Pada artikel kali ini, akan disampaikan tentang kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam. Dalam kesempatan yang telah lalu (Berhala Kelima di Muka Bumi: Kisah Kaum Madyan), telah dibahas kisah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam yang berdakwah kepada Kaum Madyan. Yang mana kaumnya melakukan beberapa kemungkaran, seperti menyembah sebuah pohon yang bernama Al-Aikah, kecurangan dalam timbangan (berat) dan takaran (volume), dan merugikan orang lain dengan penarikan pajak 10%.
Nabi Yunus bin Matta merupakan keturunan para Nabi dari kalangan Bani Israil. Yakni dari keturunan Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim. Beliau diutus oleh Allah untuk berdakwah di Ninawa (daerah Al-Musil atau Mosul, Irak). Pengutusan beliau memiliki perbedaan dengan nabi-nabi yang dikisahkan sebelumnya. Jika Nabi Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, dan Syuaib diutus Allah pada kaumnya (sukunya) sendiri, Nabi Yunus diutus untuk suatu kaum yang bukan merupakan kaumnya dan tidak pula ada ikatan darah dengan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul.” (QS. Ash-Shaffat: 139)
وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ
“Dan Kami utus dia (Yunus) kepada seratus ribu orang atau lebih.” (QS. Ash-Shaffat: 147)
Umat Nabi Yunus ‘alaihis salam saat itu melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala. Dakwah tauhid yang disampaikan Nabi Yunus saat itu bagi para penduduk Ninawa merupakan hal yang baru, sebab belum pernah mereka dengar sebelumnya. Oleh karena itu, mereka tidak menerima ajaran tauhid yang beliau bawa untuk menggantikan ajaran dan kepercayaan nenek moyang mereka.
Putus asa dan meninggalkan umatnya
Beliau tinggal mendakwahi mereka selama tiga puluh tiga tahun dan tidak ada yang mau beriman kepadanya, kecuali dua orang saja. Akhirnya beliau pun berputus asa karena kecil sekali kemungkinan mereka mau beriman, sehingga beliau berdoa untuk kebinasaan mereka. (Lihat Al-Kamil fii Tarikh, 1: 208-209)
Tatkala mendakwahi kaumnya dalam waktu yang cukup lama dan kaumnya tetap tidak beriman, Nabi Yunus mengingatkan kaumnya tentang azab yang akan datang menimpa mereka. Ternyata mereka juga tetap tidak mau beriman. Akhirnya, karena sudah sekian lama mendakwahi kaumnya dan tetap tidak beriman, Nabi Yunus berhenti mendakwahi mereka dan pergi (untuk mencari lokasi dakwah yang lain) meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Para ulama menyebutkan bahwa inilah kesalahan Nabi Yunus. Yaitu, meninggalkan dakwah tanpa izin dari Allah. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 11: 344)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa sesungguhnya Nabi Yunus telah memperingatkan kaumnya dari azab yang akan menimpa mereka dan menjanjikan padanya akan datang tiga hari kemudian. Maka, hal tersebut menjadikan mereka saling berpencar, berpisah antara anak dan orang tua, kemudian mereka keluar rumah memohon pertolongan kepada Allah dan meminta ampun kepada-Nya. Akhirnya, Allah menahan azab dari mereka, sedangkan Nabi Yunus tidak tahu jika kaumnya sudah bertobat. Selanjutnya beliau pergi meninggalkan kaumnya dengan perasaan marah dan kesal hingga sampai pada sebuah perahu milik kaumnya. (Lihat Ad-Durarul Mantsur, 5: 288)
Allah Ta’ala berfirman,
إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
“(Ingatlah) Ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan.” (QS. Ash-Shaffat: 140).
Kata yang digunakan Allah dalam ayat di atas adalah ‘أَبَقَ’ (abaqa), yang artinya seorang hamba yang kabur dari tuannya. Nabi Yunus ‘alaihis salam tidak beristikharah dulu kepada Allah, sampai-sampai beliau mengira bahwa kaumnya tidak akan pernah beriman dan beliau kabur meninggalkan kaumnya ke lautan dengan naik ke kapal yang penuh dengan muatan.
Kalah dalam undian dan dimakan ikan paus
Allah Ta’ala berfirman,
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
“Kemudian ia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.” (QS. Ash-Shaffat: 141)
Diceritakan bahwa ketika kapal tersebut berlayar di tengah lautan terjadi ombak yang sangat besar. Saking dahsyatnya, ombak tersebut dapat mengakibatkan tenggelamnya kapal. Kemudian, orang-orang yang berada di kapal saat itu membuang barang-barang untuk mengurangi resiko tenggelam. Namun, ternyata kapal tersebut masih terancam tenggelam. Ada yang mengatakan bahwa waktu itu terjadi kilat dan petir, yang menurut mereka itu adalah isyarat bahwa ada orang yang bersalah di antara penumpang kapal tersebut.
Ada pula yang mengatakan bahwa ketika terjadi ombak yang besar dan mereka memastikan bahwa kapal akan tenggelam, maka harus ada penumpang yang dikurangi untuk bisa selamat. Sehingga, terdapat dua pilihan di antara mereka, yaitu semua orang meninggal tenggelam atau sebagian meninggal dan sisanya selamat. Maka, pilihan kedua mereka pilih untuk menempuh bahaya yang lebih ringan, yaitu dengan sebagian orang harus lompat ke laut agar kapal tetap bisa terapung dengan normal kembali.
Kemudian, tidak ada cara lain untuk menempuh pilihan kedua ini melainkan dengan cara undian dan Nabi Yunus ‘alaihis salam termasuk orang yang masuk dalam undian (hingga tiga kali diundi keluar nama beliau). Akhirnya, kaumnya melemparkan beliau ke dalam laut. Ketika berada di laut, beliau dimakan oleh ikan paus. Begitu memakan beliau, ikan tersebut menyelam membawanya ke dasar lautan yang sangat gelap. (Lihat Ad-Durarul Mantsur, 5: 288 dan Tafsir Ibnu Katsir, 5: 366)
Allah Ta’ala menceritakan hal tersebut dalam firman-Nya,
فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ
“Maka, ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela (karena meninggalkan kaumnya, penj.).” (QS. Ash-Shaffat: 142)
Ayat di atas menunjukkan kuasa Allah atas makhluk-Nya. Laut dan paus adalah makhluk Allah. Ketika Nabi Yunus dilemparkan ke lautan, Allah melarang laut menenggelamkannya. Allah juga melarang ikan paus untuk menyakitinya (menggigit) melainkan hanya untuk ditelan.
Tobatnya Nabi Yunus
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Maka, ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan, selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Saat di dalam perut ikan yang sangat gelap, Nabi Yunus pun bertobat kepada Allah atas kesalahannya. Beliau ketika itu dihukum Allah berada dalam tiga kegelapan sekaligus: 1) gelapnya dalam perut ikan, 2) gelapnya dasar lautan, dan 3) gelapnya malam. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5: 367)
Maka, Allah menerima tobat beliau dan menyelamatkannya dari perut ikan paus. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Maka, Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)
Dalam firman-Nya yang lain,
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka, kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (kiamat).” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)
فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ
“Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.” (QS. Ash-Shaffat: 145)
Ada banyak pendapat mengenai berapa lama Nabi Yunus berada dalam perut ikan paus. Namun, disebutkan bahwa Nabi Yunus dimuntahkan dari perut ikan paus dalam kondisi sangat sakit. Ini menunjukkan beliau berada di sana dalam waktu yang cukup lama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 7: 36)
Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya,
وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ
“Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu.” (QS. Ash-Shaffat: 146)
Hikmah kenapa Allah memilih labu karena labu merupakan buah yang mudah dimakan dan daunnya yang besar bisa dijadikan selimut ketika dinginnya malam. Allahua’lam.
Kembali kepada kaumnya yang telah beriman
Tatkala Nabi Yunus pulih dan sehat, beliau kemudian diperintahkan oleh Allah untuk menuju kepada kaumnya kembali. Ketika sampai di sana, beliau terkejut karena melihat kaumnya telah beriman kepada Allah. Beliau juga memberitahukan mereka, bahwa Allah telah menerima tobat mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
“Lalu, mereka beriman. Karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” (QS. Ash-Shaffat: 148)
Dalam firman-Nya yang lain,
فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus: 98)
Hukum asalnya, ketika suatu tanda-tanda kematian atau azab telah datang, maka tidak lagi diterima tobat seseorang. Hal ini sebagaimana Fir’aun (Lihat QS. Yunus: 90-91) dan kaum-kaum yang diazab sebelumnya (Lihat QS. Ghafir: 84-85). Namun, ini tidak berlaku bagi kaumnya Nabi Yunus ‘alaihis salam. Sebagian ulama mengatakan bahwa kemungkinan hikmah dari pengecualian tersebut adalah Allah mengetahui bahwa kaum Nabi Yunus akan beriman dengan benar jika Allah angkat kembali azab tersebut. Allahu a’lam.
***
Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.
Artikel: Muslim.or.id
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85541-kisah-nabi-yunus-dan-kaum-ninawa.html
Recent Comments