi dan dilakukan pada komunitas yang luas, maka akibat kerusakan sistem yang semakin berkarat. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat hadirnya pola perilaku kebiadaban akan dinilai beradab dan pemilik adab dinilai biadab.
Sungguh aneh perilaku dan sifat manusia. Meski perkembangan peradaban manusia yang semakin maju telah memberikan manfaat dan menunjang fungsi kekhalifah-an. Hanya saja, peradaban modern akan bermanfaat tatkala disentuh oleh “tangan” manusia yang amanah dan disampaikan melalui “lidah” yang beradab. Namun, peradaban modern bila tangan manusia khianat dan disampaikan melalui lidah yang biada, maka kehancuran yang akan diciptakan, baik kehancuran diri sendiri maupun berakibat pada orang lain. Untuk itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib mengingat-kan bahwa : “Lidah orang yang berakal (berilmu) berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang yang bodoh berada di belakang lidahnya”. Lidah orang berilmu terkawal oleh pertimbangan akan dan hati yang bijaksana. Sementara lidah “manusia tanpa rasa” (jahil) lebih liar tanpa aturan dengan meninggalkan akal dan hati. Anehnya, lidah pemilik ilmu dianggap musuh yang perlu disingkirkan. Sebab, lidahnya hanya berkata sesuai kebenaran. Sedangkan lidah kaum munafik dijadikan rujukan dan pedoman. Sebab, lidahnya bisa menyenangkan dengan pembelokan sanjungan penuh kepentingan. Akibatnya, hadir subur informasi keliru, penuh fitnah, dan kebencian “bak cendawan tumbuh di musim penghujan”. Untuk itu, pepatah leluhur mengingatkan terhadap bahaya pemilik lidah munafik, bahwa : “Jika pedang melukai tubuh, ada harapan akan sembuh. Jika lidah melukai hati, ke mana obat akan dicari”.
Semua tergantung pada diri setiap insan. Apakah ingin tampil sebagai lisan hamba-Nya yang beradab, atau tampil dengan lisan liar menyebar kebohongan dan fitnah wujud manusia yang biadab. Namun, bila frekuensi kebohongan dilakukan berulang-kali, maka ia akan dianggap benar. Akibatnya, pembohong acapkali memper-oleh kepercayaan. Bersamaan kebenaran menjadi salah akibat “dipeti eskan”, bung-kam, atau dibusukan. Akibatnya, kejujuran menjadi terpasung dan “terbongsai”.
Pilihan bijak hanya hadir pada hamba yang beradab. Sebaliknya, lidah berkelit dengan aroma mulut yang “busuk” menyengat hadir pada manusia yang biadab. Hadir pilihan pada hamba yang lisannya terjaga. Ia dinantikan penduduk langit. Mereka hadir dengan pribadi beradab yang terpelihara lisan dari kemunafikan. Atau pilihan sebagai makhluk munafik yang bertopeng manusia. Ia mungkin disenangi segelintir penduduk bumi selama ada asas kepentingan. Tapi pada waktunya semua tak mampu ditutupi atas kebusukan sifat asli yang disembunyikannya. Hanya janji Allah yang pasti dan kepastian hanya ada pada janji Allah semata. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments