AKAL merupakan anugerah Allah yang paling istimewa. Sebab, manusia diangkat derajat kemuliaannya melalui potensi akal yang dimiliki. Dengan akalnya, ia mampu menemukan dan merumuskan ilmu pengetahuan. Melalui olah akal sehat dan ilmunya, manusia mampu tampil me-lebihi malaikat. Hal ini dinukilkan melalui firman-Nya : “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebut-kan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar !” (QS. al-Baqarah : 31).
Ayat di atas tak terpisah dengan ayat sebelumnya (QS. al-Baqarah : 30) tentang dialog malaikat dengan Allah. Untuk itu, Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut berawal perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Namun, malaikat mempertanyakan kelebihan Adam. Lalu, Allah menyadarkan malaikat atas ketidaktahuannya tentang hikmah penciptaan Adam sebagai khalifah. Ayat di atas menjelaskan kepada malaikat atas kelebihan (keutamaan) Adam (manusia). Berkat kelebihannya (akal yang menemu-kan ilmu pengetahuan), menjadi modal bagi Adam (manusia) layak diangkat sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam sejarah manusia, Aristoteles merupakan orang pertama yang membahas persoalan “akal sehat” secara filosofis-teoritis. Ia menggambarkan akal sehat sebagai kemampuan manusia untuk memproses persepsi indra, ingatan, dan imajinasi untuk mencapai berbagai jenis penilaian dasar. Dalam skemanya, hanya manusia yang mempunyai pemikiran berdasarkan akal. Proses akal yang berfikir obyektif dan beradab menandakan manusia memiliki akal sehat. Sementara proses akal yang subyektif dan tak beradab akan berfikir untuk melanggar norma kebenaran (logika), mencari pembenaran agar tercapai tujuan, dan menafikan martabat sesama untuk meraih harapan. Hal ini menandakan akalnya sedang sakit atau sedang tidak sehat.
Dalam sejarah filsafat, istilah “akal sehat” telah digunakan sejak abad pencerahan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk-kan efek retoris, baik penilaian obyektif sebagai standar untuk pilihan yang baik dan sesuai sumber aksioma ilmiah (logis), atau penilaian subyektif yang setara dengan prasangka kasar dan tahayul (mistik). Indikator akal yang sehat dinukilkan Rene Descartes yang terkenal melalui diktumnya cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada). Diktum ini bila dielaborasi dan dianalisa secara seksama, maka akan menjadi “tamparan dan barometer” bagi manusia pemilik akal, apakah pemilik akal sehat atau akal sakit. Sebab, bila dianalisa dengan menggunakan ilmu matiq, diktum tersebut bisa dimaknai “aku manusia, maka aku berakal. Aku berakal, maka aku berfikir. Aku berfikir, maka aku berkarya (berbuat baik). Aku berkarya pertanda akalku sehat”. Bila logika ini dibalik dengan silogis ilmu mantiq, maka terjadi diktum “aku bukan manusia, maka aku tak berakal. Aku tak berakal, maka aku tak berfikir. Aku tak berfikir, maka aku tak berkarya (berbuat baik). Aku tak berbuat baik karena akalku sedang sakit”.
Diktum di atas sebagai takaran yang dialamatkan pada kaum intelektual (ulul albab), bukan manusia secara umum. Sebab, tanggungjawab potensi akal sesuai dengan kapasitas pemilik akal. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak menge-tahui ?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Logika dan ayat di atas hanya untuk cerminan dan pilihan bagi setiap manusia pemilik akal. Meski setiap manusia bebas memilih dan menentukan pilihannya, namun semua pasti akan diminta pertanggungjawaban atas pilihan yang diambil. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin (pasti) akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Bukhari).
Paling tidak, ada 2 (dua) alat berfikir yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yaitu: Pertama, Akal. Akal merupakan potensi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Ia merupakan media (alat) berpikir yang bertujuan mencari kebenaran dan keselamatan. Aktivitas akal merupakan daya yang luar biasa dalam mencari kebenaran. Ruang objek yang difikirkan berupa semua objek konkrit yang tidak pernah habis. Karena itu, akal tidak pernah puas terhadap sesuatu kebenaran yang diterimanya tanpa pembuktian secara rasional (konkrit).
Dalam melakukan fungsinya untuk menganalisa suatu objek, secara teoritis kemampuan akal sangat tergantung keluasan pengalaman dan tingkat pendidikan setiap pemilik akal, baik formal maupun informal. Meski tak selamanya faktor tingkat pendidikan menjadi satu-satunya indikator manusia yang mampu mengolah akalnya untuk berpikir.
Dalam al-Quran, ditemukan pengulangan kata akal sebanyak 49 kali. Hampir semua kata akal muncul dalam bentuk fi’il mudlari’ (kata kerja). Hanya satu kata akal dalam bentuk fi’il madhi. Penggunaan bentuk yang demikian memberikan makna bahwa akal sehat yang berpikir obyektif merupakan proses yang harus dilakukan secara terus menerus. Sebab, hal ini menandakan keterbatasan manusia menemukan kebenaran dan keluasan ayat Allah yang tak bertepi berisi semua kebenaran. Untuk itu, manusia pemilik akal sehat tak pernah berhenti dan stagnan untuk menemukan kebenaran dan kebajikan. Sebab, bagi pemilik akal sehat, seluruh alam semesta merupakan cerminan kebesaran Allah yang wajib ditemukan.
Pengulangan kata akal dalam al-Quran menandakan potensi yang dimiliki sebagai kunci untuk mendapatkan sejumlah pengetahuan dari alam semesta. Tentu semuanya diperoleh melalui isyarat ilmiah. Paling tidak ada sekitar 800 ayat dalam al-Quran yang berbicara hal ihwal alam semesta (kauniyah). Semuanya menjadi objek bagi pemilik akal sehat untuk berfikir secara sehat. Bila tidak dilakukan, maka pertanda manusia tak mampu menggunakan akal sehatnya menemukan kebenaran karena akalnya sedang sakit. Untuk itu, Allah berulangkali mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS- ar-Rahman).
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan peringatan Allah bahwa manusia dan jin tak akan mampu mendustakan setiap nikmat-Nya, termasuk nikmat akal dan hati untuk mencari kebenaran. Bila akal sakit dan hati kotor, maka manusia tak lagi akan menemukan kebenar-an, tapi terjerumus untuk mendustakan nikmat-Nya.
Kedua, Qalbu (hati). Kata qalbu diulang dalam al-Quran sebanyak 132 kali dengan 14 varian kata sejenis. Qalbu merupakan salah satu aspek terdalam dalam jiwa manusia yang menjadi pusat olah rasa dan kepekaan. Ia memiliki kemampuan untuk melakukan “olah qalbu” guna menemukan rasa kebenaran. Namun, meski kalbu cenderung menunjuk-kan nilai benar dan salah, namun tak jarang mengalami keragu-raguan ketika dan menentukan atas pilihan yang ada. Bagi kalbu yang suci, maka keseluruhan diri akan menampak-kan kesucian dan kejernihan. Namun, bila kalbu dikotori penyakit hati dan lepas dari agama-Nya, maka hanya kenistaan yang disebarkannya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha : 124).
Kata kalbu yang diulang oleh Allah dalam al-Quran melebihi kata akal menunjukkan urgensi kalbu untuk menangkap kebenaran. Ruang objek kalbu lebih luas dibanding akal. Untuk itu, memperhatikan kualitas kesehatan kalbu perlu lebih diperhatikan. Meski kebenaran olah kalbu awalnya sulit diterima oleh akal, namun bila akal dan kalbu berinteraksi harmonis, kebenaran kalbu akan dapat dibuktikan dan diterima oleh akal. Di antara objek olah kalbu adalah dimensi keimanan vertikal, rasa sayang, cemburu, benci, senang, bahagia, harga diri, malu, dan varian lainnya.
Meski akal seakan lebih dominan dan realistis dengan cakupannya yang konkrit, namun acapkali kebenaran yang diperoleh akal tak menemukan inti kebenaran. Untuk itu, akal memerlukan bantuan kalbu untuk menemukan “inti rasa dan manisnya” sebuah kebenaran absolut (iman). Sementara kebenaran iman akan mampu dibuktikan secara rasional oleh akal yang sehat. Sebab, sekalipun hati mampu menemukan hal yang benar dan salah pada obyek abstrak, namun tak jarang terkadang mengalami keragu-raguan. Keraguan yang menempatkan hati seakan-akan sulit menentukan benar dan salah. Untuk itu, hati memerlukan akal untuk memperoleh dan menemukan kebenaran hakiki. Hal ini sebagaimana terjadi pada nabi Ibrahim AS ketika mencari Tuhan.
Harmonisasi akal dan hati akan menjadi suluh untuk memberikan pertimbangan yang bijaksana. Namun, bila harmonisasi tak terjadi, maka hilang kearifan dalam diri. Ada orang yang lebih mengedepankan akalnya dan ada pula yang lebih mengedepankan hatinya. Jika yang dikedepankan adalah akalnya, maka kebenaran hati akan didustai. Bila hati yang lebih dikedepankan, maka aturan akal akan dipatahkan. Hanya tatkala terjadi harmonisasi keduanya, menghantarkan kedamaian dan keseimbangan. Harmonisasi keduanya merupakan wujud manusia sebagai ‘abd (vertikal) dan khalifah (horizontal). Harmonisasi ideal di atas akan terwujud tatkala manusia memiliki akal yang sehat dan hati yang suci. Sebab, bagi manusia pemilik akal yang sakit dan hati yang kotor, inti kebenaran objektif tak akan pernah mampu diraih. Bahkan rusaknya akal dan hati pada saat bersamaan akan meng-hantarkan kehancuran peradaban dan sifat kemanusiaan.
Kehebatan akal dan hati menemukan kebenaran tak berdiri sendiri. Ia mampu bekerja objektif dengan bantuan Allah melalui panca indera yang ada. Harmonisasi akal dan hati yang sehat dalam tuntunan-Nya akan melahirkan manusia yang baik dan bijaksana. Untuk itu, Mbah Moen pernah ber-kata, “orang baik tak pernah menyepelekan dosanya walau sangat kecil dan tak pernah pula sombong ketika beramal meskipun banyak”.
Namun, tatkala akal dan hati mengalami sakit, maka Rabb-nya akan dilupakan. Bila hal ini terjadi, maka Allah SWT akan menutup panca inderanya dari kebenaran. Hal ini sesuai firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pen-dengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah : 7).
Tatkala akal dan hati diserang penyakit, maka manusia hidup bagaikan “zombi atau vampir”. Tak lagi kenal diri apatahlagi kenal dengan sesama. Semua disantap dan dihisap darahnya. Tak ada rasa, kecuali memangsa. Sirna semua anugerah Allah yang mulia, punah rasa syukur, dan hilang lenyap kebahagiaan. Sungguh, terkadang manusia lupa bahwa hidup perlu disyukuri. Secara teori, nafsu hadir ketika belum mendapat-kan apa yang diharapkan. Ketika hujan menginginkan panas, ketika ramai menginginkan sendiri, dan varian lainnya. Namun anehnya, manusia acapkali berperi-laku yang bertentangan dengan teori logika setelah nafsu terpenuhi. Tatkala diperoleh panas menginginkan hujan, ketika sendiri menginginkan keramaian, dan varian lainnya. Sungguh, selembar daun tak mampu menutupi bumi dari siraman air hujan atau terik matahari. Tapi selembar daun dapat menutup mata agar tak bisa melihat alam semesta.
Meski mata tertutup dan telinga tuli, namun tatkala akal dan hati senantiasa sehat, kebenaran tetap berdiri kokoh. Sebaliknya, tatkala akal dan hati didera sakit (kronis), maka kelengkapan fungsi panca indera tak memberi pengaruh baginya sedikit jua. Meski nyata kebenaran, tapi bila akal dan hati dalam keadaan sakit, maka kebenaran tak akan mampu tegak kokoh. Tapi, ketika akal dan hati dalam keadaan sehat, betapa besar dalil untuk menegakan kesalahan, semua akan roboh. Demikian besar pengaruh akal dan hati bagi manusia sebagai modal utama berprilaku benar dan meraih kebenar-an. Sungguh, euforia atas tampilan olah akal memang penting, tapi kualitas akal dan hati yang sehat (beradab) jauh lebih penting. Hanya saja, acapkali dalam tataran realita, euforia lebih ditonjolkan dan dipamerkan. Akal dan hati sehat tak lagi diperlukan, tapi akal dan hati yang sakit justru acapkali menjadi pilihan. Demikian fenomena kehadiran sosok “pemain sandiwara” selalu dinantikan para penonton yang senang atas sandiwara yang dipentaskan. Ternyata, penonton yang suka bersandiwara menjadikan para pemain melanjutkan rangkaian episode sandiwaranya. Atau mungkin ternyata para pemain dan penonton sama-sama menjadi aktor pementasan sandiwaranya masing-masing. Jika hal ini yang terjadi, lalu siapa yang akan menjadi penonton? Fenomena dunia pentas sandiwara (QS. al-Hadid : 20) yang semakin membingungkan, terutama di tengah akal dan hati yang sedang dirundung penyakit. Hanya setiap diri yang memperoleh bimbingan-Nya akan selalu menakar kondisi kesehatan akal dan hatinya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)
Sumber: www.riaupos.jawapos.com
Recent Comments