Lebah dan lalat merupakan hewan yang tak asing bagi kita semua. Namun, tak semua pula yang mencoba menangkap pesan yang dititipkan Allah melalui lebah dan lalat. Sebab, Allah menciptakan semua ciptaan-Nya memiliki maksud dan tujuan yang ditujukan pada manusia. Hal ini tertera pada firman Allah : …”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran :191).

Ayat di atas menjelaskan bahwa semua yang Allah ciptakan memberi sejuta hikmah yang menjadi pelajaran bagi manusia. Namun, tak semua manusia mampu memetik pelajaran.

Melihat lebah dan lalat, muncul pertanyaan. Kenapa lebah cepat menemuka bunga meski jauh diseberang samudera. Kenapa pula lalat cepat menemukan kotoran meski ditutup dengan penutup yang rapat. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat antara keduanya, yaitu : Pertama, aspek naluri dan pikiran. Naluri dan pikiran lebah hanya untuk menemukan bunga (kebaikan). Meski dalam keadaan yang sangat lapar, lebah hanya hinggap dikelopak bunga untuk mengambil manisnya kelopak bunga. Meski ia sangat lapar, namun bunga tak pernah rusak, apalagi sampai mematahkan ranting pohon. Berbeda dengan naluri dan pikiran lalat hanya untuk menemukan kotoran (kejahatan).

Sementara lalat hanya memiliki naluri dan pikiran mencari kotoran. Ia bangga mencari kotoran dan hidup menyebar berbagai kuman penyakit yang berdampak derita bagi semua makhluk.

Kedua, aspek solidaritas. Madu yang dihasilkan lebah merupakan akumulasi solidaritas yang kompak. Kemampuan lebah mengumpulkan madu tak lebih dari berat tubuhnya. Namun, solidaritas membangun asa lebah untuk mencapai tugas dan fungsinya. Semua bersatu padu dan saling bekerja tanpa iri. Bila lebah diganggu, semua saling membantu. Sifatnya tak akan mengusik bila tak diusik. Berbeda dengan lalat, solidaritas tak pernah dikenalnya. Semua hidup untuk memperjuangkan diri sendiri. Saling berebut makanan busuk terus dilakukan.

Bila ada musuh ingin mengganggu komunitas, semua saling mencari selamat tanpa menghiraukan sesamanya. Meski lalat hidup bergerobolan, namun tanpa instink saling membela dan membantu.

Ketiga, aspek lingkungan dan memahami tugas dan fungsi. Lihatlah rumah lebah. Dibangun secara bersama dan dimanfaatkan bersama-sama pula. Semua tersusun rapi dalam kamar-kamar yang berukuran sama. Meski tanpa alat ukur, lebah mampu membuat sarangnya dengan susunan yang teratur. Bahan bangunannya pun terbuat dari zat yang juga bermanfaat bagi manusia (sebagai lilin). Semua lebah bekerja tanpa lelah. Giat dan pantang menyerah. Semua dilakukan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Tak ada saling iri, apalagi saling menyerang. Lingkungan yang bersih dan tersusun dalam aturan yang baik ternyata ikut membangun karakter lebah menjadi lebih baik.

Berbeda dengan lingkungan lalat. Hidup tanpa rumah, hanya menempel dionggokan sampah. Kehidupan tanpa pedoman dan tugas yang teratur. Lingkungan yang dipilih ternyata membangun sifat lalat. Lingkungan kumuh membangun tabiat lalat menyenangi kotoran dan membenci kebersihan. Bagi lalat, kotoran adalah sumber kehidupan.

Sifat lebah dan lalat merupakan perumpamaan sifat dan naluri manusia. Ada manusia yang bernalurikan lebah dan sebagian bernalurikan lalat.

Manusia yang memiliki naluri lebah akan cenderung mencari kebaikan, menyebar kebaikan, dan memberikan kebaikan pada sesama. Ia tak tertarik pada hal-hal yang tak baik. Solidaritas, memahami tugas dan fungsi, hidup dalam lingkungan  teratur menjadi modal bagi lebah membangun pribadinya. Sungguh  mulia bila manusia berkaca pada lebah. Hidup hanya untuk sesuatu yang mulia dan memberikan kebaikan pada sesama. Sementara manusia yang memiliki naluri lalat akan cenderung mencari keburukan dan memberikan mudharat bagi orang lain. Bagi manusia berinstink lalat, hidup adalah mempertahankan diri tanpa mau tau mudharat bagi makhluk lainnya. Hidup baginya adalah merindukan lingkungan yang kotor.

Sungguh, kebaikan dan keburukan tergantung pada apa yang menjadi gerakan instink dan otak yang mendorong manusia melakukan suatu perbuatan. Jika tipe lebah menjadi dasar diri, maka semua yang ada disekeliling diri akan mendapatkan manisnya kebaikan dan kebermanfaat yang disebarkan. Namun, jika hidup seperti lalat, maka hidup hanya menyebarkan kuman dan racun yang akan mencelakai atau memberi mudharat bagi semua yang ada disekelilingnya.

Meski manusia lebih suka hasil yang diprodukai oleh lebah, serta tak menyukai apa yang dilakukan dan dihasilkan lalat, namun dalam kehidupan justru lebih banyak meniru tabiat lalat. Suka sesuatu yang kotor dengan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan hidup, saling berebut kuasa hanya untuk mendapatkan makanan yang busuk, saling mencari dan membuka busuknya sesama agar keberhasilan dirinya mendapatkan tempat karena berhasil membuat nama orang lain menjadi busuk. Tentu upaya pembusukan sesama dilakukan oleh kelompok lalat-lalat yang suka busuk yang hadir era modern. Zaman boleh canggih, namun sayang sifat segelintir manusia masih terkebelakang dengan memilih lalat sebagai karakter dirinya yang senang atau membuat lingkungan busuk.

Sungguh mulia manusia yang memilih sifat lebah. Atas kemuliaan lebah pada dirinya, wajar bila Allah memberi nama lebah (an-Nahl) sebagai salah satu surat dalam al-Quran. Namun, untuk menjadi lebah perlu ketekunan dan pilihan makanan yang akan masuk dalam diri. Merujuk paparan lebah dannlalat di atas, terlihat bahwa  bila makanan yang masuk baik, maka akan baik pula diri dan semua yang akan keluar dari diri. Namun, bila makanan yang masuk berasal dari kejelakan atau bersumber dari menjual kebaikan menjadi kotoran-kotoran dengan berbagai variannya, maka akan menjadikan diri kotor dan mengeluarkan kotoran selama hidupnya.

Mungkin orang bisa dikelabui dengan asesoris yang ditampilkan, namun hati dan Allah tak mungkin bisa menutupi keburukan diri. Demikian pula sebaliknya, bila kebaikan yang dipilih dan keluar berbagai kebajikan dalam diri, maka meski sejuta makhluk ingin menutupi, niscaya tak akan mampu dilakukan. Kebaikan akan tetap dicari. Sementara keburukan tak pernah membuat manusia bahagia. Sebab, lebah tak akan pernah menjadi lalat dan lalat tak akan mampu menjadi lebah.

Pilihan tentu ada pada setiap manusia. Hanya saja, pilihan mana yang akan dipilih, tentu tergantung pilihan hidup yang akan diambil, lebah atau lalat.

Wa Allahua’lam bi al-shawwab.

Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

 

Translate »