Muhammad Hifni Sahila Rizqy, https://www.qureta.com/next/post/bahasa-dan-relasi-nya-terhadap-kekuasaan-politik
Bahasa adalah media bagi para penggunanya untuk saling berinteraksi. Bahasa adalah cerminan diri anda. Sosok dan diri anda dapat dinilai dan tercermin dari bagaimana anda menggunakan bahasa. Menurut Sudaryono, Bahasa merupakan sarana berkomunikasi secara efektif yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuannya. Manusia menggunakan bahasa sebagai tempat untuk melakukan komunikasi dan menjalin koneksi dengan manusia lainnya. Selain itu, manusia juga menggunakan bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu dalam hidupnya seperti meningkatkan status sosial bahkan untuk mendapatkan kekuasaan. Lantas, apa relasinya dengan kekuasaan? Politik?.
Telah dijelaskan di atas bagaimana pengertian daripada bahasa itu sendiri. Namun, bahasa sejat nya juga memiliki peranan penting dalam sebuah kekuasaan politik. Bahasa tidak hanya mengenai strata sosial mahupun hubungan komunikasi antara dua orang tetapi lebih dari itu, bahasa digunakan sebagai simbol mempertahankan kekuasaan. Para pemimpin di seluruh dunia menggunakan pidato sebagai sarana untuk melenggangkan legitimasi kekuasaannya. Mengapa pidato? Mengapa bisa bahasa dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan?. Hal tersebut dapat ditinjau dari peranan bahasa di mana pada sebuah pidato terdapat sebuah susunan kalimat dan cara para pemimpin tersebut mengolah dan mempermainkan kata serta isu dalam serangkaian agendanya.
Sejarah Bahasa dan Kekuasaan
Sebagaimana kekuasaan pada masa lampau, Bahasa menjadi faktor penting dalam membedakan dominasi kekuasaan politik. Dominasi atas kekuasaan ini terlihat dalam pemakaian bahasa tertentu dalam memproklamirkan atau mentasbihkan suatu kekuasaan atas sebuah bangsa atau organisasi parti politik dalam lingkup sosial.
Sejarah mengenai penggunaan bahasa sebagai media untuk memberikan legasi kekuasaan salah satunya dapat dirunut daripada penggunaan bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari seperti contoh, penggunaan bahasa sopan dalam berbahasa Jawa. Jika kita melihat, penggunaan bahasa sopan atau yang biasa disebut krama alus dalam berbahasa Jawa mengindikasikan serta menegaskan jika terdapat adanya dominasi antara kaum bangsawan terhadap warga pribumi biasa.
Thomas Raffles dalam buku nya yang berjudul The History of Java mengatakan jika bahasa sopan dalam berbahasa Jawa digunakan oleh kaum yang memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Bahasa sopan digunakan sebagai media komunikasi oleh kalangan rakyat biasa kepada kaum bangsawan pada saat itu. Kalangan kaum bangsawan pada konteks ini tak hanya melulu tentang orang yang kaya raya, bos mahupun atasan juga salah satu termasuk kaum bangsawan dan kaum dari kalangan rakyat kecil harus menggunakan bahasa sopan kepada mereka.
Bahkan pada zaman dulu terdapat sebuah peraturan yang berbunyi “tidak diperbolehkan untuk siapapun dan dari golongan apapun yang diizinkan bicara dengan atasan atau majikannya melainkan menggunakan bahasa kromo. Hal ini mengindikasikan jika penggunaan bahasa sopan oleh rakyat biasa kepada para bangsawan adalah merupakan suatu kewajiban hingga hampir melahirkan sebuah dogma.
Bahasa sehari-hari dalam tatanan masyarakat Jawa hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang lebih rendah yakni rakyat biasa yang tidak memiliki pendidikan yang cukup. Perihal penggunaan bahasa sopan yang wajib digunakan oleh masyarakat biasa kepada bangsawan menandakan bahawa bahasa memiliki peranan untuk mengukuhkan status sosial. Sehingga pada kes ini akan tampak para bangsawan bertindak sebagai penguasa atas rakyat biasa dalam struktur sosial suku Jawa pada masa itu. Aspek bahasa dalam hal ini berperanan sebagai pengukuhan kedudukan seseorang mahupun kelompok dalam strata sosial.
Bahasa dan Kekuasaan Politik
Penggunaan bahasa sebagai simbol untuk menegaskan serta mengkonstruksikan suatu kelompok atas kelompok lainnya dapat kita lihat sebagaimana penggunaan bahasa sopan di kalangan suku Jawa pada masa penjajahan. Dalam konteks relasi sosial, bahasa memiliki sifat language arbitrary yakni tidak adanya persamaan dalam hal peraturan gramatikal dan maknanya melainkan lebih fokus kepada maksud dan tujuan dari makna itu sendiri sehingga bahasa menjadi simbol kekuasaan yang bersifat simbolik.
Hal ini seperti dikatakan oleh Bordeau dalam bukunya yang berjudul Language and Symbolic Power. Bordeau menyatakan bahwa simbol-simbol ditinjau sebagai alat pengetahuan dan komunikasi sehingga akan memunculkan korelasi antara makna dan dunia sosial. Hal ini tentu tidak akan terlepas dari tindak pemaksaan terhadap kelas subdominan.
Dari definisi Bordeau di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahawa penggunaan bahasa dijadikan sebagai sebuah simbol sekaligus sebuah usaha serta cara untuk menuju dan meraih kekuasaan. Bahasa kerap kali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan jika kita lihat pada zaman dahulu seperti yang telah dicontoh kan mengenai penggunaan bahasa sopan dalam etnik Jawa. Pada saat ini, bahasa kerap kali dijadikan sebagai media untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaan oleh para petinggi dan politisi.
Bagaimana bahasa dimanfaatkan sebagai media bagi para penguasa atau politisi untuk mendapatkan kekuasaan? Sebagaimana diketahui politisi melakukan sebuah legitimasi dan permainan bahasa untuk menunjukkan eksistensinya. Seperti contoh, bentuk pronominan atau kata ganti yang digunakan untuk menyembunyikan asal atau orang yang bersangkutan.
Linda Thomas dan Shang Wareing dalam buku nya Bahasa dan Masyarakat memberikan sebuah analogi mengenai berubahnya kata “kami” menjadi “saya” dalam sebuah kalimat yang diujarkan oleh Presiden Amerika Serikat dahulu yakni George Bush dalam salah satu pidatonya yang berkaitan dengan aksi militer yang dilaksanakan oleh Angkatan bersenjata Amerika atas keizinannya. Perubahan kata dari “kami” dan “saya” merupakan salah satu strategi kebahasaan yang dimaksudkan untuk mempertegas kekuasaan Amerika.
Sama halnya dengan kes tersebut, di Indonesia pada zaman Orde Baru kita mengenal dengan adanya istilah “Waspada Bahaya Laten PKI” atau “PKI Perusak Pancasila”. Kedua kalimat tersebut seringkali terdengar dan digaungkan pada zaman rezim Orde Baru. Para penguasa saat itu menggunakan teknik bahasa sebagai sarana untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat serta menegaskan jika kekuasaan yang saat itu sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang cukup signifikan terlebih kepada masyarakat.
Contoh kasus lain ketika memasuki era period kekuasaan Presiden SBY. Kala itu, desas desus mengenai kasus Bank Century sedang hangat-hangatnya menyantap era kepemimpinan SBY. Hingga pada puncaknya isu mengenai Bank Century menjadi isu nasional dan diperbincangkan oleh banyak pihak. Penggunaan bahasa sebagai simbol dan juga sebagai media untuk mempertahankan kekuasaan jelas dapat terlihat saat SBY melakukan pidato mengenai keterkaitannya dengan isu Century kala itu.
Dalam pidato tersebut dapat terlihat SBY menggunakan pronominan yang digunakan untuk menyelamatkan kekuasaan dalam sebuah pembicaraan. Bahasa sebagai media untuk simbol memertahankan kekuasaan nampak terus berlanjut dan digunakan hingga saat ini. Tujuannya apa? Jelas sebagai simbol untuk mempertahankan sebuah kekuasaan.
Melalui bahasa, seseorang dapat menciptakan sebuah dominasi kekuasaan sebagai mana bahasa menjadi simbol kekuasaan pada masa zaman penjajahan. Bahasa sopan hanya boleh digunakan pada masyarakat Jawa pada zaman itu yang memiliki strata sosial yang tinggi termasuk bangsawan dan para pejabat. Masing-masing strata sosial memiliki peranannya tersendiri dalam menggunakan dialektika bahasanya. Penggunaan bahasa sebagai simbol juga tercermin oleh perilaku pemegang kekuasaan.
Seperti Presiden Bush dalam meyakinkan publik akan tujuan agresi militer kepada Kuwait. Pun, SBY yang meyakinkan masyarakat mengenai isu Century. Asalkan hal tersebut sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh penguasa maka bahasa yang terkonstruksikan pun akan memiliki sebuah tendensi yang kuat atas banyaknya konflik kepentingan.
Sumber : Muhammad Hifni Sahila Rizqy, https://www.qureta.com/next/post/bahasa-dan-relasi-nya-terhadap-kekuasaan-politik
Recent Comments