SEMUA manusia tahu dan kenal dengan monyet. Bahkan, tak sedikit ilmuan menjadikan monyet sebagai objek kajiannya. Namun, kebanyakan melakukan kajian ilmiah pada tataran biologis. Padahal, bila dikaji monyet memiliki korelasi pada aspek karakternya. Monyet merupakan salah satu hewan yang egois, sadis, angkuh, sombong, dan rasa iri yang tinggi. Meski ia memiliki semangat kompetisi yang hebat, namun amat mahir menyembunyikan, merencanakan tindakan yang licik, dan serakah.

Sifat ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kalian kera-kera (monyet) yang hina.” Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Baqarah : 65).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas merupakan tamsil yang disampaikan Allah pada kaum Yahudi atas sifat (hati) atau karakter mereka yang diserupakan dengan kera. Menurut Ibnu Abbas RA, bahwa Allah Ta’ala menjadikan rupa mereka seperti monyet dan babi. Yahudi yang muda menjadi monyet, sedangkan yang tua menjadi babi. Mereka hanya hidup tiga hari, tidak makan, tidak minum, dan tidak punya keturunan (Tafsir Ibnu Katsir, 1/289).

Dalam kehidupan modern, eksistensi dan kehadiran monyet acapkali menjadi pemandangan yang unik, terutama di tempat wisata. Meski terkadang kehadirannya dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat di wilayah permukiman. Hingga saat ini, setidaknya dikenal ada 264 jenis monyet. Primata ini merupakan jenis hewan yang memiliki kesamaan genetik dengan manusia pada beberapa struktur fisik dan terkadang pada sifat atau karakternya.

Monyet memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Ia tampil sebagai sosok yang seakan sopan dan jinak. Semua dilakukannya untuk menarik simpatik manusia yang melihatnya. Untuk itu, tak heran ketika manusia melakukan perjalanan rekreasi bersama keluarga, kehadiran segerombolan monyet yang datang menghampiri akan menarik perhatian para wisatawan. Monyet akan turun dari pohon dan mendekati pengunjung. Mereka menunggu uluran tangan pengunjung melempar makanan untuk disantapnya. Seakan ingin berteman, namun perlu kehati-hatian. Pemandangan “indah dan unik” bagi yang melihat secara zahir. Momen yang selalu ingin diabadikan. Wajar bila lampu blitz handphone pun tak henti berkedip mengabadikan momen menarik tersebut. Namun, di sebalik fenomena tingkah yang dipertontonkan monyet terkandung pelajaran bagi kehidupan, antara lain :

Pertama, Monyet merupakan salah satu hewan yang serakah. Ketika ia mendapat makanan, ia akan menguasai dan tak ingin berbagi. Semua makanan ingin dimiliki dan tersimpan dalam mulutnya. Meski mulut telah terisi penuh, tangannya akan meraih dan mengambil agar makanan jatuh dalam genggamannya. Bila primata ini disatukan dalam kandang besar bersama jenis hewan lainnya, maka ia selalu menjadi biang (provokator) kekacauan atau kegaduhan.

Sebagai hewan yang serakah, ia tak kenal rasa malu. Meski terkesan sebagai fenomena menarik bagi wisatawan, namun manusia tak sempat untuk bertanya alasan kenapa kerumunan monyet tersebut terjadi. Padahal, gerombolan monyet berada di tengah “peradaban manusia” sangat sederhana. Hanya disebabkan kelaparan karena “rumahnya” telah digusur manusia. Persediaan dan sumber makanan yang tersedia di hutan telah punah oleh ulah manusia. Akibatnya, gerombolan monyet turun ke wilayah manusia untuk mengemis, bahkan (terkadang) menjarah “makanan” penduduk. Sungguh fenomena yang menampar sisi kemanusiaan dan kemakhlukan diri. Ketika monyet sebagai primata yang memiliki sifat serakah, ternyata segelintir manusia justru lebih serakah. Bila monyet serakah pada kebutuhan makan atau menjarah dan mengemis karena kekurangan makanan, namun segelintir manusia serakah justru “mengemis” di tengah tumpukan dan kelebihan “makanan” yang dimiliki.

Sifat manusia yang tidak pernah cukup atas nikmat yang ada, diingatkan Rasulullah SAW: “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa meng-halangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima tobat siapa saja yang mau bertaubat” (HR. Bukhari).

Keserakahan dan tak tahu malu merupakan salah satu penyakit hati. Dorongan yang selalu menginginkan lebih banyak, tanpa peduli apakah cara yang ditempuh dibenarkan oleh syariat atau melanggar ketentuan hukum yang ada. Tak pula peduli apakah harus mengorbankan kehormatan diri atau orang lain. Semua dilakukan agar apa yang diinginkan tercapai. Hilang status dan label intelektualitas, sirna apa yang telah diberikan, seiring hadir harapan untuk mengharap simpati dan pujian. Setelah diberikan apa yang diinginkan, bak monyet yang mendapatkan makanan, manusia akan pergi naik ke pohon yang tinggi sambil menjulurkan lidah pada yang memberi. Monyet akan turun ke Bumi kembali untuk mengemis ketika perutnya keroncongan mengharap “makanan”. Raut muka menghiba, tingkah mempesona, patuh mau diarahkan ke mana saja, atau varian prilaku lainnya. Namun semua sebatas tipuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Kedua, Monyet hilang rasa takut dan seakan hidup tanpa peradaban karena dorongan rasa lapar dan keserakahan yang berkelindan membumbung tinggi. Berbeda dengan segelintir manusia justru tak kenal takut menghancurkan peradaban karena kepintarannya berlindung pada “kekuatan dan asesoris” kebaikan yang secara teori tak mungkin terjadi (dilakukan). Demikian pepatah mengatakan “maling teriak maling”. Kebenaran pepatah yang terlihat nyata dan semakin tak bisa ditutupi. Akibatnya hilang wibawa, kepercayaan, dan harga diri. Semua akibat sibuk melihat dan menilai aib orang, tapi lupa atau melupakan aib diri sendiri. Sibuk menyalahkan orang lain, lupa akan kesalahan diri yang membusuk. Padahal, semua akan terbuka sesuai janji Allah Zat Yang Maha Pasti. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya:

“Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah membuka aib mereka. Barang siapa membuka aib saudaranya, niscaya Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun dirahasiakan di lubang kendaraan” (HR. Tirmidzi).

Demikian jelas peringatan Allah yang disampaikan oleh Rasulullah. Namun, manusia justru mengingkari dan seakan mendustai apa yang diperingatkan.

Ketiga, Monyet memiliki kemiripan dengan manusia pada beberapa aspek. Bahkan, primata ini mampu menarik perhatian dan mudah berinteraksi. Wajar bila Darwinism menyimpulkan atas keterkaitannya dengan manusia. Namun, bila wisatawan tak waspada, barang berharga yang tanpa pengawasan akan dirampas dan dibawa lari. Apa yang dilakukan monyet hanya ketika manusia lengah. Ia tak pernah merampas, apalagi dengan kekerasan. Ia hanya membawa (mencuri) sebatas yang mampu dibawa (makanan, tas, atau sejenis). Monyet tak akan membawa barang wisatawan yang melampaui kekuatannya. Berbeda dengan sifat segelintir manusia. Terkadang justru mengambil di tengah pengawasan (atau justru sebagai pengawas) dan membawa melampaui kekuatan dirinya. Andai gunung bisa diambil, ia akan angkat gunung meski ia tak mampu mengangkat atau membawanya. Ia hanya berani “mengejek” ketika di atas pohon, tapi begitu jinak dan baik (perhatian) bila berada didekat manusia.

Meski monyet memiliki sifat negatif, namun tersisa sifat positif yang dimiliki. Hal ini terlihat pada zodiak Cina. Monyet dideskripsikan sebagai hewan yang mewarisi kecerdasan dan kesanggupan menipu. Hewan yang dijadikan lambang penemuan. Sebab, primata ini dianggap penuh inovasi, pandai berimprovisasi dan sanggup menarik perhatian orang terhadapnya. Kemampuan akalnya mampu menemukan seribu satu cara dan daya pikatnya yang tak dapat ditiru oleh hewan lainnya. Monyet diyakini mampu memecahkan masalah pelik dengan mudah dan belajar dengan cepat. Sejak berusia dini, ia sudah memupuk keahlian berinteraksi. Ia mengerti bagaimana cara bergaul yang baik dan bagaimana cara membujuk untuk memperoleh apa yang diinginkannya secara tepat. Untuk itu, dalam zodiak Cina, daya cipta monyet ini tidak hanya mengarah pada keterampilan atau keahlian pikiran, tetapi juga mengarah pada kecenderungan untuk membelokan kebenaran demi keuntungan pada situasi tertentu. Dalam bermacam hal, monyet menciptakan fantasi dan kenyataan menjadi kabur, fakta dicampur dengan fiksi, serta kebenaran dan kebohongan berjalan bersamaan. Andaikata standar moral “monyet” yang membuatnya terjerumus dalam suatu kesulitan, maka kecerdasan, kelincahan, dan kelicikannya akan membuatnya mudah memutarbalikkan fakta dengan mencari dalih (alasan) untuk kepentingan diri.

Karakter hina berstandar moral monyet diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Katakanlah (Muhammad), Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Thagut. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus” (QS. al-Ma’idah: 60).

Dalam Al Quran, juga diceritakan tentang ulama (Bal’am bin Baa’ura) yang menukar agamanya dengan dunia, dengan sebutan bagaikan anjing yang menjulurkan lidahnya, diberi makanan lidahnya menjulur, jika tidak diberi makanan juga menjulur. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalau-nya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan (juga) lidahnya” (QS. al-A’raf : 176).

Demikian sifat manusia dalam kehidupan. Tatkala kuasa dimiliki, seiring kepentingan menggelayuti nafsu, pujian berlimpah meski apa yang dipuji tak memiliki kejelasan. Begitu lincah lidah menari, bersenandung nyanyian tipuan kemuliaan. Meski senandung pujian hanya sebatas wujud besi tua lapuk yang tak ada nilainya. Namun, bila kuasa telah tiada atau kepentingan nafsu tak mampu diperoleh, maka pujian berubah cepat menjadi hinaan dan cemooh. Aib dan kesalahan dicari atau diciptakan, meski terkadang apa yang dinilai hina justeru berupa emas berlian. Fenomena ini begitu terasa di era digital. Padahal, semuanya merupakan cermin-an kualitas IQ dan karakter diri yang sedang diunggah atau ditampilkan. Allah berfirman: “Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).

Ternyata, monyet terpaksa mengemis karena kelaparan dan mengharap makanan karena sumber makanannya telah diambil oleh manusia. Lalu, bila manusia “mengemis” tatkala sedang “kekenyangan” dan berkelebihan, maka sikap ini menunjukkan ia memilih sandaran yang salah. Padahal, hamba yang sadar (berkualitas) hanya akan “mengemis” pada Allah semata, mengemis ampunan, cinta, dan ridha-Nya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.*** Prof Samsul Nizar adalah

Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Translate »