EKSISTENSI Matahari, rembulan, dan awan merupakan unsur fenomena alam yang sangat dikenal oleh semua manusia. Semua manusia sebatas mengenal, melihat, dan menikmati kontribusi ketiganya. Namun, tak semua manusia menyadari ada pelajaran berharga yang disampaikan Allah SWT bagi hamba-Nya yang berpikir (ulul albaab).
Hadirnya matahari dan rembulan bagai dua sisi mata uang. Pasangan harmonis yang saling memberi dan mengisi. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Dia) yang menying-singkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, serta (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui” (QS. al-An’am : 96).
Sungguh, kehadiran matahari, bulan, dan awan menjelaskan pelajaran bagi manusia yang mau berfikir, antara lain :
Pertama, Matahari. Dalam al-Quran, Allah menyebut kata matahari sebanyak 24 ayat. Matahari memberikan cahayanya pada seluruh alam. Meski matahari memiliki panas yang bisa menghancurkan bumi, namun ia gunakan kelebihannya untuk kemaslahatan seluruh isi alam. Berbeda dengan manusia, tatkala memiliki kuasa, acapkali digunakan untuk melumat siapa yang melawan dan “menerangi” siapa yang pandai “bermuka dua dan menjilat” pemilik kuasa.
Meski matahari memiliki sinar dan panas yang bisa mencair-kan isi alam, namun ia tak pernah angkuh dan minta diagungkan. Ia sadar apa yang dimiliki merupakan titipan Allah semata. Ia justeru mengelilingi bumi. Ia tak minta seluruh alam mengelilinginya. Sifat matahari ini merupakan contoh seorang pemimpin. Ia menyinari dan memberi arah bagi semua, panas tapi tak membakar, berkuasa tapi mengayomi, meski tak bisa ditatap mata tapi tak pula membutakan, dan memiliki daya panas yang besar tapi melayani alam (Bumi).
Matahari sadar hadirnya hanya terbatas di siang hari. Ketika malam tiba, ia berikan sinarnya (manfaat) kepada bulan untuk dipantulkan ke bumi. Sifat matahari ternyata berbeda jauh dengan sifat manusia. Hadir tak memberi manfaat, minta dilayani bukan mengayomi, atau mengganggap diri hebat tanpa perlu nasehat. Bahkan, bila ada manusia lain yang memiliki cahaya, maka dianggap musuh yang perlu dipadamkan cahayanya. Ia khawatir akan hadir “dua matahari”.
Padahal, kekhawatiran ini menunjukkan ketidak-siapannya menjadi matahari atau sinarnya memang tidak ada sama sekali. Ia hadir dengan kualitas lilin yang dipaksa-kan menjadi matahari. Lihat kualitas matahari, meski banyak cahaya lain mengelilinginya (bulan, bintang, planet, lampu, atau varian lain), ia tak akan pernah khawatir disaingi. Sebab, ia tau atas kualitasnya melebihi cahaya yang lain.
Sungguh, fobia akan hadirnya “dua matahari” menandakan diri bukan pemilik kualitas cahaya matahari. Tanpa sadar, ia menjelaskan hanya tampil bak matahari, tapi kualitas cahaya lilin. Akibatnya, terbangun fobia pada cahaya di luar diri yang dianggap sebagai ancaman atas keterbatasan cahayanya. Anehnya, model manusia seperti ini acapkali hadir menjadi pilihan. Sebab, eksistensi cahayanya yang terbatas membuat dirinya mudah “diatur dan dikondisikan”. Hadir ketakutan diri sebatas lilin, bila tak pandai “bermain angin”, maka cahaya-nya akan padam dan dibuang. Berbeda dengan matahari. Ia hanya tunduk pada aturan Allah SWT (sunnatullah). Tak ada yang bisa mematikan cahayanya, meski ditutup awan. Andai malam tiba, ia tetap bercahaya dengan memantulkan sinarnya pada bulan untuk menerangi bumi.
Kedua, Rembulan. Dalam al-Quran, Allah menyebut kata rembulan (bulan) sebanyak 26 ayat. Bulan bagaikan sebidang kaca besar. Ia berbagi cahaya sesuai ukuran bidangnya dengan memantulkan sinar matahari ke bumi. Ia berputar mengelilingi bumi pada aturan yang telah ditetap-kan-Nya. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin : 39).
Ayat di atas menegaskan ketaatan bulan sesuai aturan-Nya. Ia berbagi cahaya sesuai yang mampu diberikan. Ia hadir dengan cahaya kelembutan dan kedamaian. Ia sadar, cahaya yang diberikan hanya merupakan pantulan matahari. Ia tak lupa diri dan meninggalkan matahari yang memberikannya cahaya untuk menerangi Bumi.
Hal berbeda dengan sifat segelintir manusia yang hidup melanggar aturan-Nya. Meski hanya sebatas melanjutkan pantulkan masa lalu, tapi merasa paling berjasa pada masa depan. Bahkan, segelintirnya merasa sebagai pemilik cahaya tunggal. Padahal, apa yang dilakukan merupakan pantulan cahaya masa lalu yang membuatnya hadir saat ini untuk melukis masa depan. Harmonisasi masa lalu, sekarang, dan depan seakan berjalan tanpa kontinuitas. Seakan, ia hadir dengan cahaya Matahari (tunggal). Padahal, ia hanya bagian kontinuitas pantulan cahaya-cahaya sebelumnya.
Bahkan, anehnya ia tak ingin ada cahaya yang lain hadir. Tipikal yang menafikan cahaya merupakan karakter kegelapan yang tak menginginkan matahari untuk menerangi alam. Andai hal ini terjadi, bagaimana mungkin ia akan bisa menerangi peradaban. Sebab, ia tak memiliki sifat bulan dan matahari yang hadir harmonis. Padahal, matahari tak pernah menyom-bongkan diri dengan cahayanya dan bulan tak pernah menutupi dan menafikan cahaya Matahari.
Ketika karakter ketakutan atas sinar matahari terjadi, justru menunjukkan dirinya bukan matahari yang akan menyinari alam. Belajarlah dengan karakter bulan yang tak melupakan matahari. Ia sadar kualitas cahayanya tak sehebat Matahari, tapi ia lengkapi kehadirannya dengan cahaya yang sejuk nan indah dan selalu dinanti untuk dinikmati seluruh isi alam.
Meski kelembutan Bulan begitu indah, namun ia menyimpan energi yang bisa membuat lautan bergelora. Demikian sifat manusia yang lembut dan sabar, padanya terdapat energi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tatkala harga dirinya diinjak-injak, kekuatan besar yang tersimpan bisa meng-goncang semesta. Deritanya menjadi tangisan alam semesta dan munajatnya selalu didengar penduduk langit. Ia lakukan tugas bulan sebagai satelit bumi, memberi keteduh-an, menstabilkan iklim (emosi), pasang surut (dinamika), memperlambat rotasi bumi, dan menstabilkan kemiringan sumbu bumi. Untuk itu, belajarlah dengan bulan. Hadir tanpa kesombongan, tapi membawa sejuta keberkahan bagi seisi bumi. Sementara segelintir manusia hadir penuh keangkuh-an, keserakahan, tanpa adab, dan petaka bagi alam semesta.
Ketiga, Awan. Dalam al-Quran, Allah menyebut kata rembulan (Bulan) sebanyak 16 ayat. Awan kalanya menjadi payung dan mendinginkan Bumi dari cahaya Matahari, selimut bumi yang mencegah sebagian panas diatmosfer lepas ke angkasa dalam wujud radiasi infra merah, serta media terjadinya hujan yang turun ke bumi. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya :“Tidakkah engkau melihat bahwa sesungguhnya Allah mengarahkan awan secara perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu menjadikannya bertumpuk-tumpuk. Maka, engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. Maka, Dia menimpakannya (butiran-butiran es itu) kepada siapa yang Dia kehendaki dan memalingkannya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan” (QS. an-Nur : 43).
Namun, pada sisi lain eksistensi awan hitam hadir menutupi cahaya matahari dan bulan sampai ke bumi. Tumpukan awan hitam yang demikian kalanya merupakan murka-Nya atas keangkuhan yang dilakukan segelintir komunitas terbatas, tapi berakibat pada komunitas yang lebih luas. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Hai Aisyah, saya merasa khawatir bila di dalam awan itu terdapat azab, karena ada suatu kaum yang telah diazab melalui angin yang besar (awan), kaum itu melihat kedatangan azab tersebut, lalu mereka mengatakan, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan tentang hadirnya awan hitam yang membawa azab Allah atas perilaku kaum ‘Ad yang melanggar aturan-Nya. Ketika awan hitam datang, mereka justeru memandang sebagai pertanda hujan akan turun. Padahal, tanpa disadari, awan hitam tersebut sebagai tanda turunnya azab Allah atas mereka. Disangka nikmat, ternyata azab. Dalam ujian terkandung cinta-Nya.
Demikian halnya dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Hadirnya situasi atau sosok “awan hitam” yang menghalangi hadirnya cahaya kebenaran, acapkali terjadi. “Awan hitam” yang hadir, dihadirkan, atau disiapkan hadir agar cahaya matahari dan bulan tak lagi sampai ke bumi untuk menerangi isi alam. “Awan hitam” yang menutupi pandangan mata manusia untuk bisa melihat apa yang ada dan sedang terjadi. Kegelapan diri akibat awan hitam membuat manusia tak lagi bisa melihat jalan, kebenaran, sejarah, peristiwa, atau varian lainnya yang pernah ada dan sedang terjadi. Gelapnya hati dan akal penduduk bumi menghantarkan manusia hidup tanpa cahaya dan arah. Wajar bila manusia berprilaku bak hidup di malam yang gelap gulita tanpa secercah cahaya. Ia hanya tau dirinya semata, tapi tak tau dan mau tau semua di luar dirinya.
Gumpalan “awan hitam tebal” bisa jadi pada tataran realita (material). Wujudnya nyata dan dapat terlihat bagai mendung menjelang hujan. Tatkala hujan turun, awan hitam akan sirna dan alam kembali terang. Tapi, bisa jadi maknanya pada dimensi psikologis non material. Wujudnya tak terlihat nyata, tapi terindikasi pada perilaku yang ditampilkan. “Awan hitam tebal” dimaknai tertutupnya hati dan kejahilan akal dari cahaya kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya. Kebenaran hanya sebatas retorika, tapi wujudnya justeru mengembangbiakkan kesalahan bagi tercapainya tujuan yang diinginkan. Bila makna ini yang terjadi, maka upaya yang dilakukan tergantung pada keinginan diri untuk menangkap hadirnya hidayah Allah. Tapi, tatkala diri senang dan menikmati “kegelapan” kemuliaan duniawi, maka hidayah Allah akan terdinding (terhijab). Apatahlagi bila hadir karakter “nafsu vampir” yang takut cahaya. Bila ada yang membawa cahaya, maka ia berusaha untuk memadamkan atau menyingkirkannya. Pemilik karakter yabg demikian hanya akan berkumpul dan mengumpulkan komunitas yang sama untuk hidup dalam kegelapan. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia ?. Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang-siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. al-Hajj : 18).
Awan hitam tebal bisa disingkirkan tatkala angin berhembus memecah gumpalan awan. Angin merupakan hadirnya kesadaran atas kesalahan seiring untaian istighfar dan taubat nasuha. Andai hal ini tak dilakukan, maka “awan hitam tebal” semakin menggumpal menutupi sampainya cahaya matahari atau rembulan menerangi alam semesta. Kondisi ini sangat berbahaya dan merupakan bentuk azab bagi peradaban manusia. Begitu bahayanya “awan hitam tebal” terhadap manusia, maka Allah mengingatkan secara khusus melalui surah ad-Dukhan (kabut tebal). Di antaranya Allah ingatkan melalui firman-Nya : “Maka, nantikanlah hari (ketika) langit mendatangkan kabut asap yang tampak jelas (yang) meliputi manusia (durhaka). Ini adalah azab yang sangat pedih” (QS. ad-Dukhan : 10-11).
Ayat di atas dapat dipahami dalam 2 (dua) konteks, yaitu tanda kiamat syariat (zahir) dan kiamat hakikat (batin). Pada konteks kiamat syariat tentu tak ada yang tau kapan terjadi. Namun, kiamat hakikat terasa telah hadir dalam kehidupan, terutama era modern. Maknanya bukan pada tanda zahir, tapi pada perilaku umat yang menunjukkan hatinya yang telah diselimuti “awan hitam tebal”. Akibatnya, sinar matahari dan bulan yang membawa pesan kebenaran Ilahi dan adab yang dituntun oleh Rasulullah SAW ternyata tak mampu menembus kerasnya hati dan kejahilan manusia. Sebab, hati dan akalnya telah diselimuti “awan hitam tebal” (ad-Dukhan) yang menyeretnya untuk terbiasa mengingkari agama dan kebenaran. Keingkaran yang membangun siklus berkumpul-nya para pengingkar kebenaran pada sebuah komunitas setara. Bila hal ini terjadi tanpa upaya menyingkirkan awan hitam dalam kehidupan, maka kehancuran (kiamat) peradaban manusia akan terjadi pada semua lini.
Sungguh, matahari, bulan, dan awan hadir membawa pesan Ilahi. Kehadirannya bisa menjadi nikmat, tapi kalanya justeru menjadi azab dan petaka. Berbagai tanda telah disampaikan Allah pada manusia. Namun, kehadiran ayat Allah acapkali tak mampu menyadarkannya. Seakan, semua yang terjadi sekedar rutinitas tanpa makna. Akibatnya, semua ayat Allah dan akhlak Rasulullah ditinggalkan tanpa pernah dijadikan pelajaran bagi diri dan komunitasnya yang setara, bahkan semakin menggila tanpa adab sebagai manusia. Allah telah mengingatkan manusia melalui alam. Kelak, alam yang akan berbicara dengan manusia melalui caranya (hukum alam). Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Sumber: riaupos.jawapos.com
Recent Comments