Berbicara tentang ulama, adalah berbicara tentang salah satu bagian terpenting dari dunia dan isinya. Karena, secara substansial, manusia tidak akan punya pengetahuan tentang dunia dan segala isinya secara mendasar, bahkan termasuk tentang dirinya sendiri, bila tidak diberitahu oleh yang mencipta dunia itu sendiri, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Pengetahuan yang disebut wahyu itu tidak akan sampai kepada manusia bila Allah tidak mengutus nabi atau rasul sebagai penyampai pesan-pesanNya. Nabi atau rasul pulalah yang diberi otoritas oleh Allah untuk menerjemahkan pesan-pesan tersebut melalui ucapan, tindakan, atau sikapnya yang diperlihatkan kepada manusia.   Pengetahuan tersebut ada yang hanya berupa  pengetahuan sebagai ilmu, dan ada pula sebagai aturan yang mesti  dipatuhi sebagai pedoman dalam segala aspek dan gerak gerik kehidupan di dunia.

Paling tidak ada  empat  tugas utama  nabi diutus ke dunia: sebagai saksi; pembawa kabar gembira; pemberi peringatan;  sebagai pelita yang menerangi manusia kepada agama Allah. (QS.33:45-47).

Tugas-tugas itulah yang diperankan oleh Nabi selama masa kerasulannya sampai beliau meninggal dunia, saat ketika beliau telah selesai melaksanakan misi kerasulannya,  dipanggil kembali kepada Allah. Setalah itu, ulamalah yang ditunjuk oleh nabi untuk melanjutkan tugas-tugas tersebut sebagai pewaris. Nabi sendiri yang memberi amanah itu dalam sabdanya, “ulama adalah pewaris para nabi.” Atas dasar itu pulalah kita menyebut bahwa membicarakan ulama adalah membicarakan hal yang sangat substansial  bagi kehidupan manusia di dunia. Tanpa ulama, Risalah Allah akan terhenti hanya sampai nabi atau utusannya meninggal, sementara kehidupan terus berjalan tanpa henti sampai kiamat. Tanpa ulama, kehidupan akan berjalan sepenuhnya atas dasar kemauan dan fikiran bebas manusia, termasuk dalam memahami wahyu yang dibawa oleh Rasul, sebagai fikiran yang pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan individualistis atau primordialistis, dan sangat rawan dengan konflik yang akan membuat manusia jatuh kepada penderitaan.

Ulama dan negara

Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan kehidupan  bersama dalam kelompok, kecil atau besar. Baik di kelompok kecil, seperti desa, apalagi di kelompok besar, seperti negara, manusia memerlukan aturan aturan atau norma-norma yang harus ditaati  secara bersama pula.  Aturan itu diperlukan, karena,  setiap manusia punya kepentingan, dan setiap yang punya kepentingan ingin mendapatkan apa yang diinginkan untuk dirinya masin-masing. Oleh sebab itu, dalam kehidupan bersama akan terjadi kompetisi antara satu individu dengan individu yang lain.

Adalah hal yang alamiah, bila dalam berkompetisi, setiap orang ingin menang, dan setiap yang ingin menang akan melakukan apa aja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Di saat itulah mereka memerlukan perlindungan untuk melindungi diri dan hak-haknya dari segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi ketika sedang dalam berkompetisi tersebut. Perlindungan itu diatur dalam aturan main yang disebut sebagai hukum, atau norma-norma yang diakui dan ditaati bersama dalam sebuah komunitas berupa masyarakat atau negara . Aturan atau norma tersebut tidak akan berjalan dan dapat ditegakkan secara efektif bila tidak ada yang ditunjuk sebagai pemimpin dalam melaksanakan aturan itu sendiri. Ketika itulah  diperlukan adanya seorang pemimpin yang akan menjadi komando dalam melaksanakan semua aturan dimaksud. Pemimpin  di sebuah negara disebut sebagai kepala negara. Di tangan kepala negara itulah tergantung terlindungi atau tidak terlindunginya masing-masing orang yang ada di negaranya, dan di tangannya pulalah terletak baik atau buruknya negara yang bersangkutan.

Persoalan yang segera harus dijawab adalah, aturan atau hukum seperti apa yang dapat menjamin secara pasti terwujudnya keselamatan semua warga yang ada di suatu negara, selamat atau hancurnya  negara tersebut ?

Jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu hanya satu, yaitu hukum yang dibuat oleh Si pencipta manusia dan negara itu sendiri, yaitu Allah swt. Dialah Yang Maha Tahu tentang manusia, dan Dia juga Yang Mahu tentang dunia yang dihuni oleh mamnuisa. Karena Dia Yang Maha Tahu tentang itu, maka aturan yang dibuatnya pulalah yang lebih pasti dan lebih menjamin terpeliharanya seluruh kepentingan manusia atau ciptaanNya itu sendiri. Hal ini harus diyakini oleh semua manusia. Keraguan terhadapnya akan membuat terbukanya celah bagi masuh abadi manusia, iblis, masuk mengacaukan sistem aturanNya untuk menjadikan kehidupan manusia kacau dan rusak, lalu jatuh ke jurang kebinasaan.

Oleh karena aturan-aturan atau hukum Allah seperti disebut di atas yang dituangkanNya dalam kitab suci dan diturunkan kepada Nabi, sementara yang Nabi menjelaskannya melalui hadis, sudah berhenti turunnya sejak Nabi meninggal dunia, maka ulamalah yang menjadi penyampai dan “penerjemah” pesan-pesan tersebut kepada manusia, termasuk kepada kepala negara sebagai pemimpjn yang akan melaksanakan pesan-pesan wahyu tersebut. Di sini, ulama menjadi bagian yang sangat penting untuk tegaknya hukum dan selamatnya suatu negara dari bencana. Oleh sebab itu, ulama di suatu negara, harus menjadi komponen inti yang tidak boleh dipisahkan dari negara itu sendiri oleh siapa saja yang  menginginkan terwujudnya kesejahteraan manusia dalam arti yang sebenarnya. Sebagai pewaris Nabi, ulama akan menjadi pelanjut estafet risalah Nabi dalam menyampaikan kabar gembira, menyampaikan peringatan dan pembawa pelita untuk menerangi jalan bagi penguasa dalam mengantarkan rakyat kepada jalan Allah dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan juga di akhirat kelak.

Ulama dan penguasa.

Sama halnya dengan pembicaraan kita tentang  ulama dan negara seperti di atas, maka pembicaraan tentang ulama dan penguasa perlu dijadikan pembicaraan penting berikut seperti pentingnya kita bicara antara ulama dan negara. Karena, seperti disebutkan, sebuah negara tidak akan ada bila di sana tidak ada pemimpin yang diberi kuasa untuk memimpin dan menegakkan hukum di negara itu. Bedanya, bila ulama dan negara harus menyatu, sehingga ia mampu merasakan setiap denyut nadi yang terjadi dan dirasakan oleh negara, maka ulama tidak boleh terlalu menyatu dengan penguasa dan kekuasaannya. Karena, penguasa atau kepala negara, adalah pemegang tampuk pemerintahan yang pada intinya adalah kekuasaan politik. Jabatan kepala negara setelah nabi dan rasul tidak ada lagi menjadi pemimpin manusia secara langsung, adalah jabatan politis yang sangat sarat dengan kepentingan. Seorang yang sedang berada di tampuk kekuasaan, pada umumnya adalah orang yang sedang berada di lingkaran banyak kepentingan yang bergantung kepada dirinya, baik kepentingan dirinya sendiri, maupun kepentingan keluarga dan kelompokmnya. Maka, sama halnya dengan manusia sebagai individu seperti kita bicarakan di atas, semua orang yang punya kepentingan akan sangat rawan untuk melakukan perbuatan ada saja demi mencapai apa yang diinginkannya dalam kepentingan tersenut. Semua potensi yang ada di dekatnya akan digunakan untuk mendukung keoentingan itu, termasuk ulama, bila pihak yang disebut terakhir ini berada terlalu dekat dengannya. Maka untuk ini, ulama perlu menjaga jarak, agar keberadaannya tidak sampai membuat penguasa menjadikannya sebagai alat untuk kekuasaan itu sendiri. Oleh sebab itu, ulama yang sebenarnya akan menempatkan diri pada posisi yang tidak terlalu dekat dan tidak pula  terlalu dengan penguasa. Posisi yang terlalu dekat membuat sang ulama rawan akan tarikan magnet kakuasaan yang begitu kuat, sehingga melemahkan kekuatannya untuk menyampaikan kebenaran secara jujur dalam memberi nasihat kepada penguasa. Di sadari atau tidak, ulama dalam posisi ini akan terbawa derasnya arus kekuasaan, lalu masuk dan tengelam dalam pusaran kekuasaan itu sendiri. Ia seakan telah menyatu dengan penguasa, lalu akhirnya menjadi alat buat kekuasaan sang penguasa. Bukan nasihatnya yang lagi diperlukan, tetapi fatwanya untuk mendukung kekuasaan yang dipaksakan. Ia berubah dari penasihat menjadi pembela kekuasaan, walau tidak lagi sejalan dengan keyakinan keilmuan yang dimilikinya. Dia tidak lagi mempengaruhi, tetapi justru akan dipengaruhi oleh kekuasaan untuk mengikuti apa saja yang diingini penguasa. Ilmu dan dalil-dalil agama yang seharusnya disampaikan apa adanya kepada penguasa dan rakyat negara, direkayasa sedemikian rupa menjadi dalil untuk membenarkan kebijakan-kebijakan politik penguasa, walau bertentangan dengan jiwa atau roh dari dalil yang sebenarnya. Ulama seperti inilah yang disebut oleh Imam al-Ghaali sebagai ulama su’, yaitu ulama yang telah menjadi penurut kepada kemauman penguasa.

Begitupun sebaliknya. Bila ulama berada pada posisi yang terlalu jarak dengan penguasa,  maka dakwah atau nasehat yang harus disampaikannya kepada penguasa menjadi sesuatu yang sulit atau bahkan tidak bisa samasekali, sehingga berjalanlah kekuasaan tanpa ada yang menjaga dan menasehatinya dengan nasihat-nasihat yang bersumber kepada wahyu Allah.  Oleh sebab itu, bila suatu bangsa ingin masyarakatnya aman dan sejahtera, tidak hanya ulama yang harus konsisten berada pada posisinya, tetapi rakyat dan  bahkan juga penguasapun perlu membuat ulama tetap berada pada posisinyta itu. Penguasa tidak boleh menarik ulama masuk ke dalam dekapan kekuasaannya sehingga “sulit bernafas” menghembuskan hawa kebenaran dan pesan-pesan Tuhan, tetapi tidak juga boleh membiarkan ulama berada jauh dari pusat kekusaan, sehingga rawan diadu domba oleh orang-orang yang menginginkan negara kacau untuk memberi peluang kepada mereka “menangguk di air keruh.” Ulama dibuat curigi kepada penguasa, dan penguasapun mencurigai ulama. Ulama dan penguasa harus saling menghormati, lalu bersinergi secara posiitif, untuk menghasilkan produk-produk kebijakan yang menyejahterakan bangsa dan negara dalam arti yang seluas-luasnya. Ulama bertugas menjaga kepala negara agar tidak salah dalam menentukan kebijakan. Tugas itu adalah kewajiban yang mesti dilakukan sebagaimana tugasnya makmum mengingatkan imam yang tersalah dalam memimpin shalat berjamaah. Ulama wajib menegur imam yang salah, diminta atau tidak diminta.  Ulama juga harus siap menerima risiko bila imam tidak mengindahkan tegurannya, atau bahkan menerima murka sekalipun bila yang diberiteguran merasa tersinggung dengan teguran itu.  Itulah risiko seorang ulama, tetapi di situ pulalah martabat seorang ulama di sisi Allah dan di sisi manusia.  Itulah ulama sesungguhnya ulama, dan itu pulalah ulama yang disebut sebagai pewaris nabi.

Sebaliknya, pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin, adalah pemimpin yang memposisikan ulama sebagai penasihat, dan menghormatinya sebagai orang berilmu yang ilmunya diperlukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan kekuasaan yang sedang dipegangnya.  Oleh sebab itu, pemimpin yang benar akan menjaga ulama dari segala kemungkinan yang akan merusak keilmuan dan keulamaannya. Seandainya pun ia memberi suatu pemberian atau hadiah hadiah untuk ulama, tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi, tetapi sebagai wujud penghargaan dan penghormatan agar sang ulama senantiasa teguh dan kuat menggali ilmu dan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam wahyu dan sunnah Nabi untuk digunakan buat kepentingan rakyat banyak.  Ulama akan mengawasi penguasa dari tersalah, dan penguasa akan mengapresiasi ulama agar tidak jemu memberi nasihat. Ulama akan menguatkan penguasa dengan nasihatnya, maka penguasa akan menguatkan ulama dengan penghargaan dan penghormatan untuk untuk kepentingan rakyat. Maka, jadilah negara yang baik, negara dimana ulama dan penguasanya saling berinergi dalam kebaikan dan kebenaran, bukan saling mempengaruhi atas nama kepentingan.

Memang, tidak mudah menjadi ulama ketika berhadapan dengan penguasa.  Imam al Ghazali, seperti diungkap oleh Sa’id Hawwa, dalam bukunya, al-Mustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus,  memberi resep agar ulama berlemah lembut kepada penguasa seperti kita berlemah lembut kepada bayi. Lemah lembut kepada bayi berarti kita bersiap diri menghadapi kemungkinan berubahnya sikap sang penguasa secara tiba-tiba, seperti berubahnya sikap bayi tanpa diduga. Memberikan nasihat kepada penguasa tentulah tidak sama dengan memberi nasihat kepada orang yang bukan penguasa. Penguasa adalah orang yang berada di atas tangga kekuasaan. Ia bisa lakukan apa saja yang ia mau atas nama kekuasaan. Sifat bijak dan lemah lembut penuh kasih dan sayang adalah sikap yang tepat  digunakan untuk mengingatkan penguasa. Karena, kekuasaan identik dengan kebesaran, dan kebesaran yang dimiliki oleh seorang penguasa sangat rawan untuk menjadikannya merasa besar dan bahkan berlaku sombong di hadapan orang lain yang tidak punya kekuasaan. Pada kondisi seperti inilah peringatan Allah dalam surat Ali Imran ayat 159 perlu diamalkan., “maka dengan raahmat Allah, hendaklah kamu berlemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka manjauhkan diri darimu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohon ampunkanlah mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan. Kemudian, bila tekadmu sudah bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Perlu diingat, bahwa kelembutan ulama kepada penguasa, langsung atau tidak langsung, adalah dakwah ulama kepada penguasa agar kelembutan itu perlu ditanam dalam diri si penguasa dan menjadi hiasan bagi gerak gerik dan kebijakan-kebijakannya dalam memimpin negara. Setiap tindakan dan kebijakan didasari oleh kesantuan, sehingga rakyat yang terkena kebijakan akan menerimanya dengan kesantunan pula, karena hati mereka telah tersentuh oleh kesantunan pemimpinnya. Sikap seperti ini, sebagaimana disebut oleh Nabi dalam sebuah hadisnya, akan melahirkan perasaan saling cinta antara rakyat dan pemimpim, sebagai syarat utama wujudnya sebuah negara yang baik. Sebaliknya,  bila ulama bersikap keras dan kasar, maka “rasa berkuasa” yang ada dalam diri si penguasa akan muncul dan berubah menjadi keras dan kasar pula melebihi apa yang diterimanya dari ulama. Bila ini yang terjadi, penguasa akan mengambil jarak dan bahkan akan menjauhi ulama. Lalu,  jauh pulalah nasihat dari penguasa. Ketika itu, ruang kosong, space, di sekitar penguasa akan terbentuk dan memberi peluang kepada pihak lain untuk masuk dengan mudah menjadi orang dekat dengan penguasa. Adalah hal yang baik bila yang masuk itu adalah orang baik pula, tetapi akan menjadi terbalik bila yang masuk itu orang-orang jahat yang sedang mencari kesempatan untuk dekat dengan penguasa. Dan, bila hal yang disebut terakhir ini yang terjadi, maka rusaklah penguasa dengan kekuasaannya, dan akan rusak dan sengsara jugalah rakyat yang berada dalam naungan kekuasaan itu sendiri.

Maka, ulama dan penguasa harus saling menjaga. Ulama menjaga penguasa agar politik kekuasaan yang dipegang oleh penguasa tetap berada di jalur moral dan akhlak mulia. Penguasa menjaga ulama dengan membentenginya dari tangan-tangan pelaku politik yang rusak akhlaknya. Sebagai pewaris nabi, ulama adalah tempat bertanya dan penunjuk jalan kebenaran. Merusak ulama berati merusak jalan yang akan menjadi penunjuk kebenaran yang akan berakibat kepada kerusakan.  Sebagai pewaris nabi, ulama bukan kendaraan kepentingan. Ia adalah penasihat kekuasaan, bukan alat kekuasaan. Maka, jagalah ulama, dan jangan rusak mereka dengan godaan kekuasaan. Menjaga ulama agar tetap dalam alam keulamanya, sama artinya menjaga pemimpin agar tidak keluar  dari ranah kebaikannya. Membuat ulama keluar dari jalur konsistensi dan kejujuran ilmunya, sama artinya merusak penguasa yang akhirnya membuat kerusakan untuk rakyatnya. Imam al-Ghazali berkata, “Rusak rakyat karena rusaknya penguasa. Rusak penguasa karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama karena lemahnya ia dari godaan harta dan tahta.” Kata al-Ghazali, “harta dan tahta adalah cita-cita dunia. Barang siapa dikuasai oleh cita-cita dunia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil. “  Dengan ucapan ini, seakan al-Ghazali berkata bahwa orang yang dikuasi oleh cita-cita dunia adalah orang lemah. Orang lemah tentu tidak akan mampu mengurus rakyat kecil yang lemah. Mengurus orang lemah memerlukan pengorbanan, sementara orang yang mencintai dunia tidak akan mau berkorban untuk orang yang tidak akan memberi keuntungan kepadanya secara dunia.

Kesimpulannya, ulama tidak boleh merusak penguasa dengan menyalahkan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya tanpa menunjukkan di mana salah dan apa solusinya. Sebaliknya, penguasa juga tidak boleh merusak ulama dengan memberi fasilitas-fasilitas duniawi dengan maksud membuat ulama berhutang budi kepadanya, melainkan untuk membantu agar ulama bisa eksis mendalami agama sebagai ilmu yang akan digunakan buat membimbing penguasa dan negara kepada kebenaran. Allah, A’lam bi al-shawab.

Oleh : Alaiddin Koto

 

 

 

 

Translate »