Berdusta merupakan salah satu penyakit lisan yang sangat tidak baik bagi diri sendiri mahupun orang lain. Berdusta yang dalam bahasa Arab disebut ُالكَذِب (al-Kadzib) dimaksudkan sebagai menyampaikan khabar yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada atau meniadakan sesuatu kenyataan yang semestinya ada. Salah satu ciri munafik yang pernah Nabi Muhammad  SAW sampaikan kepada kita adalah “Bila bercakap ia berdusta.”

Satu kebohongan akan menyeret kepada kebohongan berikutnya guna menutupi kebohongan yang pertama. Hal demikian terus berlanjut hingga disedari atau tidak, kebohongan menjadi kebiasaan yang tidak pernah lepas dari kehidupannya. Kejujuran adalah pintu masuk ke dalam syurga, sedangkan kedustaaan merupakan pintu masuk ke dalam api neraka.

Rasulullah SAW bersabda, yang bermaksud: “Jujurlah kalian, karena jujur merupakan salah satu pintu surga dan berhati-hatilah kalian terhadap kedustaan, karena dusta merupakan salah satu pintu Neraka.” (HR: Al-Khatib).

Berdusta memiliki beberapa bentuk. Tidak terbatas pada ucapan sahaja. Dusta dalam ucapan hanya satu dari sekian bentuk. Mari kita ketahui apa saja bentuk dusta dan akibat yang ditimbulkannya.

Dusta dalam percakapan. Berdusta dalam percakapan merupakan sifat yang buruk seperti mengaku beriman tapi kepribadiannya tidak menunjukkan jatidiri sebagai orang beriman. Allah SWT berfirman yang bermaksud : Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Baqarah : 08).

Sehubungan dengan hal ini, Imam Ghazali pernah berkata : “Siapa yang mengaku tentang empat hal tanpa empat hal lainnya maka ia adalah seorang pendusta: (1) mengaku cinta Surga tapi tidak beramal kebaikan, ia pendusta; (2) mengaku cintakan Nabi Muhammad SAW tapi tidak mencintai para ulama dan kaum miskin, ia pendusta; (3) mengaku takut pada api neraka tapi tidak meninggalkan maksiat, ia pendusta;  dan (4) mengaku cinta Allah SWT tapi mengeluhkan ujian yang menimpa dirinya, ia pendusta.”

Dusta dalam janji. Janji harus ditepati, tidak boleh dilanggar. Janji kepada Allah SWT mahupun janji kepada sesame manusia, keduanya harus kita penuhi. Janji yang telah diucapkan dalam kaitan memegang suatu amanah berupa jabatan, misalnya, memiliki konsekuensi. Dia harus mempersiapkan pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.

Allah SWT berfirman yang bermaksud : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS: Al-Israa’ : 34).

Terkait dengan dusta kedua ini, disebutkan dalam sebuah riwayat, dari Abdullah bin ‘Aamir bahwa ia berkata :  “Ibuku pernah memanggilku pada suatu hari, sementara Rasulullah SAW sedang duduk di rumah kami.” Lalu Ibuku berkata : ‘Kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.’ Rasulullah SAW bertanya kepadanya : “Apa yang hendak Engkau berikan?” Ia berkata : “Aku akan memberinya kurma.” Maka Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu tidak memberikan sesuatu kepadanya, niscaya akan dicatat bagimu sebagai suatu kedustaan.“ (HR: Abu Dawud).

Ada pula dusta dalam persaksian. Hal ketiga ini tidak ubahnya seperti bersaksi palsu. Ia sembunyikan fakta yang sesungguhnya. Lalu, ia sampaikan kesaksian yang tidak seiring dengan kenyataan yang ia lihat dan ketahui. Ia tutup-tutupi fakta yang sebenarnya.

Dampak dari tindakan jahat ini sungguh sangat merugikan orang lain. Gara-gara dusta dalam persaksian, orang yang mestinya tidak bersalah dinyatakan bersalah, sementara orang yang bersalah dinyatakan benar.

Allah SWT berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS: An-Nisaa’ : 135)

Keempat, dusta dalam tuduhan. Nyaris sama dengan jenis dusta ketiga, dusta dalam tuduhan ini bermaksud menyampaikan tuduhan tanpa didasari oleh bukti dan saksi pendukung, hanya berdasarkan suka dan tidak suka kepada yang bersangkutan atau kerana ada masalah peribadi. Menyampaikan tuduhan kepada orang yang tidak layak disalahkan merupakan hal yang sangat tercela.

Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS:Al-Hujurat : 06)

 

Oleh sebab itu, tuduhan yang bersifat fitnah tidak boleh sama sekali kita percayai, kerana jelas akan menimbulkan keburukan pada orang yang difitnah. Penting sekali bagi kita untuk meneliti secara mendalam setiap informasi (berita atau maklumat) tentang keburukan orang lain, tidak begitu sahaja kita telan bulat-bulat.

Sebagai penutup, kita semak kutipan dari Sayidina Umar bin Khattab RA yang berbunyi : Jujurlah walaupun kerananya engkau terbunuh. Jika kerana jujur saya menjadi hina, itu lebih saya sukai daripada saya menjadi terhormat kerana kebohongan.”

Kita memohon bersama kepada Allah SWT agar menjadikan lisan kita tidak berkata-kata kecuali yang benar, jujur, jauh dari dusta dan kebohongan dalam segala jenisnya.

 

Sumber: disesuaikan daripada “Khutbah Jumaat: Dusta, Jenis dan Dampaknya” oleh  Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil, https://www.hidayatullah.com/

Translate »