SETIAP orang beriman, pasti memiliki keinginan, dan cita-cita mulia, serta harapan yang diidam-idamkan. Ketika Allah ‘azza wa jalla memanggil ke haribaan-Nya, ia dalam keadaan sukacita nan bahagia.
Allah redha menerimanya, dan ia pun ikhlas berserah diri menghadap-Nya. Itulah buah kepasrahan dan keyakinan akan indahnya sebuah “perjumpaan” dengan segala bekal yang telah dipersiapkan tentunya.
Pantaslah Rasulullah SAW mengajarkan do’anya untuk kita:“Sesungguhnya adalah hak Allah untuk mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan, oleh kerana itu bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah (dengan sebab musibah itu).” (HR: Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923).
Sejenak, diri ini teringat, saat orang dekat dan sahabat menasihati dengan tulusnya. “Kita tak pernah tahu dengan cara apa Allah ‘azza wa jalla memanggil kita pulang, tapi Allah tetap akan menanyakan sekuat apa dan seperti apa ikhtiar kita; berusaha untuk tetap sihat, dan berupaya untuk tetap bertahan.”
Dalam kondisi seperti ini, kita hanya boleh berdo’a: “Ya Allah berikan hamba jiwa raga yang nyaman dan tenang untuk bisa diajak beribadah hingga hamba dipanggil oleh-Mu. Tak mengapa terasa sakit badan ini, namun berikan kekuatan pertolongan dari sisi-Mu yaa Allah, kalau waktu ibadah menyeru hamba, lenturkanlah badan ini untuk bisa berdiri tegap dengan nikmat menyambut ajakan-Mu, ajakan untuk ruku’ dan sujud pada-Mu.”
Kerananya, betapa agung dan utamanya apabila diri ini memiliki sikap husnuz zhan billaah, yakni selalu berbaik sangka pada Allah ‘azza wa jalla. Tidaklah segala sesuatu yang terjadi, melainkan Dialah Dzat yang Maha mengetahui.
Semakin kita berbaik sangka pada Tuhan, maka Tuhan akan semakin sayang padamu. Kasih sayang-Nya tak terbatas, sedangkan kasih sayang makhluk-Nya sangat terbatas.
“Peliharalah bahagia walau sedikit, niscaya akan menyelamatkanmu. Buanglah luka jiwa walau sedikit, karena ia akan mencederai jiwa seumur hidupmu. Tak ada jalan lain yang lebih menenteramkan selain wajib bersabar dan memupuk rasa bersyukur,” demikian kata Imam Ibnu Qayyim dalam Muqaddimah ‘Iddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin (2010).
Apabila dihubungkan dengan taqdir, sabar dan syukur tetap menjadi kuncinya. Allah ‘azza wa jalla menjadikan kesabaran sebagai kuda handal yang tak akan terjungkal, sebagai pedang tajam yang tak akan tumpul, sebagai pasukan yang tak akan kalah, dan sebagai benteng kukuh yang tak akan retak dan roboh.
Demikian pula dengan syukur, ia selalu menghiasi seseorang dari segala bentuk kekurangannya. Taqdir hubungannya dengan Dzat yang Maha pencipta, sabar dan syukur adalah bentengnya ikhtiar manusia.
Menarik apa yang dituturkan Imam Al-Mawardi, sehubungan dengan hal ini: “Jika engkau bersabar, taqdir tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala atas kesabaranmu. Sementara jika engkau berkeluh kesah, taqdir juga akan tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan dosa atas keluh kesahmu.” (Lihat: Adabud Dunya wa ad-Din, hlm. 288).
Kembali ke persoalan akhir kehidupan, di mana kecintaan Allah ‘azza wa jalla saat dijumpai oleh seseorang di masa wafatnya, sangat tergantung pada seberapa jauh orang tersebut menunjukkan rasa cinta dan bahagia ketika menghadap Rabb-nya. Rasulullaah SAW menuturkan dalam sabdanya:
“Siapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya siapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, Allah pun membenci perjumpaan dengannya.” Dengan cepat ‘Aisyah [atau sebahagian isteri beliau] berkomentar: “kami juga cemas terhadap kematian!” Nabi pun langsung bertutur: “Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apa pun yang lebih ia cintai dari pada apa yang ada di hadapannya, sehingga ia begitu mencintai berjumpa dengan Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa dengannya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan dari pada apa yang ada di hadapannya, ia membenci berjumpa dengan Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallaahu ‘anh dan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa. Fathul Bari, no. 6142)
Hanya Allah-lah yang Maha segalanya, kita berharap Dia menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bahagia ketika menyambut “panggilan-Nya”. Wahai ikhwah, masih ingatkah orang-orang bijak mengingatkan … “Kehidupan ini laksana cerita pendek, kita berharap agar kita tidak berhenti pada episode yang menyedihkan.”. Amin.*/Teten Romly Qomaruddien
Sumber: Teten Romly Qomaruddien https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2021/07/15/212040/berharap-bahagia-saat-berjumpa-yang-dengan-allah.html
Recent Comments