Bahagia dalam keluarga kadangkala  abu-abu (kelabu). Dari luar terlihat cukup, tetapi di dalam justeru was-was. Orang boleh mengatakan: di atas langit ada langit. Tapi, di atas gunung bukan ada gunung. Melainkan, jurang.

Hidup berumah tangga memang unik. Satu tambah satu yang selalu dua dalam rumus matematik, tidak begitu di keluarga. Terutama soal cinta suami isteri.

Orang luar boleh saja menilai tentang kebahagiaan seorang isteri terhadap kelebihan suami dan keluarganya. Betapa tidak; suami kacak, penghasilan lebih dari cukup, rumah bagus, kenderaan dua. Apalagi? Wajar kalau ada yang iri hati dengan penampilan luar begitu. Kerana hampir semua wanita pasti ingin seperti itu.

Tapi bagaimana kalau di sebalik kebahagiaan itu ada was-was. Kamu tahu? Soalnya, bukan rahsia lagi kalau setelah ada cukup, pasti ada kurang. Ertinya, kelebihan buat isteri kadangkala boleh menjadi kekurangan buat suami. Isteri boleh bahagia dengan kelebihan yang ada, tapi suami justeru jadi merasa kurang ‘cabaran’. Cabaran?

Ada banyak cara yang mungkin dilakukan suami mencari cabaran baru. Di antaranya, membangun rumah baharu, menyekolahkan anak keluar negeri, dan ada satu yang biasa dikhuatirkan seorang isteri: kahwin lagi. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Bu Wiwin.

Ibu tiga anak ini memang patut bersyukur. Jarang muslimah yang boleh hidup sebahagia Bu Wiwin. Punya rumah bagus, kenderaan lebih dari satu, serta suami yang sholeh dan kacak. Ke mana pun Bu Wiwin pergi, selalu menerima pujian dan dihormati. Tidak hairan, jika Bu Wiwin selalu senyum tiap kali bertemu orang. Sapaan dibalas dengan senyuman. Dan senyuman dibalas dengan senyuman yang lebih manis lagi. Indahnya!

Begitukah sebenarnya perasaan Bu Wiwin? Ini memang menarik. Tidak seorang pun boleh menduga kalau Bu Wiwin sebenarnya gelisah. Ia tidak menafikan nikmat Allah SWT yang begitu banyak. Tetapi, ada perasaan gundah ketika melihat kecukupan itu.

Entah kenapa Bu Wiwin punya perasaan lain kalau ada temannya bertanya soal suaminya. Dalam hal apa pun: pekerjaan, kegemaran, dan lain-lain. Terlebih ketika yang bertanya belum dan atau tidak lagi bersuami. Wah, boleh tidak tidur tiga malam.

“Memangnya Bu Wiwin kenapa?” tanya seorang teman ketika kegelisahan tidak lagi boleh disembunyikan. Tidak satu pun kata terucap dari Bu Wiwin kecuali untaian senyum.

Sepertinya, Bu Wiwin tidak ingin seorang pun tahu apa masalahnya. Soalnya, ia sendiri bingung ingin nyatakan apa kalau was-wasnya terungkap. Apa yang kurang dari suami Bu Wiwin. Tampan  oke, kocek tebal, akhlak tertinggi. Semua syarat nyaris terpenuhi. Cuma satu yang masih tersangkut kalau dugaan Bu Wiwin tentang suaminya itu benar: ketidaksetujuannya. Dan itu justeru menjatuhkan dirinya sendiri.

Aduh, Bu Wiwin benar-benar bingung. Gelisah. Terlebih akhir-akhir ini. Ia menangkap ketidakwajaran suami tercintanya. Entah kenapa, Bu Wiwin merasakan kalau suaminya terlihat sering gementar . Kalau sendirian, suaminya seperti membayangkan sesuatu. Dan, kemudian senyum sendiri. Gila?

Astaghfirullah!” ucap Bu Wiwin dalam hati. Tidak mungkin suaminya sakit jiwa. Justeru, suaminyalah yang dikenal masyarakat sebagai doktor jiwa. Orang-orang yang gelisah akan menemukan mata air ketenangan saat mendengar nasihat suami Bu Wiwin. Lembut, tetapi berbobot (berbaloi).

Bu Wiwin khuatir, bayang-bayang yang dianggapnya hitam selama ini terwujud. Ia bukan tidak setuju. Tetapi benar-benar tidak kuat kalau suaminya nikah lagi. Berat!

Ia sudah memikirkan alasan kenapa muslimah lebih cepat bersedia menjadi isteri kedua daripada isteri pertama. Alasannya sederhana, tetapi agak berfalsafah. Kalau isteri kedua, dari tidak ada menjadi ada. Tapi buat yang pertama, dari ada menjadi berkurang. Beza kan!

Dan suatu malam, kekhuatirannya kian menjadi. Ketika itu, Bu Wiwin mendapati suaminya menyebut-nyebut nama seorang wanita dalam keadaan tidur. “Mutia! Mutia! Mutia!” Saat itu juga ia terperanjat bukan main. Diingatnya nama itu kuat-kuat. Biarlah hafalannya berkurang asal nama itu tidak menghilang.

Namun, peristiwa itu tetap menjadi rahsia dan misteri. Rahsia kerena tidak seorang pun yang ia ceritakan. Dan misteri, kerana Bu Wiwin belum pernah dengar nama itu kecuali dari mulut suaminya.

“Siapa Mutia?” Bu Wiwin jadi penasaran. Rasa-rasanya, tidak ada nama akhwat (sebutan wanita secara umum) di daerah tempat tinggalnya. Begitu pun di pejabat tempat suaminya bekerja. Apa itu cuma mimpi? Dan penasaran Bu Wiwin kian menjadi ketika di malam yang lain, nama itu kembali disebut-sebut suami.

Bu Wiwin kian yakin kalau suaminya sedang jatuh cinta. Keyakinan itu menjadikan fikiran Bu Wiwin tak boleh konsen (fokus). Hatinya gundah. Sesekali ia menangis. Perlahan tetapi pasti, suara hatinya seperti berujar, “Terimalah kenyataan ini, Win!” Dan tangisnya pun kian menjadi.

Hanya ada satu cara untuk boleh mempastikan: keterbukaan. Bu Wiwin sudah membayangkan apa yang akan diucapkan orang tua, kakak, adik, teman, dan tetangganya. Tapi, kenyataan tetap kenyataan. Ia harus mendengar langsung dari suaminya.

“Ayah sedang jatuh cinta?” tanya Bu Wiwin langsung kepada suaminya. Walau berat, ia harus dapat kepastian. Yang ditanya tersenyum. “Apa kamu siap menerimanya?” tanya sang suami lebih terbuka. Bu Wiwin mulai menangis. “Silakan ayah ucapkan!” ucapnya sambil terisak.

“Isteriku. Kalau kamu tidak keberatan, aku akan mengangkat anak yatim Aceh sebagai anak kita. Namanya Mutia!” ucap suami Bu Wiwin tenang. “Kamu bersedia?” tanya suaminya seraya menatap sang isteri agak kehairanan.

Sumber: https://www.eramuslim.com/

Translate »