Sebagai manusia biasa, Rasulullah saw menyadari bahwa setiap orang ingin memiliki isteri atau suami. Karenanya, sebagai seorang pemimpin, beliau amat memperhatikan masalah ini.

Rabi’ah Al Aslamy merupakan salah seorang pembantu Rasulullah saw yang telah dewasa. Suatu ketika, beliau bertanya kepadanya: “Apakah kamu tidak ingin menikah?.”

“Demi Allah, aku tidak menginginkannya karena aku tidak punya apa-apa untuk menghidupi isteri. Apalagi, aku tidak suka ada sesuatu yang menyibuki diriku sehingga aku tidak boleh mengerjakan sesuatu untukmu?,” jawab Rabi’ah.

Rasulullah masih bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama dan Rabi’ah pun menjawab dengan jawaban yang sama pula. Namun, dalam hatinya ia berkata: “Demi Allah, tentu Rasulullah lebih tahu daripada aku apa yang lebih tepat bagiku di dunia dan akhirat. Maka, bila Rasul bertanya lagi aku akan menjawab: “Ya Rasul, perintahkan kepadaku menurut kehendakmu.”

Ternyata, beliau bertanya lagi dengan pertanyaan sama seperti tadi. Rabi’ah pun menjawab dengan jawaban yang sudah dipersiapkannya itu. Rasulullah kemudian mengatakan, “Pergilah ke keluarga Fulan dari kalangan Anshar. Katakan kepada mereka, “Sesungguhnya, Rasul mengutusku kepada kalian agar kalian menikahkan aku dengan si anu (salah seorang diantara wanita mereka).”

Rabi’ah kemudian berangkat ke sana dan ia pun mengatakan apa yang diajarkan oleh Nabi kepadanya.

Mereka menjawab: “Selamat datang kepada Rasulullah dan utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh kembali sebelum keperluannya terpenuhi.”

Mereka kemudian menikahkan Rabi’ah, berlaku lemah lembut, dan tidak menanyakan mas kahwin. Rabi’ah kemudian kembali kepada Rasulullah dengan perasaan sedih.

Rabi’ah mengatakan kepada Rasul, “Ya Rasul, aku telah mendatangi suatu kaum yang mulia, mereka menikahkan aku, berlaku lemah lembut kepadaku, dan tidak menanyakan mas kahwin yang seharusnya aku tunaikan. Padahal, aku tidak punya apa-apa untuk mas kahwin.”

Rasulullah saw kemudian mengatakan, “Wahai orang- orang Aslam, kumpulkan dan berikan kepadanya butir- butir emas.”

Mereka mengumpulkan butir-butir emas dan memberikannya kepada Rabi’ah dan membawanya kepada Rasul. Sesudah itu, beliau menyatakan, “Pergilah dan bawalah ini kepada mereka dan katakan, “Ini mas kahwinnya.”

Rabi’ah kemudian mendatangi mereka dan mereka pun menerima mas kahwin itu dengan senang hati, bahkan mereka mengatakan, “Ini cukup banyak dan baik.”

Sesudah itu Rabi’ah kembali lagi kepada Rasul dengan wajah muram. Beliau pun bertanya, “Wahai Rabi’ah, mengapa kamu kelihatan sedih?”

“Ya Rasul, aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih mulia dari mereka yang rela dengan apa yang kuberikan, berbuat dan berkata baik. Padahal, aku tidak punya apa-apa untuk resepsi perkahwinan.” Jelas Rabi’ah.

Rasulullah bersabda lagi, “Wahai orang-orang, kumpulkan domba untuknya.” Maka, mereka pun mengumpulkan domba-domba yang gemuk untuk Rabi’ah. Bahkan, beliau menyatakan lagi, “Pergilah kepada Aisyah dan katakan kepadanya, “Hendaknya kamu mengirim sekeranjang makanan.”

Aisyah memberikan sembilan takar gandum, jumlah yang cukup banyak. Bahkan, ia mengatakan, “Andai kami masih mempunyai makanan selain itu, kamu boleh mengambilnya.”

Setelah Rabi’ah memperlihatkan apa yang kepada Rasul, maka beliau memerintahkan agar Rabi’ah segera membawanya kepada mertuanya itu. Ketika Rabi’ah tiba bersama beberapa sahabat, sang mertua mengatakan, “Kalau roti cukup kami yang mengerjakannya, sedangkan domba kalian yang mengerjakannya.” diterimanya

Alhasil, Rabi’ah bersama beberapa sahabat menyembelih, menguliti dan memasak kambing itu. Maka diadakanlah walimah dengan roti dan daging kambing.

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:

1. Setiap pemimpin seharusnya memahami dan merespon apa yang menjadi keperluan masyarakatnya.

2. Kebijakan yang harus dikeluarkan oleh seorang pemimpin adalah mempermudah, bukan mempersulit.

Oleh: Drs. H. Ahmad Yani

Translate »