(Riwayat Hidup Al-Ghazali)
Nama lengkap al-Ghazali adalah Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i. Dia lahir di kota Tus pada tahun 450 H atau 1058 M.
Abu Hamid al-Ghazali adalah salah satu tokoh yang paling terkenal dalam sejarah pemikiran Islam bahkan dunia yang telah memberikan dampak besar intelektual dan perilaku kehidupan umat Islam khususnya.
Terdapat perselisihan dalam pengucapan nama al-Ghazali, terkadang diucapkan Ghazzali dengan mentasydidkan huruf zay yang artinya tukang pintal benang, karena berkaitan dengan pekerjaan ayahnya yang merupakan tukang pintal benang wol.
Adapun yang lazim diucapkan ialah Ghazali dengan satu huruf zay, diambil dari kata Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran) yang merupakan nama kampung kelahirannya. Adapun asy-Syafi’i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Al-Ghazali hidup dalam masa pemerintahan Abbasyiah. Dia lahir di Tus, Khurasan, wilayah kelahirannya dekat dengan Masyhad. Pada masa lalu wilayah ini merupakan bekas Kekaisaran Persia.
Tus merupakan sebuah kota besar yang memiliki penduduk dengan jumlah yang tinggi dan tata ruang bangunan yang rapi. Jumlah penduduknya lebih banyak dari dua kota di dekatnya, yaitu Thabaristan dan Nawqan.
Ayah al-Ghazali rajin menghadiri majelis-majelis (tempat belajar), untuk belajar ilmu keagamaan. Ketika menghadiri majelis-majelis, dia selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan seorang anak yang paham terhadap syariat Islam dan mampu menyampaikan nasihat kepada banyak orang.
Doa yang diminta oleh ayah al-Ghazali dijawab oleh Tuhan “Kelak putramu (al-Ghazali) adalah orang yang paling cerdas dari orang-orang lain pada masanya, dia adalah seorang yang ahli pada bidangnya (keilmuan), dan putramu yang lain (Ahmad) adalah seorang yang senang menyiarkan agama dengan khutbah secara fasih dan berpengaruh bagi masyarakat”.
Pendidikan dan Guru Imam Al –Ghazali
Perjalanan pendidikan al-Ghazali dimulai dengan belajar al-Quran dan ilmu keagamaan oleh ayahnya. Setelah ayahnya wafat, al-Ghazali dan adiknya belajar kepada seorang sufi yang merupakan teman ayahnya, sekaligus dititipkan oleh ayahnya harta untuk belajar dan menghidupi kebutuhan sehari-hari.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar al-Ghazali, sampai suatu hari harta yang dititipkan oleh ayahnya habis. Selanjutnya sufi tersebut menyerahkan al-Ghazali kepada pengelola sebuah madrasah (Universitas) untuk belajar sekaligus menyambung kehidupannya. Dalam madrasah al-Ghazali meraih kebahagiaan dan derajat yang tinggi.
Al-Ghazali mulai belajar dengan tekun. Pertama-tama dia belajar di Tus sampai usia 20 tahun. Di sana dia mempelajari ilmu fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, kemudian mempelajari ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj yang merupakan seorang sufi terkenal, dan kemudia dia melanjutkan pelajaran ke Jurjan pada tahun 479 H. Gurunya yang terkenal di tempat ini adalah Nashar al-Ismail
Al-Ghazali belum puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, dia memutuskan untuk kembali pulang ke Thus selama tiga tahun. Lalu timbul ide untuk mencari madrasah yang lebih baik untuk mendalami pengetahuannya.
Karena tertarik untuk mencari madrasah yang lain, al-Ghazali memutuskan untuk berangkat menuju sekolah yang bernama Nizhamiyah di kota Nishapur (Neisabur) pada tahun 471 H. Di sini al-Ghazali bertemu dengan Imam Haramain.
Dalam kajian ushul fiqh di berbagai kitab mazhab Syafii, nama Imam Haramain selalu disebut. Nama lengkapnya yaitu Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Abdullah atau sering disebut dengan Imam Haramain al-Juwaini.
Imam Haramain wafat ketika berusia hampir 60 tahun (419-478 H/ 1028-1085 M) di Nishapur sesudah melewati tanah suci Makkah dan Madinah. Sebagai ulama besar yang diakui, dia mengajar dan memberi fatwa hampir empat tahun di Makkah, sehingga diberi gelar kehormatan “Imam Al Haramain” (Imam dua kota suci, Makkah dan Madinah).
Imam Haramain diminta oleh perdana Menteri Nizham Al Mulk untuk menjadi Rektor Madrasah Nizhamiyah di Nishapur. Oleh sebab itu Al-Ghazali banyak belajar kepadanya.
Al-Ghazali muda sudah berguru kepada Imam Haramain, dia (Al-Ghazali) besungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga suatu waktu dia unggul dalam argumen, logika, doktrin, dan perdebatan.
Dia membaca filsafat, hikmah (ungkapan/peribahasa) serta mampu mempraktikannya. Dia memahami kata-kata para ilmuwan, dan mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang diraihnya dengan menyusun dan membuat sebuah karya buku yang berkualitas.
Imam Haramain menunjuk al-Ghazali sebagai asisten setelah melihat keahlian dan keunggulan yang dimilikinya. Al-Ghazali juga diperintahkan untuk membantu mengajar kepada teman-temannya.
Imam Haramain menggambarkan al-Ghazali seperti laut yang luas, tidak mudah untuk menjadi dirinya yang memiliki wawasan yang luas dan derajat yang tinggi, semua itu diraih dengan kerja keras, ketekunan, disiplin, dan berolahraga.
Pada tahun 475 H, al-Ghazali berusia 25 tahun, dia mulai menjadi dosen di Universitas Nizhamiyah Niesabur yang dibimbing oleh gurunya Imam Haramain.
Meskipun al-Ghazali memiliki wawasan yang luas, karya yang melimpah, dan mendapatkan jabatan, dia tetap rendah hati. Al-Ghazali bagaikan pohon yang terus tumbuh buahnya, semakin pohon itu tumbuh buahnya, maka pohon tersebut akan terus membungkuk.
Murid-Murid Imam Al-Ghazali
Tidak mudah untuk menghitung murid-murid Imam Al-Ghazali, karena jumlah muridnya banyak. Al-Qadi Abu Bakar Ibn Al-Arabi salah satu muridnya pernah berkata, “Saya melihat al-Ghazali di Baghdad mengajari murid-muridnya sekitar empat ratus sorban (orang), mereka adalah orang-orang terkemuka dan berbudi luhur.”
Berikut beberapa murid-muridnya; Ibrahim bin Mazhar Al-Jurjani, Al-Qadi Abu Nasr Al-Bahouni, Abu Al-Fath Ahmed bin Ali, Burhan, Al-Hussein bin Nasr Al-Juhani, Khalaf bin Ahmed, Daghash Al-Nuaimi, Abu Al-Wafa Rustam bin Saad Al-Khawari, Al-Radhi bin Mahdi Al-Zaidi, Saad Al-Khair Al-Balani and Saeed bin Muhammad al-Razzaz, Shafi’ ibn Abd al-Rashid al-Jaili, Amer ibn Daghash al-Ansari, Abd al-Karim ibn Ali al-Razi, Ali ibn Muhammad ibn Hamwayh al-Juwayni, Ali ibn Muslim al-Sulami, Muhammad ibn Abdullah dikenal sebagai Hakim Abu Bakar ibn al-Arabi al-Maliki, dan Abu Hamid Muhammad ibn Abd al-Malik Al-Josqani Al-Isfrainyi.
Wafatnya Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali wafat pada usia 55 pada tahun 505 H pada tahun 1111 M. Dia dikebumikan di desa Thabran, kota Thus. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaanya selama hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama, murid-muridnya, dan jutaan umat Islam.
Karya-Karya Al-Ghazali
Bukunya yang paling terkenal adalah “Ihya Ulum al-Din,” yang dianggap sebagai salah satu klasifikasi terbesar dalam pengetahuan tentang hukum, yang berkaitan tentang boleh atau larangan. Kitab ini secara spesifik berisi seluk-beluk hukum.
Imam Al-Ghazali meninggalkan banyak buku, dalam berbagai jenis ilmu forensik, dalam fikih dan prinsip-prinsip fikih, doktrin Islam, tasawuf, filsafat, dan menanggapi penyimpangan atau perbedaan. Beberapa peneliti menyebutkan terdapat lebih dari 228 buku, termasuk buku cetak dan manuskrip.
Referensi:
- Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
- الإمام أبي حامد محمد بن محمد الغزلي، إحياء علوم الدين، (بيروت: دار ابن حزم، 2005)
- أبي حامد محمد بن محمد الغزلي، المقصد الاسنى (بيروت: دار ابن حزم 2003 م)
- الإمام أبي حامد محمد بن محمد الغزلي، بداية الهداية، (لبنان: دار المنهاج، 2004)الدكتور أحمد فؤاد الأهواني، سيرة الغزالي و أقوال المتقدمين فيه، (دمشق: دار الفكر 1961)
Recent Comments