SETIAP tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam seluruh dunia memperingati hari lahirnya baginda Rasulullah SAW (maulid Nabi). Peristiwa agung yang dinantikan seluruh alam. Sebagai bentuk adab terhadap Rasulullah SAW, para ulama membedakan peringatan terhadap Rasulullah dan umatnya. Bila terhadap Rasulullah diperingati hari kelahirannya (maulid nabi), maka terhadap umat diperingati hari wafatnya (haul). Demikian adab para ulama terhadap Baginda Rasulullah SAW yang diteruskan pada setiap generasi. Namun, adab ini sering dilanggar dan dikalahkan tradisi yang menggerus keluhuran adab yang seyogyanya senantiasa dijaga.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam konteks maulid nabi memang diperingati setahun sekali. Peringatan yang selalu dinantikan dengan berbagai bentuk wujud kebahagiaan umat dan alam semesta. Namun, secara substansial, perintah mengingat Rasulullah harus dilakukan setiap saat, yaitu dengan memperbanyak shalawat.

Sebagai manusia paling spesial yang dari nur-Nya tercipta nur Muhammad yang telah diciptakan Allah sebelum alam semesta ini diciptakan. Dari nur Muhammad pula diciptakan-Nya seluruh alam semesta. Begitu agungnya, wajar bila mahar yang digunakan Nabi Adam ketika menikahi Siti Hawa adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks di atas, ada beberapa fenomena umat dalam melaksanakan dan memahami maulid dan shalawat pada Nabi Muhammad SAW, antara lain :

Pertama, Maulid Nabi Muhammad SAW berarti menapaktilas ingatan sejarah kelahiran Rasulullah sampai wafatnya. Sejuta pelajaran termuat dan padat makna untuk pedoman hidup manusia. Eksistensinya bukan sebatas memperingati dan merayakannya, tapi sekaligus teriring kerinduan dan upaya mentauladani totalitas akhlak Rasulullah. Maulid nabi bukan sebatas peringatan tanpa makna, tanpa rasa, tanpa harap, tanpa getar, atau tanpa mampu menyentuh keinginan untuk mentauladaninya. Bila hal ini terjadi, maka maulid hanya sebatas ritual rutinitas yang tak mampu memperbaiki diri. Harap syafaat sebatas kata dan slogan, sementara harapan tak seiring dengan akhlak yang ditampilkannya. Padahal, seyogyanya maulid nabi mampu membangun karak-ter diri dengan ketauladanan yang dicontohkan Rasulullah.

Sebagai hamba yang sempurna (QS. at-Tiin : 4), akhlak Rasulullah demikian tinggi. Ketauladanan yang seyogyanya dipedomani umatnya secara totalitas sesuai kemampuan yang dimiliki. Jangan memperkecil ruang ketauladanan Rasulullah dengan hanya melihat sisi zahir terbatas yang ditampilkan. Bila tanpa ilmu, sisi terbatas yang dilakukan acapkali mengantarkan sifat riya’ seakan dirinya yang paling mengikuti sunnahnya. Bagai pepatah mengingatkan “kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga”. Pepatah yang mencela dangkalnya ilmu, namun menganggap diri paling berilmu atau paling benar. Sungguh naif pemahaman yang demikian. Kedangkalan yang tercermin pada adab yang rendah. Padahal, sunnah Rasulullah SAW demikian luas melampaui luasnya alam semesta.

Kedua, Ketika Allah dan malaikat bershalawat, apatahlagi seharusnya umat Muhammad. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “Sungguh Allah dan malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi. Ucap-kanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. al-Ahzab : 56).

Makna ucapan shalawat pada ayat di atas perlu dipahami secara benar. Sebab, shalawat dari Allah kepada Nabi SAW adalah bentuk rahmat dan keridhaan-Nya. Sedangkan shalawat para malaikat kepada Nabi SAW adalah sebagai doa dan istighfar. Sementar shalawat umat kepada nabi Muhammad adalah doa (harapan) memperoleh syafaat dan pengagungan (kemuliaan) kepada Rasulullah SAW.

Meski demikian jelas perintah bershalawat difirmankan-Nya, namun menyisakan segelintir manusia yang memandang shalawat (berikut majelis shalawat) tak perlu dan dianggap bid’ah. Bila shalawat atau majelis-majelis yang menghidup-kan shalawat dinilai bid’ah, maka secara sadar telah mendustai firman Allah dalam QS. al-Ahzab: 56. Sebuah kekeliruan dan kejahilan yang nyata.

Padahal, shalawat merupakan kebutuhan umat kepada Rasulullah. Meski nabi tak memerlukan shalawat padanya, tapi umat yang mengharapkan shalawat padanya. Bila ayat demikian jelas, masihkah ingin mendustai dan memandang aktivitas bershalawat sebagai bid’ah. Atau sebaliknya, hanya mencukupi aktivitas (majelis) shalawat dengan menganggap diri paling mulia. Jika demikian yang terjadi, maka begitu kerdilnya ilmu dalam memahami shalawat dan tipisnya iman.

Ketiga, Shalawat pada batas syariat, namun belum mampu menyentuh sisi hakikat. Untaian shalawat yang dilakukan masih sebatas lafaz shalawat. Meski syiar shalawat mampu dilakukan, namun perlu dibimbing untuk memperoleh ilmu dan adab dalam meraih hakikat bershalawat yang sebenar-nya. Sayangnya, bimbingan makna dan sikap yang seharus-nya dimiliki bagi umat yang mensyiarkan shalawat acapkali terlupakan. Atau mungkin, bimbingan telah dilakukan, namun diri yang bershalawat belum mampu “menghadirkan makna shalawat” dalam ruhnya agar memancarkan prilaku yang beradab mulia.

Aktivitas shalawat secara syariat memang perlu dilakukan sebagai proses menapaki tangga memahami shalawat hakiki. Namun, jangan berhenti sebatas syariat, tapi jadikan syariat sebagai proses (anak tangga) menuju pemahaman hakikat shalawat. Bila shalawat syariat tak diiringi ilmu menuju hakikat, maka wujud shalawat tak mampu meraih pancaran akhlak mulia dalam kehidupan nyata.

Meski banyak macam dan jenis shalawat, namun shalawat syariat dapat dikelompokkan pada 2 (dua) jenis, yaitu : (1) Shalawat ma’tsurah adalah shalawat yang bersumber langsung dari Allah SWT dan keutamaannya ditujukan untuk Rasulullah SAW. Di antara shalawat ma’tsurah adalah bacaan shalawat Ibrahimiyah yang dilakukan jumhur ulama. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Mutafaq ‘Alaih).

Shalawat Ibrahimiyah di atas senantiasa dibaca umat ketika shalat pada tasyahud akhir sebelum salam. Meski ada pula sumber yang menyebutkan bahwa shalawat Jibril merupa-kan shalawat tertua yang dilafazkan nabi Adam melalui Jibril.

(2) Shalawat ghairu ma’tsurah adalah shalawat yang disusun oleh para sahabat, tabi’in, serta para ulama dan orang-orang shaleh yang tak diragukan keilmuan dan ketakwaannya. Di antara shalawat ghairu ma’tsurah yaitu : shalawat munjiyat yang disusun Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, shalawat fatih yang disusun Syekh Ahmad al-Tijami, shalawat nariyah yang disusun Syekh Nariyah, shalawat thibbil qulub yang disusun Imam Abu al-Barokat (Syekh Dardir), shalawat asyghil yang disusun Imam Ja’far Ash-Shadiq, dan jenis shalawat lainnya. Semua bertujuan memuliakan dan berharap syafaat dari Rasulullah SAW.

Sungguh, para ulama yang tak diragukan keilmuan, adab, dan keshalehannya tak menilai shalawat dan majelis shalawat sebagai bid’ah. Sementara yang menilai shalawat tak perlu bahkan bid’ah, sungguh telah memperlihatkan kedangkalan ilmu dan kesalahannya yang menganga.

Keempat, Shalawat hakikat. Meski yang dibaca tak berbeda dengan bacaan shalawat yang ada (syariat), namun lafaz shalawat dilakukan bukan sebatas lafaz, tapi manisnya inti shalawat. Untuk sampai pada tingkatan shalawat hakikat, tentu harus melalui tangga shalawat syari’at debgan bimbingan ilmu (ulama). Dengan demikian, seluruh untaian shalawat yang diucapkan pada setiap hentakan nafas, akan tergambar seluruh akhlak Rasulullah. Lafaz shalawat yang menghantarkan kerinduan pada Rasulullah. Kerinduan yang mengisi seluruh aliran darah yang menggerakkan jasmani dan rohani untuk senantiasa bercermin pada adab nabi Muhammad SAW pada seluruh aspek kehidupan. Umat yang mampu meraih kualitas shalawat tingkatan ini akan meraih manisnya “bersama Rasulullah”. Hal ini merujuk pada sabda-nya : “Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’at-ku di hari kiamat adalah orang yang paling banyak ber-shalawat kepadaku” (HR. Tirmidzi).

Makna banyak bukan sebatas ukuran kuantitas, tapi diiringi kualitas atas shalawat yang dolafazkan. Sebab, menanam-kan kerinduan pada nabi Muhammad melalui shalawat seyogyanya lebih diresapi dan tujuan utama. Bagi umat yang bershalawat, cermin dirinya adalah pada akhlak Rasulullah. Pancaran totalitas diri akan membangun kebutuhannya untuk senantiasa bershalawat. Sungguh, alangkah terang dan indah rumah yang membiasakan shalawat sebagai pondasinya. Hal ini dinyatakan Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan dan janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan. Bershalawatlah kepada-ku karena sesungguhnya ucapan shalawat kalian akan sam-pai kepadaku di mana pun kalian berada” (HR. Abu Daud).

Agar peringatan maulid nabi dan bershalawat dilakukan dengan benar dan tak terjerumus pada sikap riya’ atau sebatas euforia menutupi prilaku tercela, maka perayaan maulud nabi dan bershalawat perlu dibimbing dengan ilmu (ulama) yang mengarahkan pada hakikat maulid nabi dan shalawat. Bila tidak, maulid nabi dan shalawat hanya sebatas perayaan dan untaian pujian yang tak mampu diserap dan masuk pada totalitas karakter diri. Kondisi ini akan memudahkan iblis menggelincirkan perayaan maulid nabi dan majelis shalawat yang dilakukan pada sifat ta’jub dan prilaku kebatilan. Iblis mulai menggeser niat dari mengingat Rasulullah menjadi hadir perasaan paling mulia dan saleh. Pergeseran ungkapan shalawat dan maulid yang gegap gempita tanpa ilmu dan adab justeru bisa disalah-gunakan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan. Hal ini bisa terlihat jelas pada prilaku setiap diri. Bila shalawat dan maulid nabi yang dilakukan mampu menghantarkan pada adab Rasulullah, maka berbahagialah. Sebab, mauoid dan shalawat telah mendekatkan diri bersama nabi Muhammad SAW. Namun, bila shalawat dan maulid hanya sebatas simbol dan bagai posisi “air dan minyak” yang ternyata menjauh dari adab Rasulullah, maka nestapalah diri karena ternyata lebih dekat pada prilaku Abu Jahal. Sebab, Abu Jahal hanya bahagia pada hari kelahiran Rasulullah. Namun setelah itu, hanya ada kotoran hati dan kebencian yang bersemayam. Begitu pula bila manusia gembira tatkala mengucap shalawat dan memperingati maulid nabi, namun setelahnya justeru berprilaku yang bertolakbelakang dengan akhlak Rasulullah, maka ia telah memilih sikap Abu Jahal, na’uzubillahi min zalik.

Sungguh alam telah menantikan kelahiran khatamun nabi dan bershalawat. Hal ini terbukti tatkala awan yang selalu melindungi nabi dari teriknya matahari dan ular pun keluar ingin melihat Junjungan Alam. Peristiwa ular ingin melihat terbukti pada saat Rasulullah dan Abu Bakar ketika bersembunyi di gua Tsur. Ular keluar dari sarangnya hanya untuk melihat nabi Muhammad SAW yang dinantikan seluruh alam semesta.

Demikian tinggi keutamaan membaca shalawat pada nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa sabda Rasulullah. Keterangan perihal ganjaran pahala yang berlipat untuk amal shalawat dapat ditemukan dalam sabda-nya : “Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Muslim).

Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda : “Siapa saja yang membaca shalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali, menghapus sepuluh dosanya, dan mengangkat derajatnya sepuluh tingkatan” (HR. an-Nasa’i).

Tentu keutamaan pada hadis di atas akan mampu diraih tatkala maulid dan shalawat dilakukan dengan ilmu yang mengalir ke seluruh relung sisi diri. Aliran ini akan menyinari dan membangunkan kerinduan pada Rasulullah. Bila hal ini dapat diraih, maka ia akan mampu meraih tingkatan “bersembunyi di tengah terang dan bersunyi di tengah keramaian”. Beramal tanpa ujub dan riya’ untuk dipamerkan, serta senantiasa ingat Allah dan Rasulullah di tengah berbagai kesibukan aktivitas yang menggunung. Andai tingkatan ini mampu diraih, maka tak lagi tersisa dan berarti seisi alam, di banding kerinduan bersama Allah dan Rasul-Nya. Sikap kerinduan umat yang demikian ini senantiasa dinantikan Rasulullah untuk dibanggakannya kelak dihadapan Allah SWT. Lalu, bagaimana kualitas setiap diri saat menyambut maulid dan ketika untaian shalawat diucapkan. Hanya setiap diri yang mampu merasakan dan menjawabnya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Sumber: www.riaupos.jawapos.com

Translate »