Bulan Rabi’ul Awwal tiba. Umat Islam di seluruh dunia menyambut dengan sukacita dan mengekspresikan kegembiraan melalui berbagai macam acara sesuai dengan budaya masing-masing. Mereka menampakkan manifestasi cinta atas lahirnya seorang manusia agung, manusia yang seluruh aspek pada dirinya tanpa pengecualian merupakan keteladanan sempurna. Ia merupakan contoh sebagai seorang pemimpin, hamba Allah, suami, ayah, dan sebagai guru.

Nabi Saw adalah manusia sempurna (insan kamil). Sang Penciptanya memberikan kesaksian atas keagungannya. Allah Swt berfirman: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (QS: Al-Ahzab: 21). Dalam ayat lain, Allah berfirman: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. Al-Qalam: 4).

Kajian tentang Rasulullah tidak akan pernah habis. Pembahasan apa pun yang berkaitan dengan dirinya pasti akan terasa baru dan akan senantiasa relevan dengan kehidupan manusia, sekarang dan kapan pun.

Kisah berikut adalah contoh bagaimana akhlak Nabi Saw dalam memperlakukan orang yang mungkin dapat dikategorikan sebagai “penista agama”, yaitu perlakuan Nabi Saw terhadap seorang Arab Badui yang kencing di dalam masjid.

Dikisahkan, seorang Arab Badui masuk ke dalam masjid Nabawi di Madinah untuk menjumpai Nabi Saw dan berbaiat padanya. Seusai berbaiat, lalu dia melaksanakan salat dua rakaat.

Pada saat ia meninggalkan masjid, dia menuju ke salah satu pojok masjid kemudian membuka lebar kedua kakinya dan dia pun kencing di dalam masjid. Para sahabat Nabi yang sedang duduk mengelilingi Rasulullah Saw menyaksikan peristiwa tersebut dan spontan marah. Sebagian mereka ada yang teriak, ada yang menghardik, ada juga yang memarahi Arab Badui yang sedang kencing tersebut.

Dalam satu riwayat dikatakan, bahwa sebagian sahabat akan menyerang dan memukulnya, namun Nabi Saw mencegah mereka dan berkata: “Biarkan dia, jangan menghentikan dia dari aktivitasnya (yang sedang kencing).” Kemudian setelah ia selesai, Rasul Saw meminta untuk diambilkan seember air dan disiramkan di atas tanah yang telah terkena kencing tersebut sebagai proses penyucian dari najis.

Badui tersebut menyadari dan melihat semua reaksi dari sekeliling Nabi Saw. Ia pun berkata: “Demi ayah dan ibu sebagai tebusannya, sungguh dia (Nabi Muhammad Saw) tidak memakiku, tidak mencelaku, dan tidak pula memukulku.”

Nabi Saw bertanya kepada orang Badui tersebut: “Apakah kamu muslim?”

“Iya aku muslim,” jawabnya.

Nabi Saw bertanya: “Apa gerangan yang menyebabkanmu kencing di dalam masjid?”

Arab Badui itu menjawabnya secara jujur: “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku tidak menganggapnya, kecuali sebagai tanah di antara tanah yang ada di bumi ini. Oleh karenanya aku kencing di situ.”

Kemudian Nabi Saw memberikan pelajaran penting mengenai masjid dan fungsinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Nabi berkata: “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak untuk sesuatu seperti urin dan kotoran. Ia tempat untuk berzikir kepada Allah, salat dan membaca Alquran.”

Nabi Saw pun memberikan nasihat dan panduan kepada para sahabat yang hadir pada saat itu dengan mengatakan: “Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah bukan untuk mempersulit.” Dalam redaksi yang lain, beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi hidayah bukan untuk menyesatkan. Jadilah kalian pengajar dan janganlah jadi orang-orang yang keras. Bimbinglah orang tersebut.”

Akhlak mulia Nabi Saw telah mencairkan hati seorang badui (yang biasa dikenal berwatak keras) sehingga hatinya penuh dengan kecintaan pada Nabi Muhammad Saw. Di hadapan Nabi dan sahabat, dia lalu memanjatkan doa: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah sekali-kali engkau merahmati seseorang bersama kami.”

Dalam riwayat lain disebutkan doanya: “Ya Allah, ampunilah aku dan Muhammad dan janganlah mengampuni seseorang bersama kami.”

Nabi Saw tertawa tatkala mendengar doa Arab Badui tersebut dan berkata kepadanya: “Engkau telah mempersempit rahmat dan ampunan Allah Swt yang begitu luas itu.”

Kisah ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan lainnya sebagaimana dapat dibaca dalam banyak kitab hadis, seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad, dan Bulughul Maram ibn Hajar al-Asqalani, dan lainnya.

Kisah di atas, jika kita renungkan, sangat sarat dengan pelajaran bagi kehidupan beragama, bermasyarakat, bahkan bagi dunia pendidikan. Berikut ini beberapa poin yang dapat dimaknai: Pertama, tidak diperbolehkan mengotori masjid dan bila terjadi harus segera dibersihkan.

Kedua, membersihkan tanah dari najis cukup dengan menyiramkan air di atasnya, jika tidak terdapat benda atau zat najisnya. Oleh sebab itu, Nabi Saw tidak memerintahkan untuk menggali dan membuang tanah yang terkena urin.

Ketiga, dalam melaksanakan amar makruf nahi munkar, tidak cukup dengan hanya mengandalkan pada semangat. Namun juga membutuhkan ilmu tentang keduanya, metode, dan analisis dampak jika terjadi pelarangan (pencegahan) terhadap kemungkaran dengan cara yang salah. Harus ada pengaruh positif pada orang yang dilakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Keempat, Nabi Saw memerintahkan sahabat agar Badui tersebut menyelesaikan terlebih dahulu kencingnya dan tidak serta-merta menghentikan pada saat ia sedang melakukan kencing, karena bisa terjadi: Badui tersebut bisa sakit karena menahan kencing. Selain itu, najisnya (urin) akan menyebar ke mana-mana di ruangan masjid ketika ia dikagetkan. Begitu pula pakaiannya akan terkena akibat ia takut atau kaget.

Mengenai hal itu, terdapat kaidah fiqih: “Jika berkumpul dua bahaya yang tidak dapat dihindari, maka diperbolehkan untuk memilih yang paling ringan bahaya dan risikonya.” Maka dari itu, akhirnya kencing Arab Badui tersebut dilokalisir agar tidak menyebar ke seluruh ruangan masjid.

Kelima, dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, tidak perlu teriak-teriak, memaki, dan mencela, bahkan tidak langsung menggunakan fisik, melainkan melalui tahapan-tahapan.

Keenam, Nabi Saw melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan lemah lembut dan kasih sayang, sebagaimana yang telah dirasakan oleh orang Arab Badui tersebut sehingga mendorong untuk mendoakan Nabi dan dirinya.

Ketujuh,  Boleh bagi kita dalam menjalankan amar makruf dengan penuh senyuman. Bisa jadi sikap seperti ini akan lebih besar pengaruhnya pada orang yang kita bimbing sebagaimana Rasul Saw tertawa ketika mendengar doa Arab Badui yang membatasi rahmat dan ampunan Allah Swt, seraya menegur dan mengarahkannya pada yang benar.

Kedelapan, Nabi Saw dalam memberikan teguran pada seorang badui mengedepankan sistem dialogis dan tanya jawab. Hal ini lebih humanis sebagai salah satu metode dalam pengajaran yang ideal, dibandingkan jika menggunakan metode monologis doktrinal yang hasilnya tentu akan berbeda.

Dari dialog itu pun akhirnya diketahui bahwa Arab Badui melakukan hal tersebut tidak ada motivasi untuk menistakan agama atau menistakan masjid.

Kesembilan, semangat amar makruf dan nahi munkar adalah mempermudah bukan mempersulit. Jangan sampai amar makruf yang dilaksanakan berubah menjadi munkar disebabkan cara yang salah sehingga akhirnya dapat mengakibatkan orang jauh dari hal yang makruf dan dekat dengan kemungkaran.

Sabda Nabi Saw: “Kalian tidak diutus menyesatkan, jadilah kalian sebagai guru pengajar”. Semoga kita dapat meneladani Rasul Saw dan mampu menampilkan kasih sayang ajarannya. Amin ya rabbal ‘alamin.

Salam bagimu wahai kekasih Allah
Salam bagimu wahai Rasulullah
Salam bagimu wahai Rahmat atas semesta alam.

Sumber : qureta.com

Translate »