Setidak-tidaknya enam orang, termasuk mantan juru cakap parti sayap kanan yang memerintah India, ditahan polis atas slogan anti-Muslim yang dilontarkan dalam demonstrasi di ibu kota, lapor Al Jazeera.

Sebuah demonstrasi, yang diselenggarakan pada hari Ahad (08/08/2021) oleh bekas pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) dan pengacara Mahkamah Agung, Ashwini Upadhyay, untuk menuntut “pemansuhan undang-undang era kolonial India” berubah menjadi demonstrasi anti-Muslim.

Massa lebih dari 100 orang menyerukan kekerasan terhadap komuniti minoriti di Jantar Mantar, sebuah observatorium era Mughal yang merupakan tempat protes popular.

Video yang konon dari acara tersebut menunjukkan massa yang mengatakan Muslim adalah “babi” dan menyerukan “pembantaian massal” minoriti, yang merupakan sekitar 14 peratus dari 1,35 bilion penduduk India.

Di antara slogan-slogan anti-muslim yang diangkat pada demonstrasi tersebut adalah “Jab mulle kaate jayenge, wo Ram Ram chillayenge” (Ketika umat Islam akan dibunuh, mereka akan menyebut nama Lord Ram) dan “Hindustan mein rahna hoga, to Jai Shri Ram kahna hoga” (Jika Anda ingin tinggal di India, Anda harus mengucapkan Salam Lord Rama).

Rama adalah salah satu dewa yang paling dihormati dalam agama Hindu. Sebuah gerakan yang dipimpin BJP untuk menghancurkan sebuah masjid abad ke-16 di kota utara Ayodhya yang, menurut kelompok Hindu, berdiri di lokasi tempat kelahiran Rama, melambungkan partai tersebut ke posisi penting politik pada 1980-an. Masjid dihancurkan pada tahun 1992 dan Modi tahun lalu meletakkan batu asas dari sebuah kuil yang sedang dibangun di sana.

Malam Isnin lalu, Upadhyay dan empat lainnya “ditahan untuk disiasat”, menurut juru cakap polis Delhi. Orang keenam ditahan pada Selasa (10/08/2021). Polis awalnya mengajukan tuntutan terhadap “orang tak dikenal” di balik acara tersebut.

Demonstrasi itu, yang diadakan di tengah ibu kota India dan hanya berjarak satu kilometer (setengah batu) dari gedung parlimen India, telah mengejutkan warga Muslim New Delhi, yang masih ketakutan kerana kerusuhan mematikan yang disaksikan kota itu tahun lalu.

Pada Februari tahun lalu, setidak-tidaknya 53 orang, kebanyakan dari mereka Muslim, tewas dalam keganasan agama terburuk di ibu kota dalam lebih dari 30 tahun.

Rusuhan berlaku selama protes nasional terhadap undang-undang kontroversi  yang disahkan oleh pemerintah, Perdana Menteri Narendra Modi pada 2019, yang memberikan kewarganegaraan India kepada minoriti non-Muslim dari negara tetangga Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan.

Para pengkritik mengatakan undang-undang itu melanggar konstitusi sekuler India dengan mendiskriminasi Muslim.

Muslim New Delhi dalam Ketakutan

Muslim India di ibu kota mengatakan ada ketakutan yang meningkat di dalam masyarakat kerana “kekebalan hukum yang dinikmati oleh kekuatan supremasi Hindu” di negara itu.

“Ini terjadi atas perintah RSS yang ingin menciptakan suasana ketakutan dan kebencian abadi terhadap Muslim,” Mohammad Nasir, 34, mengatakan kepada al-Jazeera, merujuk pada Rashtriya Swayamsevak Sangh, sumber ideologis BJP.

RSS dibentuk pada tahun 1925, terinspirasi oleh partai Nazi Jerman, untuk menciptakan negara etnik Hindu di India.

“Ini sekarang hampir seperti kejadian sehari-hari,” kata Nasir, yang kehilangan mata dalam serangan oleh massa Hindu selama kekerasan tahun lalu.

Sahil Pervez, 26, yang kehilangan ayahnya dalam keganasan tahun 2020, mengatakan insiden seperti yang diadakan di Jantar Mantar memiliki “pengaruh psikologi yang besar” pada dirinya dan keluarganya.

“Kami tetap khauatir tentang keselamatan keluarga kami. Kami takut sesuatu yang lebih buruk terjadi dengan kami. Situasi belum pulih sejak keganasan Delhi, itu semakin memburuk. Bagaimana lagi mereka berani mengangkat slogan-slogan provokatif seperti itu?” katanya kepada al-Jazeera.

Shipra Srivastava, ketua media di Gerakan Bersatu India Upadhyay, yang katanya bertujuan untuk mengganti hukum kolonial India dengan “hukum adat”, mengatakan kepada al-Jazeera bahawa kelompok itu tidak memiliki agenda keagamaan.

“Beberapa orang cuba memberikan warna perkauman, tetapi kami memisahkan diri darinya,” katanya.

Kontroversi Rumah Haji

Pada hari Jumaat (06/08/2021), dua hari sebelum acara Jantar Mantar, warga dan kelompok Hindu di lingkungan Dwarka New Delhi mengadakan “Mahapanchayat” (Dewan Agung) untuk menolak pembangunan Rumah Haji.

Bangunan yang ditaja pemerintah dimaksudkan untuk menampung Muslim India sebelum keberangkatan mereka pada ziarah tahunan ke kota suci Islam Mekah.

Penentang rencana pada pertemuan tersebut mengatakan pembangunan Rumah Haji akan mengganggu “persaudaraan, harmoni dan perdamaian” lingkungan dan akan memaksa umat Hindu untuk bermigrasi dengan menciptakan “situasi seperti Shaheen Bagh, Jafrabad dan Kashmir”.

Shaheen Bagh, daerah kantong majoriti Muslim di pinggiran New Delhi, adalah pusat protes undang-undang anti-kewarganegaraan tahun lalu, yang dipimpin terutama oleh perempuan di lingkungan itu.

Jafrabad di timur laut Delhi, daerah lain dengan penduduk Muslim yang besar, menyaksikan beberapa keganasan terburuk dalam rusuhan agama tahun lalu.

Dalam pertemuan Dwarka juga, slogan-slogan provokatif dilontarkan terhadap Muslim, dengan beberapa pembicara bahkan menyerukan pembunuhan massal.

Federasi Semua Penduduk Dwarka (ADRF), badan yang mempelopori protes, mendesak pemerintah Delhi untuk membatalkan alokasi tanah untuk Rumah Haji demi “kepentingan nasional”.

Ajit Swami, presiden ADRF, mengatakan kepada al-Jazeera bahawa pembangunan Rumah Haji akan menciptakan “ketidaknyamanan bagi penduduk setempat” dan “setiap insiden yang tidak diinginkan dapat menyebabkan keganasan”.

“Di wilayah kami, hanya ada sedikit Muslim. Sekarang ketika umat Islam pergi haji, satu orang ditemani oleh ratusan orang lainnya. Ini akan membuat ketidaknyamanan bagi masyarakat setempat,” katanya.

“Juga, ketika mereka (Muslim) akan datang, mereka akan makan biryani dan ayam, yang akan menyebabkan bau busuk dan wabak penyakit. Dalam skenario seperti itu, kami akan dipaksa untuk bermigrasi.”

Swami mengatakan itu “bukan masalah komunal tetapi diubah menjadi satu”.

Ketika ditanya tentang anggota kelompok sayap kanan yang menghadiri pertemuannya, dia berkata: “Kami tidak memanggil siapa pun untuk protes. Beberapa anggota BJP datang sendiri-sendiri. Kami tidak boleh menghentikan siapa pun.”

Polis di ibu kota India, yang dikendalikan oleh kementerian dalam negeri federal, telah dituduh oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia terlibat dalam kekerasan tahun lalu.

Ujaran Kebencian sedang ‘Dinormalisasi’

Muslim di kota itu mengatakan ujaran kebencian dan slogan-slogan provokatif terhadap mereka sedang “dinormalisasi” kerana “tidak ada niat nyata” oleh pihak berwenang untuk menghukum para pelakunya.

Aktivis Asif Mujtaba mengatakan kepada al-Jazeera bahawa “kemudahan dan frekuensi” pertemuan semacam itu menunjukkan bahawa penyelenggara mereka “bersekongkol” dengan negara bahagian India.

Parti-parti pembangkang mengatakan kekerasan dan kebencian terhadap Muslim bukanlah “fenomena pinggiran” dan sedang “secara aktif dipromosikan” oleh Modi dan penyokongnya yang paling tepercaya, Menteri Dalam Negeri,  Amit Shah.

Ini bukan insiden yang terjadi dalam isolasi. Kami telah melihat individu-individu yang terkait dengan partai yang berkuasa tidak hanya membuat ucapann kebencian dan komentar anti-Muslim tetapi juga menggunakan kekerasan terhadap komuniti Muslim yang terpinggirkan,” Kavita Krishnan dari Partai Komunis India (Marxis-Leninis) mengatakan kepada al-Jazeera.

Sumber: https://www.hidayatullah.com/

Translate »