Keadilan senantiasa disimbolkan dengan keseimbangan neraca yang berarti seimbang.
Karena itu keadilan seharusnya mendatangkan harmoni karena segala sesuatu diperlakukan atau ditempatkan sesuai dengan semestinya.
Semua manusia mendambakan keseimbangan sebagaimana benda alam lainnya. Misalnya air ketika dimasukkan ke dalam sebuah bejana berhubungan maka permukaan bejana yang diisi akan segera menyeimbangkan dengan permukaan bejana lainnya.
Alam semesta termasuk tata surya diciptakan dan bergerak dengan menggunakan prinsip keseimbangan. Dengan keseimbangan itu maka alam berjalan harmoni, siang-malam, pasang-surut, musim kemarau-hujan, musim panas-dingin, sehingga manusia bisa menikmati keteraturan keseimbangan itu.
Adanya pemanasan global, rusaknya ozon, atau efek rumah kaca merupakan pelanggaran terahadap prinsip keseimbangan.
Tuhan menciptakan dan mengelola alam dengan keadilan, maka Tuhanpun menerapkan prinsip keadilan ini pada kehidupan manusia. Hal itu bersifat pasti dan tidak mungkin bisa digantikan, oleh karena itu siapapun yang berlaku adil maka akan merasakan kehidupan yang seimbang dan harmoni, sebaliknya siapapun yang menyimpang dari prinsip keadilan akan merasakan ketidak harmonisan. Prinsip keadilan berlaku pada alam, manusia, kehidupan keluarga, masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena berlaku adil mesti kepada semua pihak termasuk diri sendiri, orang lain dan juga dalam berbangsa dan bernegara. Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan.
Menurut pendapat jumhur ulama, seorang yang dilantik menjadi hakim itu hendaklah bersifat adil . Tidak sah melantik seorang yang fasik sebagai hakim atau memegang jabatan tersebut. Adil menurut al-Mawardi ialah seorang yang berbicara benar, jelas, amanah, bersih dari hal-hal yang haram dan dosa, jauh dari sifat yang meragukan, tidak suka bergurau, menjaga marwah dalam urusan agama dan dunianya, dipercayai (keadilannya) dalam keadaan gembira dan marah dan tidak harus bagi orang fasik menjadi hakim.
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut syari’at Islam, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti, antara lain hakim tidak menghukum dalam keadaan marah. Hakim dicela bila menghukum atau menetapkan keputusan ketika sedang marah. Karena keputusan yang diambil dalam keadaan seperti itu akan menyimpang dari kebenaran atau dapat membuat seorang hakim tidak mampu mengetahui kebenaran sehingga ia memberi keputusan yang salah.
Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan risikonya setelah ketua negara adalah hakim.
Hakim berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia.Ini sesuai dengan firman Allah yang bermaksud: ‘Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil’ .(Q.S al- Maidah ;42)
Berhubung perkara ini juga Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Hakim (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga. Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menyeleweng dan berbuat zalim dengan sewenang-wenangnya memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan hukum berat tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk mengakui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui usaha mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.
Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan ketelanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah. Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi dari pada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim.Khalifah Umar bin Abdul Aziz berpendapat tidak boleh menghukum berdasarkan dugaan atau mencambuk atas dasar adanya tuduhan. Dengan ini Umar bin Abdul Aziz menetapkan dasar keadilan dan mendahulukan pembuktian yang adil di atas pembuktian yang tegas. Hal itu karena Umar tidak ingin menzhalimi orang yang tidak bersalah. Umar bin Abdul Aziz lebih suka mereka bertemu Allah dengan membawa pengkhianatan mereka dari pada ia bertemu Allah membawa tanggung jawab atas darah mereka.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan atas kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam situasi apapun dan siapapun.
Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.000 dinar emas sebulan. Dan, di zaman Daulah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.200 dinar emas sebulan (setara dengan 3.000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau rasuah.
Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suapan. Integriti hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh.
Ada beberapa perilaku hakim yang dicela,ia itu bila mereka terlibat dalam perniagaan. Mereka harus bertindak teliti dan cermat.Mereka harus mempunyai sikap nusyawarah dan juga mengelakan melakukan suapan(rasuah).Ia itu sesuatu yang diberikan kepada sesorang untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Rasulullah berkata;
Artinya : Dari “Abu Hurairah R.a. Rasulullah melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum”. (H.R. Ahmad dan Imam yang empat dan di Hasankan oleh Turmudzi dan disahihkan oleh Ibnu Hibban)
Tidak ada yang lebih baik dari hukum Allah. Kalau hukum Allah S.W.T diterapkan, tidak hanya akhirat yang akan menjadi baik akan tetapi duniapun akan menjadi baik termasuk di bidang peradilan khususnya dan semua bidang kehidupan.
Catatan : Ibnu Majid
Recent Comments