SELAMA alam ini terbentang, pergantian siang dan malam merupakan fenomena rutin yang terjadi secara konsisten. Untuk itu, wajar bila eksistensinya kurang diperhatikan. Padahal, pergantian siang dan malam memiliki makna bagi hamba yang mau berpikir.
Setidaknya, dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan kata malam sebanyak 92 kali dan kata siang sebanyak 57 kali. Pengulangannya tentu ada maksud yang ingin disampaikan-Nya. Bahkan, fenomena siang dan malam secara khusus dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesar-an Allah) bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).
Jumhur mufasir menjelaskan bahwa ayat di atas menjelas-kan kebesaran dan kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berpikir, yaitu manusia yang memiliki akal murni tanpa diselubungi oleh kabut nafsu yang melahirkan kerancuan dan keracunan peradaban. Sementara Ibnu Katsir mengatakan, orang yang dapat mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah SWT adalah orang yang berakal dan memiliki kecerdasan.
Sementara respons akan berbeda bagi manusia yang jahil. Hal ini disinyalir Allah dalam firman-Nya: “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan memper-sekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain)” (QS. Yusuf : 105-106).
Ayat di atas begitu terang menjelaskan fenomena alam. Meski acapkali manusia membutakannya dengan memilih atau mencari “sesembahan-sesembahan” untuk memperoleh apa yang diinginkan, meski harus menantang sunnatullah. Ada beberapa pelajaran atas siang dan malam sebagai fenomena alam dan ayat-Nya, antara lain:
Pertama, Tidak ada yang kekal dan abadi. Semua mengalami rotasi secara alamiah pada waktunya. Semua tunduk sesuai aturan-Nya (sunnatullah). Ketetapan ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnatullah” (QS. al-Ahzab : 62).
Hadirnya siang ditandai terbitnya matahari di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat untuk menjemput tibanya malam. Proses pergantian siang dan malam merupakan keniscayaan dan alamiah. Hanya saja, persoalan yang dikhawatirkan ketika rotasi tak lagi normal, terbit dan terbenam tak pada waktu atau arahnya, atau fungsi matahari dan rembulan yang dipaksakan “menyerobot” mengurusi tugas yang bukan urusannya.
Hadir memaksakan matahari terbit dari ufuk barat dan terbenam di ufuk timur, bulan dan bintang (tanpa cahaya maksimal) yang diposisikan terbit di waktu siang atau sebaliknya. Demikian pula bila rotasi siang dan malam melanggar sunnatullah (aturan Allah), maka alam semesta akan mengalami goncangan, persoalan, bahkan kehancuran (kiamat). Demikian halnya pada manusia. Bila mekanisme kepatutan dan adab dilanggar, maka hadir pengkhianatan atas amanah peradaban. Apatahlagi bila misi primordial dikedepankan, maka waktu kehancuran akan terjadi. Demikian yang telah diingatkan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, Pada pergantian siang dengan malam dan sebalik-nya, diawali interaksi saling “silaturrahim beradab”. Proses silaturrahim pergantian siang dengan malam melalui “waktu senja” dan malam dengan siang melalui “waktu subuh”. Adab alam dan para malaikat ini dinyatakan Rasulullah melalui sabda-Nya : “Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari datang bergantian kepada kalian. Mereka berkumpul pada waktu dikerjakannya shalat subuh dan shalat ashar. Malaikat yang semula berada pada kalian, lalu naik ke langit dan selanjutnya Rabb mereka menanyai mereka, –sementara Dia lebih mengetahui keadaan mereka (para hamba-Nya)–: ‘Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kalian tinggalkan ?’ Para malaikat menjawab : ‘Kami meninggalkan mereka, sedang mereka tengah mengerjakan shalat dan kami mendatangi mereka, sedang mereka juga tengah mengerjakan shalat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam an-Nawawi, kata “datang bergantian” pada hadis di atas bermakna “datang satu kelompok setelah kelompok lainnya mundur, sebagaimana datangnya pasukan tentara ke sebuah daerah yang rawan penyerangan musuh, lalu digantikan oleh pasukan lainnya”. Sedangkan kata “berkumpulnya para malaikat pada waktu subuh dan ashar” menunjukkan kasih sayang Allah SWT kepada hamba yang beriman dengan menghadirkan para malaikat berkumpul di sisi mereka. Dengan demikian, berpisah dan berkumpulnya malaikat terjadi tatkala manusia mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah. Para malaikat menjadi saksi atas kebajikan yang dikerjakannya. Jangan biarkan di antara pergantian siang dan malam menjadi saksi atas kejahilan dan kezaliman yang dilakukan. Kelak, hal tersebut akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Pergantian siang dan malam melalui “silaturrahim beradab” bertujuan terbangunnya keseimbangan alam. Melalui proses ini, alam bergerak dinamis menyebarkan kebermanfaatan dan kebajikan. Untuk itu, Allah berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu ; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah, (tempat) kembali kalian semua ; lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. al-Maidah: 48).
Melalui ayat di atas, pergantian siang dan malam yang melakukan “silaturrahim beradab” mengandung tujuan hadirnya timbangan pembanding (mizan) agar manusia bisa merasakan kebaikan siang untuk bekerja dan kebaikan malam untuk istirahat. Namun, tatkala siang dan malam tak terjalin silaturahim, tapi mengedepan ego sektoral tanpa adab, maka akan berdampak pada tatanan isi alam semesta. Andai hanya hadir siang tanpa malam atau sebaliknya, maka manusia akan hidup monoton (statis). Hanya saja, menetap-kan timbangan perlu dilakukan secara benar. Jangan sampai timbangannya justeru merusak tatanan bak “pagar makan tanaman”. Sebab, memperbaiki kerusakan peradaban jauh lebih sulit dibanding membangun peradaban yang baru. Sementara manusia terkadang hadir tanpa sioaturrahim dan adab. Sirna silaturrahim dan saling menghargai, seiring kokohnya sifat arogansi. Sementara tanpa adab, manusia bagaikan seekor hewan. Padahal, setiap tanaman pasti akan memanen. Setiap perbuatan akan diterima balasannya.
Ketiga, Eksistensi siang dan malam bekerja sesuai fungsi-nya, tanpa berupaya menghilangkan jejak waktu (sejarah) antara keduanya. Siang menghadirkan matahari untuk memanaskan bumi dan menerangi alam semesta. Rentang waktu manusia untuk beraktivitas kreatif sebagai khalifah fi al-ardh. Sementara ketika malam menghadirkan rembulan dan butiran embun untuk mendinginkan bumi, serta menye-diakan waktu alam untuk istirahat. Siang tak pernah meng-hilangkan fungsi dan tugas malam, serta malam tak pernah mendustakan kehadiran siang. Keduanya saling mengisi dan melengkapi, tanpa menafikan tugas dan fungsi yang telah dilakukan pihak lain. Hadirnya siang dan malam bagai dua tangan yang saling melengkapi, bukan saling menyakiti.
Tatkala hadir kesadaran atas ketergantungan siang terhadap malam dan malam terhadap siang, maka akan muncul saling menghargai dan menghormati. Pesan ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya” (QS. al-Qashash : 73).
Begitu indah dan sempurna Allah ciptakan siang dan malam mengukir dan mengisi sejarah. Sementara manusia justeru saling menghilangkan sejarah kebaikan dan memunculkan sejarah keburukan sesamanya. Andai semua firman-Nya dan tanda alam yang demikian jelas tak juga mampu menyadar-kan manusia, masihkah layak tinggal di bumi ciptaan-Nya ?
Keempat, Kata siang dan malam kalanya digunakan untuk menunjukan maksud (timbangan) yang berlawanan. Makna-nya lebih pada nilai pembanding pada sifat dan kualitas manusia. Seperti pengungkapan pada 2 (dua) pribadi yang berbeda bagai siang dan malam atau langit dan bumi. Penilaian akan hadir tatkala ada pembanding. Andai timbangan pembanding tak pernah hadir, maka sejuta kebaikan tak akan terlihat dan setitik keburukan tak bisa ditutupi. Ketika pembanding hadir, maka akan terlihat sisi sifat dan kualitas keduanya. Andai kehadiran pembanding lebih baik, maka peradaban akan berkembang dinamis. Namun, tatkala kehadiran pembanding justeru kearah yang lebih buruk (mundur), maka peradaban akan runtuh dan sisi kemanusiaan akan binasa.
Logika di atas dapat dibuktikan dalam lintas sejarah peradab-an manusia. Kata siang dan malam dapat dimaknai pada dimensi positif tatkala terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada era jahiliah (pra Islam). Ketika manusia memuja dan meminta bantuan pada “berhala-berhala” dunia, aturan yang melindungi pemilik derajat, per-budakan, nepotisme kesukuan yang dominan, dan varian lainnya. Kesemua kabut hitam tersebut berubah terang benderang bersama hadirnya Rasulullah SAW di muka bumi yang membawa rahmatan lil ‘aalamiin. Andai posisi ini yang terjadi, maka makna rotasi siang dan malam bernilai positif.
Selanjutnya, kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah mampu membawa peradaban yang maju dan berkembang pesat (zaman Kejayaan Islam) rentang tahun 750 M – 1258 M. Kala itu, lahir para filsuf, ulama, mufasir, fuqaha, sufi, sastrawan, sejarawan muslim di berbagai bidang disiplin ilmu di seluruh belahan dunia. Mereka berkontribusi bagi perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan melakukan pengembangan, penemuan, dan inovasi ilmu pengetahuan yang terbaru.
Bahkan, kesemuanya telah menjadi pondasi bagi bangunan peradaban dunia sampai saat ini. Semua tercatat dengan tinta emas dalam sejarah manusia. Bukti kesadaran bangsa berperadaban tinggi atas peran sejarah Islam yang perlu ditradisikan dan dikembangkan.
Namun, kata siang dan malam bermakna negatif tatkala visi rahmatan lil ‘alamin berubah menjadi mafsadah lil ‘alamin. Ketika bangunan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah didustakan, dikangkangi, dan ditinggalkan. Kehadiran al-Quran, hadis, dan adab hanya sekedar status, dibaca tanpa dipedomani dan diamalkan. Agama (Islam) sebatas ucapan dan identitas administratif tanpa ruh. Bahkan, meski alam semesta hadir membawa pesan, namun semua sebatas ruang yang berpotensi untuk dieksploitasi secara zalim.
Sejarah kejayaan Islam sebatas kenangan masa lalu yang tak pernah diupayakan bangkit kembali. Masa kejayaan ilmu dan peradaban yang gemilang lebih 5 abad, kesemua hancur porak poranda dalam seketika dihancurkan oleh tentara Mongol (timur) dan diluluhlantakan oleh perang salib (barat). Bangunan peradaban tinggi yang ditata megah, hancur seketika oleh hadirnya pemilik peradaban rendah ala barbar dan hewan.
Bagi bangsa berperadaban rendah, semua catatan sejarah positif masa lalu perlu disembunyikan (dihapus) agar tak terlihat ketidakmampuannya. Seluruh catatan peradaban dibuang (di sungai Tigris) dan dibakar (di Andalusia dan Sisilia). Andai masih ada pemilik ilmu (ilmuan) yang dinilai menjadi ancaman, maka perlu “dibunuh dan diusir”. Semua terjadi disebabkan kekerdilan dan mandulnya penerus sejarah yang tak mampu melanjutkan estafet dan mewarnai sejarah, tapi memiliki libido tinggi untuk merebut dan menguasai sejarah. Wajah peradaban dan karakter manusia yang demikian (era kehancuran) dinukilkan bagai “siang dan malam”. Nukilan kata yang digunakan untuk menunjukkan makna berbeda dalam konteks negatif.
Sungguh, kehadiran siang dan malam terus bergulir seiring alam yang terus berputar. Perputaran alam yang terjadi secara berulang menandakan sejarah manusia yang ikut terus berulang. Andai putaran sejarah disikapi secara bijak, maka peradaban akan lebih baik. Namun, tatkala sejarah tak dihargai dan diinjak-injak, maka peradaban akan mengalami kehancuran, bahkan lebih hancur dibanding peradaban makhluk yang tak memiliki peradaban. Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya:
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).
Semua pilihan terbentang jelas dihadapan mata, tergantung kualitas manusia yang akan memilih. Bila memiliki kecerdas-an dan keimanan, maka pilihan bijak akan diambil. Namun, bagi pemilik karakter jahil dan kufur atas nikmat-Nya, maka pilihan nestapa akan terus dikerjakannya. Meski (mungkin) hukum manusia bisa “dinegosiasi” dan membenarkannya, namun hukum Allah tak pernah bisa dijualbeli dan didustakan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis
Sumber: riaupos.jawapos.com
Recent Comments