BAGI segelintir manusia, barang bekas hanya akan menjadi onggokan sampah, dijual dengan harga murah, atau pilihan untuk diberikan pada orang lain secara gratis. Untuk itu, barang bekas selalu dipandang sebelah mata karena nilainya akan jauh berkurang, bahkan tak lagi bernilai.
Secara sederhana, barang bekas adalah barang yang tidak lagi dipakai dan diterlantarkan. Padahal, sebenarnya barang tersebut masih layak gunakan dan bermanfaat. Meski tak lagi bernilai, namun bagi sebagian masyarakat yang berada pada ekonomi terbatas (menengah ke bawah), eksiatensinya menjadi pilihan untuk terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik digunakan langsung atau sumber rezeki untuk dijual kembali. Bahkan, bagi segelintir pemilik kreativitas tinggi, barang bekas yang tak lagi bernilai, justeru bisa berubah menjadi barang berkualitas dengan nilai yang tinggi. Meski awalnya terbuang di tong sampah, tapi “di tangan” manusia kreatif dan cerdas, mampu mengangkat barang bekas tersebut tersusun rapi di etalase mewah. Dengan kreativitas akal yang dimiliki, barang bekas berubah menjadi barang mewah.
Sungguh, barang bekas sebenarnya merupakan potret diri manusia. Nilainya tinggi dan dihargai tatkala ia berada “dietalase mewah” atau dikelilingi intan berlian. Padahal, harganya bukan berasal dari kualitas dirinya, tapi hanya bernilai karena “menumpang etalase” yang memiliki nilai. Ketika “etalase” yang ditumpanginya telah pecah atau dirinya berada di luar etalase, maka ia akan kembali pada nilai aslinya. Ia akan dicampakkan dan dibuang sebagai “barang bekas” yang tiada berharga.
Di sisi lain, ada pula segelintir manusia yang bernilai tinggi melebihi intan berlian, namun tak terlihat bernilai karena posisinya di luar etalase mewah. Ia bercampur-baur dengan tumpukan barang bekas tanpa nilai atau berada dikubangan. Eksistensinya tak dianggap memiliki nilai bukan karena bersama-sama barang bekas, tapi manusia yang melihatnya tak memiliki keahlian atau tak mampu melihat barang yang berkualitas. Tapi, bagi manusia yang benar-benar mengerti “kualitas”, meski tertimbun di antara barang bekas, ia akan tau mana barang yang berkualitas dan mana pula barang imitasi yang hanya “mengaku” tapi tanpa kualitas.
Ada beberapa makna yang berkaitan “barang bekas” yang disematkan pada kualitas dan karakter manusia, antara lain: Pertama, pemilik kemauan mengolah potensi diri dengan akal untuk berkarya. Barang bekas yang tak memiliki nilai akan bernilai tinggi bila ada kreativitas dan daya akal untuk membuatnya bernilai. Sebab, manusia telah diberi anugerah akal yang tak dimiliki makhluk lainnya. Untuk itu, manusia dinilai dari kualitas karyanya, bukan pada gaya atau status-nya. Jangan berpangku tangan dengan apa yang terjadi, tapi rubah nasib dengan menjemput takdir melalui olah akal, doa, dan tawakal. Sebab, semua yang ada pasti ada nilainya. Tergantung kemampuan akal menemukan sisi lain yang mampu menaikkan nilainya. Hal ini disampai-kan Allah melalui firman-Nya : “… Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,…” (QS. Ali Imran : 191).
Demikian terang Allah menjelaskan agar manusia menggunakan akalnya untuk memanfaatkan alam semesta. Melalui sentuhan akal dan hatinya, manusia berkreasi untuk memanfaatkan apa yang disediakan alam agar bernilai. Ketika yang disediakan alam memiliki nilai, maka kebermanfaatan alam akan dapat dinikmati dengan bangunan sifat qana’ah. Tapi, bila kedinamisan potensi akal tak dipayungi iman, maka akan hadir keserakahan dan kesombongan tanpa bertepi. Bila potensi akal “tertidur”, maka kejahilan dan keterbelakangan akan semakin subur. Sedangkan bila potensi tanpa “malu dan rasa”, maka hanya menghadirkan sejuta kata indah tanpa secuil karya.
Kedua, Dalam tataran realita, pada umumnya barang yang bernilai tinggi akan mengangkat martabat yang memakai. Padahal, tingginya penilaian yang diberikan hanya pada barang yang dipakai, bukan pada diri si pemakai. Bila yang dipakai “gemerlap”, maka akan menyilaukan mata semua yang melihat. Tapi, bila yang dipakai hanya pakaian bekas yang “compang-camping” membusuk, maka tak tersisa lagi kemuliaan. Demikian pula jabatan, materi, gelar, dan lainnya yang disandang pada diri. Ia dimuliakan dan hargai karena jabatan, materi, atau gelar semata bukan karena “kualitas isi dirinya”.
Setelah barang mewah yang dipakai, jabatan yang disandang tak lagi dimiliki (terlepas), materi lenyap, gelar sirna, “panggung” ambruk, dan “lampu tak lagi bercahaya”, maka ia tak lagi dinilai sosok “bernilai” dan dimuliakan. Ia hanya tinggal “seonggok barang bekas” yang akan terbuang. Begitu jelas, ternyata asesoris di luar diri yang telah mem-buat manusia dihargai atau dimuliakan.
Padahal, idealnya manusia yang membuat “pakaian” menjadi bernilai, bukan “pakaian” yang membuat manusia bernilai. Sebab, manusia yang membuat “pakaian”, bukan “pakaian” yang membuat manusia. Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas ke-banyakan mahluk yang telah Kami ciptakan” (QS. al-Isra’ : 70).
Ketiga, Barang bekas akan bernilai tinggi bila dipakai manusia yang memiliki posisi tinggi atau public figure yang ternama. Meski yang dipakai berupa barang bekas atau tak berharga, namun semua yang dipakai akan terangkat dan bernilai tinggi. Padahal, awalnya memiliki nilai yang sama, namun ketika dipakai oleh status manusia yang berbeda, maka nilainya akan berbeda pula. Bahkan, walau telah menjadi barang bekas, namun bila dipakai oleh pemilik status tinggi, nilainya tetap tinggi. Layaknya artis terkenal, banyak yang berminat memiliki barang bekas yang pernah dipakainya. Meski untuk mendapatkannya harus rela antrian di tengah terik Matahari. Tak peduli diri terhimpit, meng-himpit, tersakiti, atau bahkan menyakiti sesamanya. Semua dilakukan untuk memperoleh “perhatian pemilik status”. Bahkan, ada segelintirnya yang berulah dan bertingkah untuk mencari perhatian. Sebagiannya rela “membayar tinggi” agar berada dekat sang idola dan mendapatkan “barang bekas” yang dimilikinya atau sekedar “tandatangan saktinya”. Semua bertujuan agar nilainya terangkat bahkan tak ternilai. Bagi manusia yang bijak, kebahagiaan diri hanya hadir bila yang memberi “tandatangan kemuliaan” dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Agung dan Rasul-Nya yang mulia.
Keempat, Barang bekas bernilai tinggi tatkala eksistensinya telah langka dan hadir “barang” baru sebagai pembanding. Ketika langka, ia menjadi barang antik yang senantiasa dicari dan nilainya akan tinggi melampaui batas logika. Sebab, melalui pembanding, kualitas barang bekas dan baru akan terlihat. Selama tidak ada yang baru sebagai pembanding, barang bekas kehilangan nilai dan akan dibuang.
Demikian sejarah dan sikap manusia. Tatkala belum ada pembanding, maka apa yang ada di depan mata memuncul-kan “kejenuhan” dan membosankan. Meski ia telah banyak memberi manfaat, namun yang terlihat hanya kekuranganya. Sikap ini menggiring prilaku dan penilaian untuk menyingkir-kan yang lama. Naluriah barbar muncul untuk menginginkan yang baru. Padahal, belum tentu harapan atas semua yang baru akan lebih baik dan cocok untuk “dipakai” di banding yang lama. Ketika barang baru didapat, muncul penilaian pembanding atas barang bekas yang telah dibuang. Idealnya, barang baru lebih baik, berkualitas, dan menghadirkan kenyamanan. Namun realitanya, ternyata barang bekas sebelumnya jauh lebih baik ketimbang barang baru. Hadir penyesalan karena telah membuang barang bekas yang dimiliki. Namun, semua bak “nasi telah menjadi bubur”. Sungguh penyesalan yang tak lagi berguna.
Fenomena di atas demikian nyata terjadi dalam kehidupan. Semua terjadi pada sisi kehidupan dan level strata sosial. Semua ingin mencari dan menghadirkan kembali “barang bekas” yang telah dibuang dan kecewa dengan barang baru yang ternyata tak bermutu. Meski fenomena ini sering terjadi, namun manusia acapkali melupakannya dan mengulangi kesalahan atas ketidakbijaksanaan yang dilakukannya.
Kelima, jika barang bekas dapat dinaikkan nilainya oleh manusia, akan tetapi kenapa manusia tak mampu mengolah potensi dirinya yang dinamis agar bernilai tinggi. Potensi diri yang tak terpengaruh oleh asesoris luar untuk dihargai dan dimuliakan. Potensi yang dikembangkan bertujuan agar memiliki nilai atau dihargai langit dan bumi.
Barang bekas bisa bernilai melampaui barang baru. Padahal, ia hanya sebatas benda yang statis. Sementara manusia sebagai makhluk dinamis dengan semua potensi yang dianugerahkan Allah, ternyata tak mampu mengangkat “nilai” diri. Sungguh merugi bila hal ini terjadi. Tapi, beruntung bagi manusia yang mampu mengembangkan dan mengolah potensi diri agar bernilai tinggi. Meski nilai tinggi yang dimaksud tak selamanya dinilai tinggi oleh penduduk bumi, tapi pasti dinilai mulia oleh penduduk langit. Berbahagialah bila nilai dirinya dimuliakan oleh penduduk di kedua wilayah tersebut.
Keenam, Ketika diri menjadi barang bekas. Sudah menjadi hukum alam, setiap yang telah lama dipakai, semua pasti menjadi barang bekas. Demikian pula pada diri manusia. Tatkala muda dan gagah menjadi aktor peradaban, tapi ketika tua renta hanya sebatas sebagai penonton peradaban. Ketika kuasa dengan jubah kebesaran disanjung dan ditakuti, tapi ketika semua telah sirna tak ada lagi yang menyapa. Ketika “manis” masih dapat dinikmati, semua “semut” mengelilingi dan menelan tanpa fikiran. Tapi begitu manis telah tiada, semua dibuang dan hanya menjadi ampas semata. Suara puji berubah menjadi caci, meski telah menoreh sejuta prestasi.
Meski fenomena ayat Allah begitu nyata, namun tak pernah mengubah perilaku manusia. Sungguh, setiap benda (termasuk manusia) pasti ada nilainya. Nilai positif dan negatif wujud sisi kemanusiaan. Keliru bila menilai sesama hanya pada sisi keburukannya semata, tanpa pernah melihat sisi kebaikan yang pernah diperbuat. Demikian pula sebaliknya, ketika jaya dalam genggaman, sanjungan tinggi tiada tara. Semua dinilai baik tanpa cela sedikit jua.
Tak ada yang berani mencela. Hanya sanjungan dan tepukan menggema. Akibatnya, hadir sikap ta’asub yang menggiring keangkuhan dan subjektivitas yang menggunung. Untuk itu, sangat bijak bila senantiasa fokus menilai diri sendiri. Sebab, bisa jadi penilaian yang diperoleh penuh kepentingan subyektif dan yang dinilai mulia tenyata hina dihadapan Allah SWT. Sebab, penilainya adalah manusia yang memiliki ketidaksempurnaan. Bagaimana mungkin pemilik ketidaksempunaan bisa menilai kesempurnaan. Hanya Yang Maha Sempurna berhak menilai makhluk.
Meski masih tersisa segelintir komunitas yang tak lagi meng-hargai kualitas tapi lebih pada “kesepahaman”. Sebab, penghargaan yang diberikan hanya pada mereka yang mampu menuruti kemauan atau kepentingan. Mereka hanya bagai-kan “lembu dicucuk hidungnya” dan kehilangan harga diri. Sementara pribadi berkualitas akan selalu ditinggalkan dan disingkirkan. Namun, yakini bahwa pada masanya akan hadir penilaian dan pengakuan pada diri pemilik “nilai Ilahi”. Bagi pemilik harga diri, idealisme kebenaran berada di atas segala-galanya. Bak kata bijak “jagalah kepalamu tetap tinggi karena lantai tak terlalu menarik untuk dilihat, kecuali untuk “melihat” kebesaran Rab-mu”.
Tapi, bagi diri yang telah kehilangan harga diri, harga diri tak lagi dipeduli. Asalkan dapat meraih pundi-pundi dan status yang tinggi. Bahkan, untuk itu harus rela “hidup tanpa kepala dan muka, mengais pinta pada sesama meski terjual harga diri dan apa yang ada”. Sejuta siasat dilakukan meski harus menjadi “seekor hewan”. Hal ini dikatakan Allah secara jelas dalam firman-Nya : “Dan kalau Kami menghendaki, sesung-guhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendusta-kan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. al-A’raf : 176).
Penulis hanya sebatas melaksanakan perintah-Nya untuk menceritakan apa yang difirmankan-Nya. Begitu jelas ayat disampaikan, bersamaan semakin jelas keingkaran ditunjuk-kan oleh manusia untuk mendustakan ayat-ayat-Nya.
Tak sedebu rasa tuk menggurui. Semua larut terbenam takut pada azab-Nya. Harap pinta dibuka pintu ampunan dan hidayah untuk menggetarkan keangkuhan hati agar merasa-kan keagungan dan kebesaran-Nya. Mungkin penulis hanya sebatas barang bekas di mata penduduk bumi. Namun, harap pinta tiada bertepi pada Yang Maha Kuasa Ilahi Robbi, semoga penduduk langit selalu menantikan diri ini untuk senantiasa bersama nabi Muhammad SAW dengan “tanda-tangan” sebagai umat pilihan yang dicintai oleh junjungan alam semesta. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)
Sumber: www.riaupos.jawapos.com
Recent Comments