Dakwah adalah roh bagi eksistensi dan tersebarnya Islam di muka bumi. Islam beranjak dari Tanah Suci Mekah tempat kelahirannya, keluar dari jazirah Arabia, mengarungi samudera menyeberangi sungai, mendaki gunung menuruni lembah dan ngarai, dan akhirnya menyebar di seantero penjuru dunia, adalah berkat aktiviti dakwah oleh para dai’I dan ulama. Dakwah menyampaikan ajaran agama Allah, walau satu ayat, adalah kewajiban setiap individu umat dan kewajiban dakwah ini tidak pernah tamat sampai hari kiamat.
Kalau dalam perkembangannya yang mula-mula, dakwah Islamiah lebih sebagai aktiviti menyeru dan memperkenalkan Islam kepada komuniti yang belum mengenal Islam, maka tugas dakwah Islamiah zaman kita dewasa ini lebih berorientasi kepada pembinaan internal di kalangan umat muslimin sendiri, memelihara dan memperkukuh akidah umat melalui pendidikan dan perwujudan kesejahteraan ekonomi. Sasaran dan tugas utama dakwah Islamiah saat ini, utamanya, adalah mengislamkan anak manusia yang sejak lahir sudah memeluk agama Islam, agar mereka hidup konsisten dan istiqamah dalam komitmen dan kesalehan keislaman di tengah-tengah kehidupan global penuh cabaran.
Pembinaan internal ini seyogianya tidak lagi sekadar menyampaikan dan menjelaskan ilmu keislaman, melainkan harus disertai tindakan kongkret untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan sosial ekonomi umat. Dakwah dengan tindakan dan kesalehan sosial inilah, dalam isteilah kontemporer, disebut dan termasuk kategori al-dakwah bi al-hal, yakni aktiviti dakwah yang berorientasi dan menyentuh persoalan kongkret kehidupan sosial ekonomi umat. Tulisan singkat ini akan menekankan pemaparan tentang dakwah bi al-hal yang mengutamakan amal kesalehan sosial untuk komuniti umat marginal, yang lazim disebut sebagai kaum dhu’afa dan mustadh’afin, kaum fuqara dan masakin.
I. MANUSIA MAKHLUK SOSIAL
Dibandingkan dengan jenis makhluk Allah lainnya, manusia adalah makhluk yang paling lemah tidak berdaya. Buktinya, manusia tidak mungkin boleh hidup tanpa alam tumbuhan dan haiwan. Sebaliknya, alam tumbuhan dan haiwan boleh hidup tanpa manusia. Bahkan alam tumbuhan dan haiwan hidupnya akan selamanya aman dari ancaman binasa apabila jauh dari manusia. Alam haiwan dan tumbuhan akan binasa ketika dunianya dijajah oleh tangan jahil manusia. Adalah bukti nyata, betapa hutan belantara ditebang musnah oleh pelaku illegal logging yang serakah, dan sudah banyak jenis haiwan punah binasa oleh tangan jahil pemburu liar yang maharajalela. Nampaknya manusia tidak sedar bahawa tindakan merosak linkungan, membabat alam tumbuhan dan memburu alam haiwan, akan berdampak rosaknya ekosistem alam yang berujung pada kemudaratan bagi kehidupan bani insan. Betapa kehidupan manusia akan susah bahkan terancam oleh berbagai musibah, ketika ekosistem alam sudah rosak oleh manusia yang hidup serakah. Demikian ancaman Allah di dalam firmanNya:
“Telah tampak kerosakan di darat dan di laut kerana olah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (Ar-Rum:41)
Terutama dalam statusnya sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin hidup sendirian kecuali harus berinteraksi dengan sesama dalam hubungan saling memerlukan dan memberi bantuan. Manusia yang hidup sendirian, terpisah dari masyarakatnya pasti akan kehilangan harkat dan martabat bahkan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Hubungan individu dengan masyarakat bagaikan hubungan tangan dengan badan. Tangan yang terpotong dan terpisah badan, misalnya, tidak lagi disebut tangan tetapi bangkai yang tidak berguna yang segera membusuk dan sirna.
Singkat kata, manusia adalah zoon politicon, makhluk sosial, yang eksistensi kemanusiaannya tergantung kepada interaksi sosialnya dengan sesama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai seorang manusia, baik atau buruknya, ditentukan dalam hubungan sosialnya dengan sesama. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dan keharusan mereka melakukan interaksi sosial oleh al-Quran digambarkan, antara lain, dalam ayat: “ Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti “(Q.S 49: 13).
Firman Allah ini meniscayakan manusia melakukan interaksi sosial dalam keaneka ragaman jantina, etnik, ras dan bangsa. Manusia tidak akan dapat memenuhi segala keperluan hidupnya di dunia kecuali dalam hubungan kerjasama dan saling membantu antara sesama. Lebih jauh lagi, nilai manusia di sisi Allah tergantung kepada cara manusia bergaul dengan manusia lainnya. Kalimat “yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa” dalam ayat ini, mengandung pesan sosial bahawa pergaulan antar sesama harus dilandasi oleh nilai-nilai spiritual yang menggambarkan sifat-sifat takwa kepada Allah s.w.t., yang di dalam terminologi Islam disebut akhlak mulia. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ihwal yang paling banyak memasukkan orang ke syurga adalah taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik” (H.R. al-Tirmizi dan al-Hakim).
Demikian, manusia adalah makhluk sosial yang kebahagiaan duniawi dan keselamatan hidup ukhrawinya sangat tergantung kepada interaksi sosialnya kepada sesama. Allah menciptakan manusia dengan keadaan berbeda-beda suku bangsa, berbeda keahlian dan profesinya, berbeda tingkat kehidupan sosial ekonominya, adalah untuk sebuah hikmah keseimbangan dan keharmonisan sebagai pasangan atau rekanan, bahwa manusia mesti saling memerlukan satu sama lainnya. Perbedaan adalah peluang bagi manusia untuk saling bekerjasama antar sesama. Tidak ada manusia yang dapat memenuhi semua keperluan hidupnya tanpa keterlibatan dan bantuan orang lain. Sesuap nasi yang masuk ke mulut kita, misalnya, adalah hasil dari pekerjaan banyak orang dari pelbagai profesi mulai dari petani, tukang kilang padi, jasa transportasi, sampai kepada pedagang beras itu sendiri. Tidak ada penguasa kalau tidak ada masyarakat atau rakyat; tidak ada pengusaha tanpa karyawan atau buruh yang bekerja; tidak ada orang kaya apabila tidak ada orang-orang miskin di sekitarnya. Orang kaya, misalnya, sebagian keperluan hidupnya adalah hasil kerja orang-orang miskin. Orang miskin, apalagi, memenuhi sebagian besar keperluan hidupnya hanya melalui peluang kerja upahan atau pemberian dari orang-orang kaya.
Perbedaan dan keanekaragaman status sosial ekonomi, demikian perspektif Islam, adalah untuk tujuan harmoni bukan dikhotomi. Kenyataan kelas ekonomi kaum kaya dan kaum miskin, misalnya, bukan dua kelas sosial saling berseberangan dan bertentangan melainkan sebuah harmoni dan keseimbangan sosial saling memerlukan. Si kaya pasti, suatu saat, memerlukan tenaga saudaranya yang miskin dan, sebaliknya, si miskin pasti memerlukan bantuan dari saudaranya yang kaya. Dapat dibayangkan kacaunya kehidupan suatu masyarakat, andai anggota masyarakatnya homogen terdiri dari oranorang yang sama status sosial ekonominya. Sukar dibayangakn, ke mana orang-orang kaya mencari pembantu rumah tangga atau tenaga upahan untuk suatu pekerjaan kalau masyarakatnya kaya semua? Ke mana orang-orang miskin semua?
Demikian, dalam statusnya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi, manusia harus membangun hubungan ganda, yakni hubungan vertical kepada Allah Sang Pencipta dan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Hubungan kepada Allah terbangun oleh iman dan ketaatan beribadah mahdhah atau ibadah ritualistic normative, dan kepatuhan melaksanakan segala perintah serta menjauhi larangan Allah. Hubungan horizontal kepada sesama manusia terbangun melalui silaturrahim dengan akhlak mulia dan melakukan kesalehan sosial kepada semua.
Manusia ideal yang akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah yang mampu membangun hubungan ganda tersebut, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Jika tidak, maka kenistaan dan kehinaan lah yang akan menimpa. Allah berfirman : “Kenistaan akan menimpa di mana pun mereka berada, kecuali kalau mereka membangun hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia…” (Ali ‘Imran: 112). Allah tidak menghendaki manusia menghabiskan seluruh umurnya menyendiri di tempat nan sepi hanya semata-mata untuk beribadah kepadaNya tetapi lupa akan fungsi dan tanggungjawab sosial kepada sesama manusia. Sebaliknya, Allah akan murka kepada orang-orang yang sibuk dengan urusan sosial kepada sesama tetapi lalai beribadah kepadaNya. Kedua hubungan ganda ini, hubungan vertical dan hubungan horizontal, harus dibangun secara seimbang dan berkesinambungan.
Hubungan vertical, idealnya, mempunyai pengaruh positif bagi terbangunnya horizontal yang baik antara sesama manusia. Dengan kata lain, orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah, idealnya akan memiliki hubungan yang baik kepada sesama manusia; dari sikap dan perilakunya terpancar akhlak mulia. Dalam konteks inilah difahami bahawa setiap ibadah mahdhah atau ibadah ritualistic normative, di dalam Islam, pasti mengandung hikmah dan pesan-pesan sosial, baik yang bernuansa moral mauhupun material. Walau kenyataannya tidak selalu demikian, bahawa ada orang yang dilihat dengan kasar mata sangat taat beribadah tetapi akhlak dan kepedulian sosialnya kepada sesama sangat rendah. Dalam fenomena ini, tentu saja, bukan syariat ibadah yang salah, tetapi orang tersebut yang tidak memahami pesan dan makna suatu ibadah.
Hubungan dengan sesama menjadi penting, kerana nilai seseorang hamba di sisi Allah Sang Pencipta tergantung kepada hubungannya dengan sesama. Bukankah Allah sangat murka dan mengancam bahawa orang-orang yang memutuskan tali silaturrahim dengan sesama manusia tidak akan masuk syurga? “Tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan tali silaturrahim (Muttafaq ‘alaih). Kebaikan Allah terhadap seorang hamba tergantung kepada kebaikan hamba tersebut kepada sesamanya. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Barangsiapa meringankan beban seorang muslim di dunia ini niscaya Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat nanti; barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa melindungi seorang muslim, niscaya Allah akan melindunginya di dunia dan akhirat; dan Allah akan menolong seorang hamba selama hamba itu mahu menolong saudaranya” (H.R. Muslim). Seseorang, oleh Allah, dicap sebagai yang mendustakan agama kerana suka mengherdik anak yatim, tidak peduli terhadap nasib orang-orang miskin, dan enggan memberikan bantuan sosial kepada sesama (Q.S. 107: 1-7).
Membangun hubungan dengan Allah terasa tidak begitu susah, seseorang hamba cukup mengikhlaskan sebahagian waktunya untuk melaksanakan ibadah mahdhah dan taat menjalankan segala perintah serta menjauhi semua larangan Allah. Andai seorang manusia terlanjur berbuat salah, lalai akan perintah dan melanggar larangan Allah, maka Allah tetap membuka pintu istigfar dan taubat bagi para hambaNya. Membangun hubungan dengan sesama manusia lah yang terasa sangat kompleks dan sering menimbulkan masalah. Seribu manusia sejuta macam pula sifat dan perangai subjektivitinya. Apabila ada seseorang “baik” hubungannya dengan Allah tetapi “jelek” hubungannya dengan sesama manusia, maka seseorang tersebut tetap dinilai “jelek” oleh manusia. Sebaliknya, apabila ada seseorang “jelek” hubungannya dengan Allah tetapi “baik” hubungannya sesama, maka seseorang tersebut tetap sangat rumit, sensitive dan subjektif; setiap manusia selalu menilai sesuatu dan berdasarkan kepentingan subjektifnya dan sulit memaklumi kekurangan atau kesalahan orang lain. Sedangkan Allah, dengan sifat rahman dan rahimNya, tetap menjanjikan ampunan, ketika manusia terlanjur berbuat salah atau melanggar ranbu-rambu agamaNya. Segunung kesalahan manusia kepada Allah, Allah tidak marah dan tetap membuka pintu taubat dan ampunanNya. Sebaliknya, sebiji zarah kesalahan dengan sesama manusia, maka sumpah serapah pasti diterima dan dendam kesumat tidak pernah padam sepanjang masa.
Demikian, manusia adalah makhluk sosial, kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya, di dunia dan akhirat, tergantung kepada hubungannya dengan Allah Sang Pencipta dan hubungannya dengan sesama manusia. Jangan hidup takabur tanpa iman dan takwa, dan jangan hidup sombong seakan dapat hidup sendiri tanpa teman dan tanpa bantuan dari sesama. Jangan hidup serakah dan mewah dengan kekayaan melimpah, tanpa kepedulian membantu orang-orang yang lemah. Apa ertinya hidup kayaraya tetapi, oleh Allah, dicap sebagai orang yang mendustakan agama, kerana hidup egoistic tidak mahu peduli terhadap sesama, khususnya terhadap kaum dhu’afa.
II. Etos Kerja Islami
Adalah sunnatullah, bahawa untuk dapat hidup layak di muka bumi manusia harus bekerja dan berusaha mencari rezeki, minima agar boleh memenuhi keperluan dasar hidup keseharian berupa sandang, pangan dan papan. Maka, demikian realitinya, aktiviti ekonomi adalah paling dominan dalam kehidupan manusia di dunia. Bekerja dan beraktiviti mencari kehidupan ekonomi, demikian perspektif Islam, adalah termasuk dalam kategori ibadah ghairu mahdhah secara syar’I dan merupakan ihwal yang paling logic secara aqli.
Kerananya, Islam sanagt menganjurkan agar muslimin memiliki etos kerja yang tinggi. Dari dua puluh empat jam waktu kehidupan sehari semalam, Islam hanya meminta umatnya menyediakan kurang lebih satu jam waktu khusus untuk beribadah mahdhah, terutamanya untuk melaksanakan ibadah solat fardu yang lima waktu. Dua puluh tiga jam waktu yang tersisa setelah melaksanakan ibadah tersebut adalah hak bebas manusia memanfaatkannya untuk bekerja. Setelah ibadah dilaksanakan, Islam menganjurkan umat agar segera bertebaran du muka bumi, bekerja untuk mencari rezeki. Allah berfirman : “Apabila solat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi ini dan carilah (rezeki) anugerah Allah, dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (Q.S. 62: 10). Adalah prinsip bagi orang-orang beriman, bahawa mereka bekerja menggunakan sisa waktu setelah bekerja. Mendahulukan ibadah tidak pernah merampas waktu untuk bekerja tetapi, sebaliknya, mendahulukan bekerja alamatnya waktu sering tidak tersisa untuk beribadah. Maka celakalah orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dan meninggalkan ibadah. Sebaliknya, beruntunglah orang-orang yang mengutamakan waktunya untuk beribadah dan masih banyak waktu tersisa untuk bekerja.
Sempena menekan etos kerja, Islam mencela orang-orang yang hidup bermalas-malasan, yang mencari rezeki dengan cara mengahrap belas kasihan atau meminta-minta kepada saudara dan handal taulan. Rasulullah s.a.w., antara lain bersabda: Seseorang pergi membawa tali untuk mengikat kayu bakar, lalu memikul dan menjualnya, sehingga kehormatannya tetap terjaga, adalah lebih baik dari pada orang yang meminta-minta kepada orang lain, mungkin diberi atau ditolak (H.R. al-Bukhari). Di dalam sabdanya yang lain Rasulullah s.a.w. menyatakan : “ Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada makanan hasil kerja tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Daud AS memakan makanan dari hasil kerja tangannya sendiri” (H.R. Bukhari).
Ada banyak jenis usaha yang boleh dilakukan oleh manusia untuk mencari rezeki, asal seseorang mempunyai kehuan bekerja dan berusaha, sebagaimana ditegaskan oleh Allah s.w.t di dalam ayat: “Sesungguhnya usahamu memang aneka macam dan berbeda-beda” (Q.S. 92:4). Manusia bebas memilih jenis usaha yang sesuai dengan keinginan dan keahliannya, asal memenuhi syarat halal dan baik, halalan thayyiban.
Dengan semangat etos kerja yang tinggi, Islam, pada prinsipnya, menganjurkan umatnya harus memiliki kehidupan ekonomi yang kuat sebagai orang kayaraya. Dua dari lima rukun Islam, ibadah zakat dan haji, adalah ibadah maliah, yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang kaya. Kedua jenis ibadah mahdhah ini, secara langsung, memacu semangat kerja muslimin agar menjadi orang-orang kaya atau, minimal, mandiri dalam ekonomi. Muslimin yang bercita-cita melaksanakan semua rukun Islam secara sempurna, sudah barang tentu, harus bekerja untuk memperolehi rezeki sebanyak-banyaknya, kerana tanpa harta yang berkecukupan, dua rukun Islam ibadah zakat dan haji tidak mungkin tertunaikan.
Semangat etos kerja Islami ini juga terlihat pada system ekonomi Islam itu sendiri. Islam, pada prinsipnya, mengakui pemilikan individu, bahawa seseorang bebas memilih pekerjaan yang halal dan berhak memiliki sepenuhnya hasil kerjanya tanpa boleh dizalimi oleh siapa pun jua. Pengakuan Islam terhadap pemilikan individu ini bukan pengakuan terhadap kapitalisme, Islam tidak pernah menyetujui pemilik capital yang bermental kapitalistis. Islam sangat mengajurkan umatnya kaya raya dengan pemilikan harta individunya, tetapi dalam waktu yang sama, Islam sangat menekankan pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial. Bagaimana, misalnya, Islam mewajibkan pemilik harta agar mengeluarkan sebahagian dari hartanya melalui institusi zakat, minmal 2.5%, untuk kepentingan sosial. Selain dari perintah wajib, Islam juga sangat menganjurkan muslimin agar memperbanyak kesalehan sosial, melalui ibadah tathawwu’ atau sunat, tanpa terikat oleh batas jumlah dan waktu, yang dikenal dengan ibadah infak dan sedekah.
Demikian, system ekonomi Islam mengakui hak pemilikan individu secara penuh, tetapi bukan kapitalisme. Di satu sisi, Islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan mewajibkan penggunaan harta untuk kepentingan sosial tetapi bukan sosialisme. Tegasnya, system ekonomi Islam bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme. Inilah system ekonomi Islam yang benar dan sempurna, bahawa kepentingan umum tidak boleh merampas hak individu dan sebaliknya, kepentingan individu tidak boleh mengorbankan hak umum. Menghargai dan mengakui pemilikan individu, bererti Islam telah membangkitkan semangat dan etos kerja individu untuk memiliki sepenuhnya sesuatu dari hasil usaha dan kerjanya. Dengan menekankan kesalehan sosial, Islam mendorong lahirnya individu-individu umat kaya raya yang tidak rakus dan tidak serakah, tidak bakhil dan tidak kikir, tetapi memiliki kepedulian sosial melalui ibadah infak dan sedekah. Inilah system ekonomi yang berkeadilan individual dan sosial.
Berbeda dengan system ekonomi Islam, Kapitalisme Barat hanya akan melahirkan individu-individu yang individualistis, melahirkan kaum borjuis yang bermental penindas dan serakah. Sementara sosialisme hanya akan melahirkan individu-individu pemalas, yang bekerja dalam perasaan serba terpaksa, kerana tidak dapat memiliki hasil kerjanya sebagaimana mestinya. Sistem ekonomi Barat, Kapitalisme dan Sosialisme, terkesan ekstrem berat sebelah dan tidak mengandung nilai-nilai keadilan individual dan sosial.
Sempena Islam membawa etos kerja yang tinggi dan memberikan kebebasan kepada individu-individu umat untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya, maka penghasilan ekonomi mereka pasti berbeza. Kerana jenis usaha yang berbeza dan tingkat keahlian yang tidak sama, maka hasil yang didapati pasti berbeza pula. Bahkan perbezaan taraf kehidupan ekonomi ini menjadi sesuatu yang alami kerana sangat tergantung kepada system sosial ekonomi, perbezaan linkungan, dan keadaan sumber daya alam di wilayah dan tempat suatu masyarakat berdomisili.
Secara teologis, setiap individu manusia wajib berusaha dan bekerja sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, namun hasil yang didapati tergantung kepada ketentuan Allah Sang Pemberi Rezeki. Oleh kerananya, tidak pantas orang kaya menghina dan melupakan orang-orang miskin dan, sebaliknya, orang miskin tidak boleh hasad dan dengki kepada orang kaya. Semua orang wajib berusaha mencari rezeki sesuai dengan pilihan dan keahliannya, tetapi “berapa rezeki yang diperolehinya” adalah ketentuan Allah s.w.t. Ketentuan Allah yang mejadikan hambanNya ada yang kaya da nada yang miskin, seperti telah dikemukakan, justeru membawa hikmah keseimbangan dan keharmonisan sosial. Hubungan berseberangan saling berlawanan, bukan pula hubungan antara kelas atas dan kelas bawah. Pada fenomena perbezaan taraf kehidupan inilah, sebenarnya kepedulian dan kesalehan sosial tercipta dalam kehidupan umat manusia.
III. Fenomena Komuniti Marginal
Seperti telah dikemukakan, penghasilan dan taraf kehidupan ekonomi umat manusia pasti tidak sama antara satu dengan yang lainnya, dikeranakan berbeza jenis usaha, berbeza kegigihan dan berbeda pula tingkat keahlian. Sehingga, apabila ditinjau dari perspektif kehidupan ekonomi, di tengah-tengah masyarakat manusia selalu ada dua kelas ekonomi yang disebut al-aghniya dan al-fuqara, kaum kaya dan kaum ekonomi lemah yang, di bumi melayu lebih dikenal dengan sebutan kaum miskin. Fenomena kaum al-aghniya dan al-fuqara, kaum kaya dan kaum miskin ini adalah reality sosial yang paling nyata dalam kehidupan manusia, yang sulit bahkan tidak mungkin dihapuskan dari kehidupan masyarakat mana pun jua. Dua fenomena komuniti ekonomi kaya dan miskin ini, dalam perspektif Islam, merupakan status bipolar yang membawa nilai-nilai keseimbangan dan keteraturan sosial. Disebut bipolar, ertinya dua status ini bukan sesuatu yang kontradiktif, melainkan sebagai yang menjamin terciptanya keseimbangan yang meniscayakan suasana kooperatif. Istilah Bipolar menyajikan erti pasangan dua kutub yang paling melengkapi satu sama lain. Tidak terbayangkan betapa kacaunya keadaan suatu masyarakat yang homogeny, apabila warga atau individunya terdiri dari orang kaya atau orang miskin semua. Hidup orang kaya dipastikan akan susah apabila tidak ada orang miskin yang mahu bekerja menerima upah. Sebaliknya, orang miskin akan lebih susah apabila tidak ada orang kaya yang mempekerjakan mereka dengan system ijarah atau upah.
Kendati mengakui sebagai fenomena sosial yang paling nyata, tidak bererti Islam merestui dan pasrah menerima kemiskinan. Islam selalu hadir dengan solusi meningkatkan etos kerja professional agar setiap individu boleh meningkatkan pendapatan atau taraf kehidupan ekonominya. Menghapuskan kemiskinan dari muka bumi adalah tidak mungkin dan tidak perlu dijadian obsesi, yang mungkin dan boleh dilakukan adalah bagaimana upaya mengurangi kuantiti atau paling membantu mengurangi beban umat yang hidup dalam kemiskinan melalui kesalehan sosial.
Kendati soal harta berada dalam genggaman dan kekuasaan Allah Sang Pemberi Rezeki, namun setiap orang wajib berusaha dengan etos kerja maksimal dan professional, demi harapan suatu perubahan dan peningkatan taraf pendapatan dan penghidupan. Bagaimana pun, perubahan nasib dan keadaan, termasuk dalam hal ekonomi, tergantung kepada upaya seseorang atau kaum itu sendiri. Allah berfirman: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (Q.S.13:11).
Demikian, secara ekonomi, di dlaam kehidupan duniawi ini ada yang kaya ada yang miskin, ada yang konglomerat ada yang melarat, ada yang serba berkelebihan ada pula yang serba kekurangan, ada yang senang ada pula malang. Dua keadaan dan status sosial ekonomi ini sekilas memang terasa berseberangan dan berlawanan, namun sebenarnya justeru membawa hikmah nilai keharmonisan dan keseimbangan sosial, yang pada akhirnya melahirkan semangat kerjasama dan kebersamaan dalam suasana saling memerlukan dalam rasa senasib sepenanggungan. Si kaya pasti pasti memerlukan tenaga dan keahlian orang miskin dalam memenuhi keperluan hidupnya dan sebaliknya si miskin pasti memerlukan bantuan orang kaya.
Dalam perspektif teologis Islami, nilai manusia tidak terletak pada harta atau taraf ekonominya, tetapi terletak pada taqwa dan kesalehan sosialnya, sejauh mana seseorang telah memberikan sebanyak-banyaknya manfaat dan kebaikan kepada orang lain. Nabi bersabda: “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Betapa besar manfaat yang dirasakan oleh seorang miskin ketika saudaranya yang kaya datang menghulurkan tangan mebantu meringankan beban kehidupan. Begitu pula, betapa besar kemudahan yang dirasakan oleh orang kaya ketika saudaranya yang miskin mahu membantu mengerjakan sesuatu yang tidak dapat atau tidak layak ia kerjakan melalui akad ijarah atau system upah.
Secara teologis, Allah menguji keimanan dan ketakwaan pada hambaNya, antara lain, melalui harta. Apakah seseorang itu diuji dengan kekayaannya, apakah dia mahu bersyukur dan mempunyai kepedulian untuk melakukan sebanyak-banyak kesalehan sosial melalui ibadah sedekah atau, justeru sebaliknya, dia akan kufur bersama sifat kikir dan serakah. Semakin banyak kesalehan sosial yang dilakukan untuk membantu sesama, atau jihad melalui harta demi meninggikan syiar agama, adalah petanda semakin besar syukur seorang kaya kepada Allah s.w.t.. Harta seseorang tidak akan berkurang kerana bersedekah, melainkan semakin bertambah sesuai dengan janji Allah: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelumang dosa” (Q.S. 2 :276). Di dalam ayat lain Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mendermakan hartanya untuk jalan Allah, bahawa pahala dan rezeki mereka akan dilipat gandakan (Lihat Q.S. 2:261) .
Demikian pula, orang-orang miskin diuji dengan kemiskinannya, apakah dia sabar dan tidak berputus asa akan rahmat Allah s.w.t.. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran : “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar”: (Q.S. 2:155).
Secara teologis, Islam memandang semua manusia adalah sama status sosialnya, walau penghasilan ekonomi membezakan mereka kepada status miskin dan kaya. Penilaian Allah terhadap para hambaNya berpusat pada status kehambaannya, apakah mereka bertakwa atau durhaka. Orang yang mulia adalah yang paling bertakwa (Q.S 49: 13). Maka Islam tidak pernah dan tidak membenarkan pembezaan kelas sosial berdasarkan status ekonomi. Islam tidak membolehkan ada marginalisai kelompok ekonomi tertentu oleh kelompok ekonomi yang lain. Kaun kaya dan kaum miskin sayugianya hidup membaur secara harmonis di dalam satu wilayah dan dengan status sosial yang sama. Kaya dan miskin sama statusnya sebagai hamba Allah, sama haknya di atas muka bumi Allah, dan sama kewajibannya untuk menjadi orang yang bertakwa. Penilaian Allah terhadap harkat dan martabat para hamba, seperti dikemukakan, terletak pada takwanya bukan pada hartanya.
Tidak demikian halnya penilaian manusia antar sesama, yang selalu menilai seseorang berdasarkan status ekonominya. Sehingga, demikian realitinya, komuniti kaum dhu’afa dan mustdh’afin, fuqara dan masakin selalu dipandang dalam posisi marginal atau dimarginalkan secara sosial. Mereka diposisikan sebagai komuniti pinggiran atau terpinggirkan, tidak termasuk dalam hitungan, dan tidak mendapatkan perlakuan sosial yang setara di dalam masyarakat, terutama oleh komuniti yang memiliki status sosial ekonomi yang telah mapan.
Oleh masyarakat yang mapan, mereka kaum yang dimarginalkan ini sering dilecehan, hak sosial mereka tidak dipedulikan, mereka dipandang sebagai komuniti yang tidak pantas hidup membaur dan bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat yang berstatus sosial tinggi. Sebaliknya, komuniti dimarginalkan ini pun merasa harus pasrah menerima status sebagai komuniti marginal arat pinggiran, dan akan menjalani hidup seadanya tanpa tujuan dan cita-cita masa depan.
Keberadaan komuniti marginal ini tidak dalam perspektif geografis melainkan dari sudut pandang sosiologis, bahawa mereka dipinggirkan secara sosial, dipandang tidak pantas bergaul dan membaur dengan masyarakat umumnya. Secara geografis, mereka ada di mana-mana, di desa-desa, di daerah terpencil, di pinggir mahu pun di tengah-tengah kota. Mereka yang sering dimarginalkan secara sosial ini adalah kaum dhu’afa dan mustadh’afin, termasuk di dalamnya para ibu tunggal, kaum lanjut usia, dan anak-anak yatim yang hidup di sekitar kita.
Demikian hukum dan tradisi sosial yang dibangun oleh masyarakat manusia, dan muslimin tidak sepantasnya mengikuti hukum dan tradisi diskriminatif yang tidak Islami ini. Islam, sebagai mana telah dikemukakan, tidak mengakui bahkan melarang diskriminasi sosial. Kaum dhu’afa dan mustadh’afin bukan dimarginalkan atau dibiarkan tanpa kepedulian, melainkan harus dibina, diayomi dan dilindungi.
Secara teologis, komuniti yang dimarginalkan ini, di dalam keterasingan mereka, selamanya akan menghadapi berbagai masalah yang tidak pernah ada solusinya. Kemiskinan dan kebodohan adalah masalah yang selamanya menjadi beban kehidupan mereka, yang sangat mungkin akan mendatangkan masalah yang paling parah lagi, yakni hancur dan sirnanya sendi-sendi akidah dan moral Islami. Kebodohan akan mengiringi seseorang atau masyarakat bertindak tanpa pertimbangan, dan kemiskinan akan menyebabkan seseorang atau masyarakat akan menempuh segala cara untuk sekadar boleh makan, tanpa membezakan antara yang halal dan yang haram. Demikian Rasulullah s.a.w. menegaskan, bahawa kefakiran atau kemiskinan senang menjerumuskan seseorang kepada kekufuran.
Ketika kaum dhu’afa dan mustadh’afin, kaum fuqara dan masakin ini dimarginalkan tanpa kepedulian saudara-saudaranya seiman dan seagama, alamatnya mereka menjadi orang-orang yang selamnya lemah tidak berdaya, terpaksa pasrah menerima nasib kehidupan apa adanya, dan tidak mampu merubah keadaan kecuali atas bantuan sesama. Persoalannya adalah bahawa jarang bahkan tidak ada orang seiman seagama yang mahu peduli terhadap nasib mereka kaum yang dimarginalkan ini. Sehingga mereka semakin jauh terasing dari nilai-nilai agama dan budaya, jadilah mereka sebagai komuniti yang lemah secara ekonomi, rapuh secara kultural, dan lumpuh secara moral kerana tanpa bantuan sosial dan tanpa bimbingan iman.
Sungguh malang nasib mereka kaum dhu’afa yang dimarginalkan ini, mereka sering terlupakan sebagai komuniti yang sama-sama berhak hidup layak di muka bumi. Perbezaan yang sangat kontras telah terjadi. Orang-orang kaya di tengah kota setiap hari makan nikmat di rumah, di restoran, dan di tempat-tempat pesta dengan makanan yang banyak tersisa. Sementara saudara-saudara kaum dhu’afa, orang-orang miskin dan kaum papa, terpaksa makan seadanya tidak cukup untuk menghi;angkan rasa lapar dan dahaga, mereka tidak pernah makan sampai kenyang kerana yang dimakan selalu kurang. Orang-orang kaya bebas berganti pakaian dalam setiap penampilan, sementara orang miskin setiap hari dengan satu-satunya pakaian lusuh yang menempel di badan. Bagi orang-orang miskin, tidak ada fikiran dan kemapuan untuk mengganti pakaian kecuali hanya bekerja sekadar untuk makan; mereka membanting tulang bermandi keringat setiap hari hanya untuk mencari sesuap nasi. Setiap sore di bulan suci Ramadhan, orang-orang kaya dan para penguasa asyik buka puasa bersama di hotel-hotel mewah berbintang lima, sementara orang-orang miskin hanya menikmati sebungkus nasi remes dan segelas air putih untuk sahur dan berbuka puasa di gubung-gubung derita.
Pantaskah mereka dimarginalkan atau dibiarkan tanpa perhatian dan kepedulian? Apa salah mereka, sehingga hak sosial mereka diberikan? Mana solidaritas dan kepedulian kita terhadap mereka yang lemah dan papa? Siapakah yang bertanggungjawab membantu kehidupan dan membina akidah mereka selain dari kita saudara-saudara seiman seagama? Mereka merasa tidak pantas mendatangi dan tidak berani menuntut kecuali kita yang mestinya mendatangi dan mengayomi mereka.
(BERSAMBUNG)
Dr. H. Suryan A. Jamrah, MA
Dosen UIN SUSKA Riau Indonesia.
Recent Comments