Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya yang sebenarnya itu menjadi azab baginya apakah dia bertaubat atau semakin jauh. Syafiqah berkata, “Sebahagian ulama memberitahu kami bahwa ketika Umar bin Al-Khathab kedatangan harta rampasan yang diperoleh di Irak, maka pengelola Baitul Mal berkata kepadanya, “Tidakkah sebaiknya aku memasukkanya ke Baitul Mal?” Ia menjawab, “Tidak, demi Tuhan pemilik Ka’bah. harta tersebut tidak boleh disimpan di bawah atau sebuah rumah sebelum aku membagikannya.” Kemudian Umar memerintahkan agar harta tersebut diletakkan di masjid, ditutup dengan kain penutup, dan dijaga beberapa sahabat dari golongan Muahjirin dan Anshar. Pada keesokan harinya, Umar pergi bersama Abbas, Abdul Muththalib, dan Abdurrahman bin Auf.

Umar menggandeng tangan salah satu di antara keduanya, atau salah satu dia antara menggandeng tangan Umar. Ketika mereka melihat Umar, mereka menyingkap penutup harta benda tersebut sehingga Umar melihat sebuah pemandangan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Ia melihat emas, yakut, zabarjud, dan mutiara yang berkilau. Umar pun menangis sehingga salah satu di anatar keduanya berkata, “Demi Allah, ini bukan harinya menangis, melainkan harinya bersyukur dan gembira.” Umar berkata, “Demi Allah, aku tidak berfikir seperti yang kau fikirkan, melainkan demi Allah,  tidaklah harta berlimpah di tengah suatu kaum melainkan akan terjadi perpecahanan di antara mereka.” Kemudian Umar menghadap kiblat, mengangkat kedua tangganya ke langit dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menjadi orang yang terkena istidraj, kerana aku mendengar Engkau berfirman,

“Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak diketahui.” (Al-A’raf: 182) Sebuah hadits shahih menetapkan hal ini secara tegas, ” Apabila kamu melihat Allah memberi seorang hamba sebagian dari dunia yang dicintainya sedangkan ia berkutat pada maksiat-maksiatnya, maka sesungguhnya itu merupakan istidraj dari Allah.”

Semestinya hal ini menghujankan perasaan takut dalam hati setiap orang mukmin. Imam Al-Haramain berkata, “Apabila kamu mendengar keadaan orang-orang kafir dan keabadian mereka di neraka, maka janganlah kamu merasa aman atas dirimu sendiri kerana masalah ini sangat genting. Kamu tidak mengetahui ketepatan apa yang telah ada bagimu di alam ghaib. Janganlah kamu tepedaya dengan jernihnya waktu, karena di baliknya ada bencana-bencana yang tersembunyi.”

Ketika Dzunun ditanya, “Tipuan apa yang paling jauh yang menimpa seorang hamba?” Ia menjawab, “Tipuan dengan berbagai kelembutan dan kemuliaan. Allah berfirman, “Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak diketahui.” (Al-A’raf: 182) Dalam Kitab Al-Hikam Al-‘Atha’iyyah disebutkan, “Takutlah kamu dengan adanya kebaikan Allah kepadamu, sementara kamu senantiasa berbuat buruk kepada-Nya, (takutlah) sekiranya hal itu merupakan istidraj.”

Dalam istidraj berlaku lima cara sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Mawardi, iaitu: Pertama, Allah mengadzab mereka dalam keadaan lalai dan tidak menyadari. Demikian pendapat As-Suddiy. Kedua, Allah menyusuli nikmat dengan keburukkan, dan membuat mereka lupa terhadap taubat. Demikian pendapat Hasan. Ketiga, Allah mengadzab mereka di tempat mereka berjalan. Demikian pendapat Ibnu Bahr.

Keempat, Allah menarik mereka kepada adzab dengan cara mendekatkan mereka kepadanya sedikit demi sedikit hingga adzab itu menimpa mereka tanpa mereka sadari, karena seandainya mereka mengetahui waktunya Allah menimpakan adzab maka mereka tidak akan melakukan maksiat dan menyakini kesudahan mereka.

Kelima, pendapat yang diriwayatkan Ibrahim bin Muhammad bahwa Hasan berkata, “Betapa banyaknya orang yang diperlakukan secara istidraj dengan diberi kebaikan? Betapa banyaknya orang yang tertipu dengan pujian terhadapnya? Betapa banyaknya orang yang teperdaya dengan ditutupi aibnya? Mereka itulah orang-orang yang diperlakukan secara istidraj. Apakah Allah mencintai mereka? Apakah mereka memiliki kemuliaan di sisi Allah? Apakah mereka memiliki maqam di sisi Tuhan mereka, dan apa derajat mereka? Sekali-sekali tidak, demi Allah!

Bahkan mereka tidak menyadari bahwa itu merupakan istidraj, serta tidak menyadari sulitnya ujan. Dalam tafsir disebutkan, “Bahkan mereka tidak menyadari apapun sama sekali, seperti hewan ternak yang tidak memiliki kecerdasan dan kesadaran untuk merenung dan mengetahui bahwa uluran nikmat tersebut merupakan istidraj bagi mereka dan bahwa mereka sedang diulur untuk menambah dosa Mereka justru mengiranya sebagai kebaikan bagi mereka.”

Keadaan dimana Allah, memperlakukankan orang-orang yang mendustakan dengan cara istidraj disertai dengan penangguhan adzab bagi mereka hingga batas waktu yang mereka pasti capai (keadaan) itu serupa dengan orang yang menyiapkan serangan terhadap musuhnya sembari menunjukkan sikap ramah dan baik agar musuhnya itu semakin terlena, agar akibat serangan yaitu lebih keras, dan agar musuhnya lebih jauh dari persiapan untuk menghadapinya.”

Istidraj memiliki bentuk-bentuk lain. Di antaranya adalah populariti dan kemasyhuran di mata manusia bersamaan dengan redupnya namanya di sisi Allah. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qusyairi, “Istidraj adalah tersiarnya nama baik di kalangan makhluk namun ia berkutat pada perbuatan buruk dalam keadaan sembunyi-sembunyi terhadap Yang Haq.” Terkadang populariti ini dibiringi dengan semacam kebutaan hati sehingga seseorang yang popular itu tidak melihat aib-aib dirinya. la teperdaya dengan pujian orang-orang terhadapnya sehingga aib-aibnya bertumpuk dan hatinya menjadi hitam, serta mengalami kehancuran demi kehancuran. Dengan cara seperti itulah orang yang naif digiring kepada kematiannya. As-Sari As-Saqathi berkata, “Di antara tanda-tanda istidraj adalah buta terhadap diri sendiri.”

Ketika seseorang melakukan istidraj terhadap orang lain, maka pihak yang diperlakukan secara istidraj itu terkadang memiliki kecerdasan dan kejelian, serta mengetahui berbagai jenis siasat dan muslihat shingga ia berhati-hati dan waspada terhadapnya. Adapun ketika perkara ini berkaitan dengan Tuhan Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa, maka tidak mungkin seseorang menyadari hal tersebut. Dialah Tuhan yang apabila melakukan istidraj maka seseorang tidak akan mengetahui cara terlepas darinya. Karena itu, Allah berfirman,

“Dengan cara yang tidak mereka ketahui,” lantaran manusia mengetahui cara-cara istidraj dan tipu daya di antara sesama mereka, tetapi mereka tidak mengetahui tipu daya dan makar Allah sehingga mereka tidak akan lolos darinya. Pesan penting di sini adalah, Anda dituntut untuk memiliki pandangan tajam terhadap keadaan diri Anda dalam majelis tafakur: Apakah Anda bergelimang nikmat-nikmat Allah meskipun Anda jauh dari Allah sehingga Anda terkena istidraj? Ataukah Anda menyikapi nikmat-nikmat Allah dengan mensyukurinya dan membalas kebaikan dengan kebaikan sehingga Anda menjadi orang yang bersyukur?

Peringatan penting di sini adalah janganlah kalian teperdaya -wahai para pencari kebenaran- dengan diluaskannya rezeki harta benda, kekuasaan dan bangunan oleh Allah bagi orang- orang yang mengikuti kebatilan! Berapa nilai kerajaan yang ujungnya adalah api neraka? Apa artinya istana besar dan megah apabila beberapa hari sesudahnya ia hancur dan runtuh? Apa makna seseorang hidup dalam puncak kenikmatan dan kesejahteraan apabila pada akhirnya ia kekal di neraka Saqar?

Petikan dari buku:”Kita pasti menang”

Oleh : Dr Khalid Abu Syadi

Translate »