Kuntowijoyo pernah berkata, “Kenapa dunia moden menjadi tanah gersang yang kehilangan makna?”

Lahir di tahun 1999 merupakan suatu kenyataan bahawa saya dilahirkan dalam peradaban yang sudah maju, internet sudah mulai dikembangkan. Kemudian tumbuh dan berkembang dalam paparan teknologi informasi yang cukup tinggi.

Dan sekarang, ketika sudah dewasa, boleh menyaksikan sendiri anak berusia tiga tahun sudah pandai memegang gawai (gajet), atau setidaknya merengek meminta dipinjamkan.

Kenyataan tersebut terkadang membuat saya getir. Karena terfikir oleh diri saya untuk lebih memilih hidup di zaman lampau yang klasik dan tradisional, ketika semua bentuk interaksi tidak terlalu bergumul dalam teknologi. Terbayang sangat indah apabila saat ini, di zaman sekarang saya sudah menjadi kakek (datuk atau nenek) tua yang tinggal menunggu ajal.

Kehidupan moden bagi saya sangat menyesakkan. Menjemukan. Membuat setiap orang hanya sibuk dengan gawainya tanpa peduli siapa yang sedang berada di sampingnya. Melahirkan peribadi-peribadi yang terbuka terhadap informasi tetapi miskin adab. Mencipta tatanan (lingkungan) sosial yang penuh dengan kejahatan dan kekacauan.

Maka, saya bertanya, apakah keindahan yang ditawarkan dari kehidupan moden?

Kalau hari ini makin banyak orang yang stress (tertekan), gila, kerena merasa sepi dan sendiri, itu sesuatu yang wajar. Kita tidak menafikan bahawa esensi (keperluan) dari hidup di masyarakat dan kebudayaan moden adalah kita sendiri dan terasing, hanya seorang individu yang sangat individual, walau bahagian dari sosial.

Kehidupan moden membuat semua orang terkesan sangat sibuk. Teknologi informasi dan komunikasi yang terangkum dalam internet dan media sosial yang tujuan awalnya adalah memudahkan komunikasi, lebih jauhnya malah menjadikan manusia menyepelekan waktu, kualitas pertemuan, dan kurang menghargai sesama.

Kerena merasa leluasa berkat adanya gawai, boleh terhubung dengan banyak orang dalam waktu yang bersamaan, sehingga tak jarang malah menjadi jauh lebih sibuk dan keteteran memanajemen waktu dan diri. Buahnya adalah ketidakefektifan dalam bekerja.

Benar apabila dikatakan media sosial membuat yang dekat menjadi jauh, yang jauh menjadi dekat. Yang ada di samping tidak diindahkan, yang ada di layar sangat diperhatikan.

Yang di layar pun sebenarnya tidak menjamin kepenuhan batin dan fikiran, kerana hakikatnya memang jauh secara fisik. Justeru tetap membuat hati kosong. Menghubungi orang yang jauh melalui gawai adalah hanya satu cara menunda perasaan terasing dan sepi. Sisanya, selanjutnya tetap kembali terasing dan kesepian.

Konsep atau fenomena hidup dalam keterasingan sudah sejak lama diprediksi oleh para pemikir cum filsuf seperti Hegel, Ludwig Feuerbach, hingga Karl Marx. Dan tak lupa, dikaji juga oleh Erich Fromm, seorang psikolog psikoanalisis. Walau motif setiap filsuf itu berbeza-beza dalam merumuskan keterasingan hidup, apabila merujuk secara khusus menyasar pada fenomena kehidupan moden ini, tepat kalau berpijak pada pemikirannya Karl Marx dan Erich Fromm.

Istilah keterasingan itu adalah alienasi. Suatu keadaan di mana seorang individu yang hakikatnya menjadi bahagian dari kehidupan komunal merasa terasing, sendiri, sepi, dan sunyi. Ia beraktiviti hanya menjalankan rutinitas keseharian tanpa mempertanyakan dan tahu makna dari yang dikerjakan.

Ia hanya menjadi budak atas keinginan dan standard masyarakat, lebih jauh lagi menjadi sesuatu yang amat kecil dalam bahagian yang sangat besar: korporasi, mesin-mesin, modal atau kapital.

Secara khusus, Karl Marx dan Erich Fromm menunjuk kehidupan kapitalisme dan segala bentuk implikasinya terhadap kehidupan sosial merupakan penyebab dari adanya alienasi. Individu merasa terasing karena peranannya dalam masyarakat sangat sedikit. Ia digerakkan oleh naluriah akan kebutuhan primer, sehingga tunduk dan takluk pada genggaman para kapitalis.

Fenomena alienasi hidup dan tumbuh subur di kehidupan modern kekinian. Semua orang menatap layar gawai hampir setiap waktu ketika matanya terbuka. Keterasingan dan merasa sepi itu makin menjadi-jadi tatkala melihat orang lain mengunggah keindahan hidupnya dalam beragam rupa kemewahan dan kebahagiaan.

Padahal, itu semua semu (sementara). Mereka memanipulasi pesona yang dicitrakan kepada publik. Memperdaya diri sendiri dengan menampilkan yang keren-keren saja.

Kalau ada orang mengamuk-ngamuk di Twitter, bertengkar di Instagram, lalu curhat (curahan hati) panjang kali lebar di Line, itu semua bentuk alienasi. Merasa terasing dan sendiri, sehingga satu-satunya teman sejati yang pantas dijadikan sandaran untuk bercerita dan berkeluh kesah adalah media sosial.

Kesihatan Mental

Hari ini, hampir semua orang dan media ramai membicarakan kesihatan mental sebagai sebuah diskursus (wacana). Sampai para musisi (pemuzik) pun turut meramaikan khazanah kesihatan mental dengan membuat lagu yang bertujuan diperdengarkan kepada publik untuk self-healing.

Gerakan-gerakan kesihatan mental berdiri di mana-mana, baik oleh mereka yang bergelut secara akademik dan praktis dengan ilmu psikologi ataupun yang minat dan merasa penting melakukan hal itu. Mereka menyediakan layanan terbuka untuk orang-orang yang ingin mencurahkan emosinya. Membuat seminar dan kempene tentang kesihatan mental adalah kerja mereka.

Gerakan atau komuniti kesihatan mental itu lahir demi menjawab kebutuhan orang-orang yang stres, frustrasi (kecewa), mungkin menjelang bahkan sampai gila. Dengan kata lain, bergerak untuk menyelamatkan nyawa orang lain dengan terlebih dahulu membuat aman dan nyaman kondisi psikologisnya.

Kenapa orang stres menjamur saat ini, juga isu kesihatan mental menjadi sangat seksi dan asyik untuk dibahas adalah konsekuensi logis atau buah dari alineasi dan kehidupan masyarakat moden. Merasa terasing, sendiri, sepi, kemudian tumbang dalam lamunan.

Kehidupan moden, alienasi, dan kesihatan mental ibarat rantai yang saling berkaitan dan bertanggungjawab satu sama lain. Kehidupan moden menghasilkan alienasi. Alienasi membuahkan kegilaan dan kebutuhan akan kesihatan mental meningkat.

Mungkin, ketika saya berimajinasi menjadi sebahagian masyarakat lampau yang hidup dalam masa tradisional itu merupakan keinginan semu semacam dambaan terhadap kehidupan yang indah dan ideal. Dan jangan lupa, kerana keinginan itu bererti keengganan hidup di masa kini, mungkin juga saya sudah termasuk kepada orang-orang yang butuh mendapatkan treatment self-healing.

Sekali lagi, alangkah indah sepertinya hidup di masa lampau, ya?

 

Sumber: Akbar Malik, https://www.qureta.com/

Translate »