Sebagai anak pulau, keberadaan lautan merupakan sesuatu yang tak asing. Namun, ketika ilham-Nya menjelaskan pesan-pesan atas lautan, terbuka untaian ilmu Allah yang selalu terlupakan. Sungguh, dunia didominasi oleh lautan yang luas. Sementara daratan hanya bagian kecil atas hamparan dunia. Meski NKRI merupakan negara kepulauan, namun tak banyak yang merenung untuk belajar atas laut dan isinya. Bahkan, acapkali lautan yang terbentang kurang diperhatikan dan lebih fokus menjaga wilayah daratan dengan kekuatan penuh. Wilayah terdepan dan terluar sering terabaikan dan polesan wajahnya acapkali apa adanya. Wajar bila kekayaan wilayah lautan negeri ini begitu mudah dieksploitasi secara tidak wajar dan dikuasai negara asing secara terang-terang-an. Sementara polesan ala kadarnya wajah wilayah perbatas-an membuat negeri ini kurang dihargai. Terbangun image negatif dan karakter minder complex anak negeri, seiring kurangnya penghargaan bagi penjaga wilayah perbatasan dengan menyisakan pilu secara ekonomi dan peradaban.

Terlepas dari berbagai persoalan yang masih ada, sungguh nyata kebenaran al-Quran atas alam semesta. Pembuktian luas lautan dibanding daratan secara ilmiah, teruji dalam al-Quran. Dalam al-Quran terdapat 32 ayat yang menyebut kata laut (lautan). Sedang kata darat (daratan) dinyatakan dalam 13 ayat. Jika dijumlahkan, maka keduanya menjadi 45 ayat. Secara matematika, angka 32 atas 45 sama dengan 71,11  persen. Sedangkan angka 13 atas 45 identik dengan 28,22 persen. Berdasarkan ilmu hitungan sains, ternyata memang 71,11 persen bumi berupa lautan dan 28,88 persen berupa daratan. Demikian kebenaran ayat Allah mampu dibuktikan secara sains empirik ilmiah. Namun, pengujian al-Quran secara ilmiah acapkali dilakukan ilmuan non muslim yang menemukan kebenaran al-Quran.

Meski lautan lebih luas dibanding daratan, namun tak membuat daratan mampu ditenggelamkan oleh lautan. Sebab, Allah sediakan media untuk daratan mampu “menaklukkan” lautan. Media yang disediakan Allah berupa tumbuh-tumbuhan yang mampu menghisap air agar tak menenggelamkan daratan. Untuk itu, manusia perlu mensyukuri media yang dianugerahkan Allah dengan cara menjaga tumbuh-tumbuhan (hutan) secara seimbang. Bila manusia serakah dan jahil atas media agar air lautan tak menghancurkan daratan, maka binasalah manusia dan seluruh makhkuk daratan. Hal ini sesuai firman Allah : “Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (QS. an-Nahl: 14).

Merujuk ayat di atas, menjaga media keseimbangan daratan atas lautan merupakan kewajiban setiap manusia. Bila ada manusia yang merusak media tersebut, maka berarti telah melakukan “kejahatan kemanusiaan dan kealaman” yang tak bisa ditolerir dan dimaafkan. Sebab, kerakusannya akan berdampak negatif terhadap seluruh isi alam semesta, baik di darat maupun di laut.

Sungguh lautan menjelaskan Kalam Allah yang mengandung makna bagi membangun karakter dan peradaban manusia, antara lain : Pertama, Air lautan bersifat lembut, tapi mampu menghancurkan bangunan yang kokoh. Bayangkan demikian dasyatnya tsunami yang menggerakkan air laut dengan kekuatan yang mampu meluluhlantakkan apa yang menghadang. Demikian sifat manusia seyogyanya berkaca pada lautan dengan sifat kelembutannya. Sifat lautan yang lembut mampu menghancurkan benda yang keras tanpa dirinya hancur atau terluka. Beda dengan sifat keras besi bertemu besi. Ketika kedua sifat keras bertemu akan saling menghancurkan. Demikian seharusnya  manusia belajar dari sifat air. Kelembutan akan mampu merobohkan kepongahan dan kekerasan hati, tanpa menghancurkan dirinya. Kelembutan air yang senantiasa mencari dataran yang lebih rendah mengajarkan sifat tawadhu’.

Kedua, Air lautan rasanya asin, tapi tak mampu mengasinkan ikan yang ada di dalamnya. Fenomena yang mencerminkan sifat konsistensi (istiqomah) dalam mempertahankan harga diri dan idealisme. Ia hadir dan berinteraksi dalam komunitas pelaku kesalahan, namun tak menyebabkan diri terwarnai oleh komunitas yang melakukan kesalahan.

Ketiga, Lautan yang demikian luas, ternyata tak mampu menyembunyikan aroma bangkai yang mengapung. Demikian sifat keburukan manusia. Dihamparan alam ciptaan Allah, pada waktunya keburukan yang ditutup oleh kemunafikan akan terbuka dan bangkai diri tercium jua.

Keempat, Air lautan suci dan mensucikan. Menyingkirkan semua kotoran yang ada pada dirinya dengan membuang ketepi pantai bersamaan ombak yang melantunkan “asma Allah” yang didengungkan. Bila air laut yang suci menyingkirkan kotoran ke tepi, namun manusia justeru membangun kumpulan bangkai pada peradabannya. Anehnya, justru manusia seperti ini hadir dengan “atribut dan mengaku suci”, serta dianggap paling benar dan suci. Mereka tampil di atas pentas dengan tepukan meriah. Sementara pemilik kebenaran hanya sekedar menonton kepongahan, membersihkan sampah dan kotoran bila pesta telah usai.

Kelima, Luasnya lautan membuat manusia serasa demikian kerdil. Lautan mengajarkan atas keterbatasan manusia agar tak menyombongkan diri di muka bumi. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya :“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (QS. an-Nur : 40).

Bahkan, lautan mampu menyimpan gunung merapi di dasar laut tanpa mematikan aktivitas apinya. Padahal, sifat air mematikan api, namun berbeda terhadap gunung merapi didasar lautan. Hal ini sesuai firman-Nya : “dan laut yang di dalam tanahnya ada api” (QS. ath-Thur : 6).

Hilangnya sifat air atas api merupakan bentuk kuasa Allah yang patut merobohkan keangkuhan manusia. Upaya ini diharapkan terbangun kesadaran atas kuasa dan nikmat-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. Ayat ini Allah ulang sebanyak 32 kali  menunjukkan pentingnya keimanan setelah mengkaji ayat-ayat Allah baik ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah.

Meski lautan demikian luas dan ikan menghiasinya berenang kian kemari, ternyata ikan dan laut memberikan pelajaran bagi manusia yang ingin menemukan kebenaran dan melihat kebesaran Allah, antara lain :

Pertama, Ikan tak terasa asin meski hidup didasar laut yang asin. Ikan mencitrakan harga diri. Namun, ikan tak mampu mempengaruhi asinnya air laut dan tak pula mampu diasinkan oleh air laut. Air laut tak murka dengan ikan yang tak ikut asin, demikian ikan tak pula memaksakan diri untuk asin. Keduanya saling menghargai, saling mengisi, dan saling memberikan manfaat. Keduanya saling menghargai dan saling mengisi untuk membangun keindahan bawah laut. Perbedaan bukan untuk disamakan atau menjadi pemicu perpecahan, tapi perbedaan perlu diharmonisasikan dalam kesamaan. Keduanya berinteraksi saling memberikan manfaat pada manusia sesuai potensi yang dimiliki. Ikan dan laut sadar saling membutuhkan. Lautan indah oleh hiasan ikan yang bergerak kian kemari. Sedangkan ikan hidup penuh kedamaian ketika lautan mampu dijaga dan dirawat. Untuk itu, ikan sadar apa yang telah diberikan lautan padanya dan tak pernah merusak dan mengotorinya sebagai bentuk terimakasih pada lautan. Sedangkan lautan sadar apa yang dilakukan ikan, maka ia balas kebaikan tersebut senantiasa menyingkirkan kotoran yang ada dengan menggiring kotoran bersama hempasan ombak ketepian pantai. Demikian harmonis ikan dan laut hidup berdampingan, sing mengisi, dan saling menjaga.

Berbeda dengan manusia. Perbedaan acapkali menjadi pemicu perpecahan. Perbedaan dianggap musuh yang harus dimusnahkan. Meski manusia sadar sangat membutuhkan alam, namun alam jarang dirawat. Anehnya, ketika alam tak dirawat dan alam memberikan apa yang “ditanam” pada manusia dengan kenestapaan, namun hanya sedikit manusia yang sadar, meski dengan kesadaran yang sangat terbatas untuk selanjutnya mengulangi lagi kesalahan yang sama.

Kedua, Meski laut lebih dominan dan ikan hadir memper-indah laut, tapi tak ada yang merasa paling berharga dan berjasa. Keduanya mampu menyingkirkan arogansi diri dari sifat paling hebat dan paling berpengaruh. Laut “memeluk” ikan dengan kebijaksanaan, sehingga ikan hidup nyaman di dasar laut. Laut besar menawarkan perlindungan pada ikan yang kecil. Laut tak pernah menindas dan memanfaatkan ikan kecil untuk menunjukkan kehebatan diri untuk ditakuti. Ikan tak pernah kecewa dengan laut, tapi bersama-sama membangun peradaban dan menjaga laut dari kerusakan. Bahkan, ikan memberi andil membalas kebaikan laut dengan memberi daya tarik pada manusia untuk mengharungi laut.  Demikian harmonisnya ikan dan laut, saling menjaga dan mengisi, bukan saling menjagal dan menghabisi.

Ketiga, Hamparan laut luas tak mampu dijelaskan mata, di mana batas tepian sebenarnya. Demikian keterbatasan dan kecilnya manusia ketika berada dihamparan laut yang demikian luas. Dalam Al-Qur’an dijelaskan : “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia Jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus” (QS. al-Furqan : 53).

Meski di sisi lain, laut memiliki kekuatan dasyat dengan kekuatan gulungan ombaknya yang mampu meluluhlantak-kan apa saja yang dilewatinya, namun kekuatannya berujung pada tepian. Sungguh, ternyata kehebatan dan kebesaran laut akhirnya habis pada tepian pantai. Demikian kehebatan laut ternyata terbatas dan dibatasi oleh tepian pantai, apatah lagi diri manusia yang demikian kecil bila dihadapan lautan. Meski lautan dan daratan mampu dikuasai, kehebatannya tak ada yang menandingi, kuasa seakan tak ada batas, namun pasti ada ujungnya. Ujung kuasa manusia secara umum ada 2 (dua) bentuk, yaitu : (a) dibatasi tempat dan waktu berkuasa yang ditetapkan secara konstitusional. Jangan merubah kesepakatan konstitusi yang justeru akan memperlihatkan aib diri atas kuasa. (b) dibatasi janji kematian yang sangat misteri. Ketika lautan tau batas dan dimana tepiannya, namun tidak demikian halnya manusia. Ia tak pernah tau dan tak ada yang tau kapan, di mana, dan bagaimana tepian kehidupannya (kematian) kelak.

Demikian jelas lautan berikut isinya merupakan hamparan kalam Allah agar manusia berfikir atas kekuasaan-Nya. Semua kalam-Nya yang terhampar semua dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tak ada yang perlu diragukan, kecuali bagi manusia yang tak mau mengakuinya. Padahal, semua paparan di atas memberikan isyarat nyata, bahwa :

(1). Al-Quran bersinergi dengan alam (sains) menjelaskan kebenaran ajaran Islam. Meski harmonisasi keduanya demikian integral di era Nashiruddin at-Thusi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, al-Khawarizmi, Ibnu Haitham, dan sejumlah ulama lainnya era awal sampai kejayaan Islam. Namun sayangnya bak air dan minyak pada era sesudahnya. Keduanya terpisah oleh “keasyikan dan keangkuhan” masing-masing kutub berdialog secara terpisah.

Berbagai upaya manusia berupaya mensinergikan diri (termasuk agama) dengan alam, namun tak pernah ada tuntas. Umumnya sebatas wacana, cerita, angan-angan, atau sejenisnya. Meski ada, terkadang masih sifatnya sebatas penjustifikasi atau hanya euforia bak sebatas memutar film di alam mimpi yang hilang bersama terbangunnya dari tidur. Ketika tidur lagi, mimpi berubah. Demikian mimpi integrasi terjadi tapi tak terlihat dalam gerak peradaban nyata.

(2). Seluruh gerak alam dan fenomena alam sesuai dengan sunnatullah. Ketundukan pada sunnatullah merupakan salah satu bentuk alam “beribadah” kepada Allah. Bayangkan bila alam mengingkari aturan Allah, semesta akan hancur binasa. Apatahlagi manusia sebagai bagian kecil dari alam, bagaikan debu yang ditiup angin.

Ketika alam senantiasa tunduk pada sunnatullah, namun manusia acapkali memilih “menantang sunnatullah” dan merusak alam. Akibatnya, alam meronta atas pilihan manusia. Berbagai bencana terjadi merupakan reaksi alam atas pilihan manusia. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).

Demikian jelas ayat tertulis dan terhampar disampaikan Allah pada manusia. Namun, acapkali manusia alpa dan melihat ayat tertulis sebatas bacaan dan ayat terhampar sebatas pemandangan. Wajar bila alam sering melakukan pemberontakan. Mungkin alam sedang kecewa atau sedang ketawa melihat kejahilan tingkahlaku manusia. Menganggap diri paling sempurna dan berkuasa, tapi menampilkan perilaku yang sebaliknya, yaitu  “perilaku kebingungan dan kedunguan” menjadi manusia. Kesombongan dan keserakah-an yang mendominasi berakibat runtuhnya derajat manusia pada kehinaan melebihi hewan.

Sungguh, bila dilihat dari aspek konsistensi harga diri, terkadang manusia harus malu dan banyak belajar dengan ikan. Sosok ikan yang mempertahankan harga diri, namun tak merusak alam semesta. Membangun kesantunan dan kelembutan ala air laut, namun tersimpan kekuatan yang menghancurkan lawan yang menantang.

Masihkah keangkuhan dan kerakusan manusia telah menutup pintu kebenaran kalam-Nya yang demikian jelas ?. Tak ada yang bisa menjawab, kecuali bagi hamba yang dipilih oleh Allah untuk bisa menjawabnya. Meski mereka yang dipilih-Nya acapkali “disingkirkan dan dimusuhi” oleh manusia yang “terputus” oleh kebenaran firman-Nya dan syafaat Rasulullah SAW.

Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.

Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 10 Juli 2023

Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Translate »