ADA dua macam nikmat, yakni nikmat muqayyadah dan nikmat muthlaqah. Nikmat muqayyadah adalah segala nikmat yang dapat membawa manusia kepada kebaikan, dapat pula membawa manusia kepada keburukan. Kesihatan, kebugaran (kesegaran), harta, kecerdasan, waktu luang (lapang), keahlian (meskipun dalam bidang agama) adalah sebahagian di antara contoh nikmat muqayyadah. Di saat sihat orang boleh sungguh-sungguh taat terhadap syari’at, tetapi sihat juga dapat menggelincirkan manusia kepada maksiat maupun perilaku terlaknat. Maka sihat bukanlah nikmat yang memastikan kebaikan.
Betapa banyak yang di saat sakit justeru sangat dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ia memurnikan tauhid dan tidak berpengharapan selain hanya kepada Allah SWT, tetapi begitu sembuh lain lagi ceritanya. Itu sebabnya ketika sakit, saya sering mengingatkan agar orang yang mendo’akan sembuh tidak sekedar sembuh, melainkan sembuh yang penuh barakah. Apalagi jika yang datang bukannya mendo’akan, melainkan mengajari takabbur kepada Allah, “Semangat, Pak. Bapak pasti kuat melawan sakit ini.”
Tidak. Sakit itu bukan pertarungan antara kita dengan kondisi sakit. Takabbur orang yang mengatakan bahawa mental yang kuat akan menjadikan kita sebagai pemenang melawan penyakit. Ia bergantung kepada diri sendiri, sedangkan Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk berdo’a agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri walaupun hanya sekejap mata. Kita hanya bergantung kepada Allah Ash-Shamad; Dzat yang hanya Dia saja tempat bergantung.
Lalu apa itu nikmat muthlaqah? Nikmat yang mengantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan akhirat, yakni Al-Islam yang kita semua dilahirkan dalam keadaan di atas al-Islam. Tugas kita menjaganya dan tidak mengotori dengan maksiat, syirik mahupun kezaliman.
Setiap nikmat muqayyadah adalah ujian. Begitu pula tetapnya, berkurangnya mahupun bertambahnya juga merupakan ujian. Sesiapa yang lulus dalam ujian itu, maka ia termasuk orang-orang yang bersyukur, yakni orang yang tetap memuji Allah Ta’ala dengan sebenar-benar pujian dalam segala keadaan, menegakkan imannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya, mengikrarkan syukurnya kepada manusia dan menggunakan nikmat itu untuk mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla.
Seorang mukmin yang lulus ketika diberi ujian sakit bukanlah mereka yang sembuh dengan sempurna, tetapi mereka yang tetap bertawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berusaha dan menegakkan tauhid dalam segala keadaan. Sakit itu bukanlah pertarungan melawan penyakit. Bukan. Tetapi sakit adalah ujian yang membezakan manusia menjadi dua; orang-orang yang bersyukur dia tetap beriman, gigih, tawakkal dan senantiasa menegakkan isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah Ta’ala; orang-orang yang kufur, dia bertawakkal kepada selain Allah saat berusaha, atau dia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.
Mari sejenak kita mengingat seraya tadabbur terhadap do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana kita dapati dalam hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
‘Abdul ‘Aziz dan Tsabit pernah menemui Anas bin Malik. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah (gelaran dari Anas), aku sakit.” Anas berkata, mahukah aku meruqyahmu (mengubatimu) dengan ruqyah Rasulullah SAW.” Tsabit pun menjawab, “Tentu.”
Lalu Anas membacakan do’a: “Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, Penghilang segala yang membahayakan, sembuhkanlah. Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh (berulang) lagi.” (HR. Bukhari & Muslim).
Perhatikan dan hayati, cermati dan renungi sepenuh keyakinan. Do’a ini diawali dengan pengakuan saat meminta, bahawa Allah SWT adalah Tuhannya seluruh manusia; Tuhan yang menciptakan semua manusia tanpa terkecuali. Penyebutan “rabb” merujuk kepada kedudukan Allah SWT sebagai pencipta yang Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Maha Memelihara.
Selanjutnya kita juga berikrar, menyatakan pengakuan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Menghilangkan segala sesuatu yang membahayakan. Maknanya adalah bahawa sesungguhnya Allah Ta’ala dan sungguh-sungguh hanya Allah SWT semata-mata yang Maha Kuasa untuk menghilangkan penyakit dan kesusahan pada diri setiap manusia. Kita mengawali do’a dengan mengatakan pengakuan kita bahwa hanya Allah SWT yang dapat menghilangkan segala kesusahan dan atas perkenan-Nya semata-mata segala upaya menghilangkan kesusahan akan dapat membawa manusia keluar dari kesusahan.
Pengakuan ini sekaligus sebagai pengharapan kita agar selain memberi kesembuhan, Allah SWT juga menghilangkan kesusahan. Kadang ada yang sembuh dari sakitnya, tetapi tidak hilang kesusahan mahupun bahaya dari dirinya. Maka kita mengawali do’a dengan menyatakan pengakuan bahawa sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menghilangkan Segala Kesusahan. Ini kita ikrarkan sesudah menyatakan pengakuan setulus-tulusnya bahawa Ia Rabb seluruh manusia kerana kita berharap Allah Ta’ala kurniakan kesembuhan dan sekaligus hilangkan kesusahan serta bahaya darinya.
Selanjutnya, barulah kita memohon kesembuhan dengan menyampaikan hajat kita, “Sembuhkanlah (اشْفِ)”. Sangat ringkas dan singkat kerana yang perlu kita mohonkan hanyalah yang paling pokok. Bukankah Allah Ta’ala Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Penyayang?
Sesudah itu, kita kembali menyatakan kalimat pengakuan dengan tatkala mengucapkan “أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا”. Inilah pengakuan yang saling menegaskan, saling menguatkan dan memurnikan pengakuan tauhid kita bahawa hanya Allah SWT dan semata-mata Allah sahaja yang menentukan kesembuhan. Tidak ada kesembuhan kecuali hanya dari-Nya.
Mari kita ingat kembali maknanya dan perhatikan dengan sepenuh keyakinan, “Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh (berulang) lagi.”
Inilah yang harus kita yakini. Ini pula yang harus kita pegangi kuat-kuat. Bila perlu kita gigit dengan gigi geraham kita agar keyakinan bahawa hanya Allah SWT dan semata-mata Allah SWT yang dapat memberikan kesembuhan kepada kita atau siapa pun yang sedang sakit. Maka kepada-Nya kita meminta pertolongan (isti’anah). Dan sesungguhnya isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) itu merupakan konsekuensi dari shalat kita; dari bacaan Fatihah kita. Bukan setiap shalat kita berikrar “hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”?
Apakah kita tidak boleh berubat? Boleh, bahkan harus. Apakah kita tidak perlu berubat? Sangat perlu sebagai bentuk tawakkal kita dan sikap tidak berputus asa dari rahmat Allah, bahkan ketika tampaknya sudah tidak ada harapan.
Nabi SAW bersabda: “Semua penyakit ada ubatnya. Jika sesuai antara penyakit dan ubatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim).
Dari Usamah bin Syariik RA, ia berkata: “Aku berada di samping Nabi SAW kemudian datang seseorang dan berkata, “Ya Rasullullah, apakah aku perlu berubat?”
Rasulullah SAW bersabda:“Ya, wahai hamba Allah, berubatlah Sesungguhnya Allah tidak memberikan penyakit, kecuali Allah juga memberikan ubatnya, kecuali untuk satu penyakit.”
Orang tersebut bertanya, “Ya Rasulullah, penyakit apa itu?”
Rasulullah SAW bersabda, “Penyakit tua.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali Allah juga menurunkan obatnya. Ada orang yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahuinya.” (HR Ahmad dan yang lainnya, shahih).
Ini mengisyaratkan bahwa berubat itu penting. Mencari tahu apa ubatnya juga penting. Tetapi harus kita ingat bahawa tidak akan pernah ada kesembuhan, kecuali dengan izin Allah Bi idzniLlah. Kesesuaian ubat dengan penyakit yang diubati itu jelas penting dan sungguh sangat penting. Tetapi jika Allah SWT tidak izinkan terjadi kesembuhan, maka kesembuhan itu tidak pernah terjadi. Kerana itu jangan takabbur dengan mengatakan, “Nggak usah repot-repot. Begitu merasa sakit, langsung saja kasih ini. Dijamin penyakitnya pasti kabur.”
Jangan pula berkata seolah dapat menentukan takdir, semisal, “Kemenangan hanya milik mereka yang mentalnya kuat. Jika Anda tenang dan mental Anda kuat, maka Anda pasti akan keluar sebagai pemenang melawan pandemik ini.”
Merinding (menggigil) rasanya ketika mendengar kalimat-kalimat semacam ini terus-menerus diucapkan manusia semenjak awal pandemik; dari yang muslim mahupun kafir, dari yang alergi (alahan) kepada agama mahupun yang tampak bersemangat kepada agama ini. Maka alangkah perlu kita menjaga diri dari syubhat-syubhat yang berkelebat (menjadi teman/sebutan).
Hari-hari ini banyak saudara kita yang sakit. Tidak sedikit pula justeru ada di antara kita yang sakit. Siapa pun itu, hendaklah sakit menjadikan kita semakin memurnikan tauhid, menjaganya dan memeganginya dengan kukuh. Kita berubat dengan segala upaya syar’i; melakukan langkah-langkah medis (mengubati) mahupun non medis yang dibenarkan oleh ilmu, yakni memiliki landasan ilmiah, tidak berputus asa terhadap pertolongan-Nya dan menguatkan isti’anah kita hanya kepada Allah Ta’ala seraya mengingat bahawa hanya Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa menyembuhkan siapa saja yang ia kehendaki.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan barakah. Semoga upaya-upaya kita, begitu pula keyakinan kita, tidak menyelisihi rangkaian ucapan do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana yang telah dituntunkan (diajarkan) oleh Rasullullah Muhammad SAW sebagaimana kita dapati dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tersebut.
Sumber: Mohammad Fauzil Adhim, https://www.hidayatullah.com/. Penulis buku ‘Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan’ dan pengajar Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu, Bekasi, Jawa Barat.
Recent Comments