Pandemik COVID-19 bermuara pada krisis multidimensi. Konstruksi argumentasi dari hipotesis tersebut bermula dari kajian The Varieties of Democracy memaparkan bahawa situasi krisis yang dimunculkan oleh pandemik COVID-19 memicu terjadinya krisis sosial dan kemunduran demokrasi di berbagai belahan negara. Sebanyak  48 negara berIsiko tinggi, 34 negara berisiko sedang, dan 47 negara masuk kategori rendah. Indonesia masuk dalam negara dengan risiko menengah.

Harari, dalam tulisannya berjudul The World After Coronavirus menyebutkan bahawa pandemik COVID-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan otoritarianisme. Hal ini yang membuat munculnya kekuatiran masifnya penyebaran wabak virus tak hanya membahayakan kesihatan, tetapi juga mengancam stabilitas demokrasi.

Ini kerana beberapa negara menerapkan tindakan yang sangat eksesif dengan alasan memutus mata rantai penyebaran pandemik. Terjadi abnormalitas dalam demokrasi, masyarakat di masa krisis tak lagi mengkuatirkan diskriminasi, pembatasan sosial dan kekerasan oleh aparat, sebab atas nama kesihatan beberapa oknum melanggar norma demokrasi secara legal.

Banyak pihak pun mulai menilai bahawa norma yang berlaku dalam demokrasi tidak efektif diterapkan dalam kebijakan penanggulangan wabak virus. Bahkan, indeks demokrasi di Indonesia dalam rentang waktu 2020 – 2021 mencapai titik terendahnya dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) memaparkan indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 6.4 di tahun 2019 menjadi 6.3 di tahun 2020.

Pandemik telah mengekspos kelemahan yang meluas dalam sistem politik, kesihatan, ekonomi dan koordinasi multilateral pada tingkat global. Akibat kompleksitas tersebut, pembuat kebijakan di semua tingkatan telah dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah di seluruh dunia harus mencapai keseimbangan antara melindungi kehidupan dan mata pencarian hingga menjaga stabilitas politik.

Covid 19, Xenofobia dan Rasisme

Xenofobia dan rasisme muncul di tengah pandemik COVID-19 di sejumlah negara. Rasanya, sejarah selalu berulang. Ketika wabak Black Death menyerang Eropa pada abad ke-14, yang menewaskan tak kurang dari 25 juta orang atau sekitar 40 persen penduduk saat itu, orang-orang Yahudi dituding sebagai penyebabnya. Ini adalah ledakan kebencian terhadap orang Yahudi yang sudah muncul pada masa sebelumnya. Maka, anti-semitisme makin menjadi-jadi. Padahal, penyakit ini berasal dari Asia Tengah dan China.

Ketika pecah epidemik kolera pada 1832, yang menewaskan ratusan ribu orang di Eropah dan Amerika Utara – 100.000 orang New York atau sekitar separuh penduduk kota itu – para imigran Ireland yang dituding sebagai penyebarnya. Akibatnya, muncul gelombang anti-imigran. Korela merajalela di perkampungan-perkampungan miskin yang penduduknya dominan dihuni imigran.

Hal serupa sekarang dimainkan dengan virus COVID-19. Mengapa ini terjadi? Berdasarkan sebuah studi pada 2019, yang kemudian diterbitkan oleh jurnal Social Psychological and Personality Science, paparan penyakit menular dapat meningkatkan ketegangan rasial. Apabila di suatu kawasan merebak wabak yang mudah menular, orang cenderung berpihak kepada komunitas yang sama – entah itu warna kulit, ras, etnis, bahkan agama – dan menolak orang atau komunitas yang berbeda.

Menurut studi itu, orang cenderung menunjukkan tingkat kesukuan tertentu dalam kehidupan. Hal itu juga terjadi dalam politik, olahraga, teori konspirasi, dan banyak lagi. Orang juga cenderung takut pada hal-hal yang tidak mereka mengerti. Sering kali lebih mudah untuk membuat narasi yang sesuai dengan zon  kenyamanan, kapasitas intelektual, atau ideologi seseorang. Oleh kerana itu, tidak menghairankan bahawa pandangan rasis atau xenofobik akan muncul dari ketakutan dan kecenderungan mempertahankan diri.

Bukan tidak mungkin xenophobia dan konflik rasial yang terjadi di Amerika juga mengancam Indonesia akibat pandemi COVID-19 yang seakan tak berujung. Konflik dapat terjadi jika situasi krisis diiringi dengan terjadinya kelangkaan dan ketimpangan. Ketidakpastian kebijakan dalam menanggulangi wabak virus dapat memicu terjadinya perasaan frustasi atau ketidakpuasan sosial dalam masyarakat. Apabila perasaan frustasi atau ketidakpuasan sosial ini berkembang dan meluas maka faktor internal dapat memberikan motif perilaku antagonistik yang mungkin dapat diperkuat oleh faktor lain.

Indonesia dengan 300 kelompok etnik atau suku bangsa bagaikan sebuah padang rumput kering di tengah musim kemarau. Potensi perilaku terpendam saling membenci dapat muncul sewaktu-waktu.

Mitigasi Pandemi

Indonesia menghadapi wabak virus dengan respon awal yang buruk. Pemerintah tak optimal melakukan mitigasi krisis multidimensi yang dimunculkan oleh pandemi COVID-19. Gagap mendiagnosis kejadian-kejadian tak terduga akibat penyebaran wabak virus yang tiba-tiba hingga berhujung malapetaka.

Hampir dua tahun pandemik bercokol di Indonesia, kegagapan masih terus berlanjut. Tampak pada penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang justeru menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.

Dalam konteks politik, seringkali alasan “penanganan krisis” menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan dan regulasi tanpa melalui proses pembahasan di legislatif, dan parahnya dalih “hoax” pun menjadi pembenaran pemerintah untuk membatasi kebebasan berpendapat di tengah badai pandemi. Perilaku pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19 berdampak pada kemunduran demokrasi di Indonesia.

Begitu pula pada aspek sosial, pemerintah gagap menghadapi konflik horizontal yang muncul seperti kasus jenazah COVID-19 yang ditolak pemakamannya oleh warga hingga pada kasus korupsi dana bantuan sosial yang baru-baru ini terjadi.

Masyarakat justeru dibuat terombang-ambing dengan kebijakan mitigasi yang berubah-ubah. Berbagai peraturan yang berubah-ubah dan perbedaan pendapat dalam tubuh pemerintah justeru menunjukkan bahawa pemerintah gagal berkoordinasi. Implikasinya kendati semua peraturan tersebut berorientasi meningkatkan protokol kesihatan, yang terjadi justeru sebaliknya, iaitu prosedur penanggulangan yang tak beraturan.

Hal yang perlu dan penting dilakukan oleh pemerintah di tengah situasi krisis ini adalah memperbaiki kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan buruk berakibat merosotnya kebijakan mitigasi pandemi. Merosotnya kebijakan penanggulangan, mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat hingga berhujung pada apatisme dan frustasi masyarakat. Akibatnya, penyebaran wabak virus sulit dibendung.

Selain itu, pemerintah perlu melibatkan partisipasi banyak pihak, mulai dari organisasi masyarakat, tokoh agama, hingga organisasi kepemudaan. Pelibatan tersebut dimulai dari ranah hulu hingga hilir. Ranah hulu meliputi perencanaan mitigasi sedangkan ranah hilir adalah tindakan pencegahan hingga sosialisasi yang massif. Elemen organisasi masyarakat, tokoh agama hingga organisasi kepemudaan sebetulnya dapat membantu pemerintah untuk mengatasi krisis multidimensi yang dimunculkan oleh pandemi COVID-19.

Kapabilitas pemerintah sedang diuji dari caranya membendung pandemik. Kita dapat melihat bahawa kualitas kepemimpinan dan partisipasi tak hanya menjadi kunci hadapi pandemik, melainkan juga menjadi aspek penting untuk menyelamatkan demokrasi dan mencegah krisis multidimensi. Jangan sampai demokrasi mati akibat pandemik.

Sumber: Yayan Hidayat,  https://www.qureta.com/next/post/badai-pandemi-covid-19-dan-krisis-multidimensi

Translate »