Arnab Goswami, pimred [pimpinan redaksi – ketua pengarang] Republic TV dan secara luas dianggap sebagai media India yang setara dengan Tucker Carlson dari Fox News, bertanya kepada jutaan pemirsanya [penontonya): mengapa Saya, seorang jurnalis Australia yang tinggal di Amerika Serikat, tidak ditangkap karena diduga “salah melaporkan” kejahatan kebencian di India.

Pertanyaan saya ialah – mengapa hukum India tidak menindak CJ Werleman?” tanya Goswami dalam segmen ‘Unfollow Twitter’ yang disiarkan pada Jumat.

Poin Goswami adalah mengapa pihak berwenang India tidak menuntut saya, seperti yang dilakukannya terhadap tiga jurnalis Muslim India. Mereka – termasuk kolumnis Washington Post , Rana Ayub – dan tiga anggota Kongres Muslim, karena membagikan video di Twitter.

Video tersebut menunjukkan seorang Muslim tua dipukuli oleh geng Hindu di Haryana; sebuah serangan yang saya, mereka, korban dan keluarganya sebut sebagai kejahatan kebencian bermotif agama, yang disangkal oleh polisi di negara bagian Uttar Pradesh yang dikuasai Partai Bharatiya Janata (BJP).

Pemerintah memanfaatkan bantahan polisi untuk menuntut jurnalis [wartawan] dan anggota kongres karena “menyebarkan informasi salah yang bertujuan memicu ketegangan agama”.

Majalah The Wire mengatakan bahawa pihaknya mendukung para jurnalisnya yang melaporkan serangan tersebut. Dalam pernyataannya, The Wire mengatakan ini adalah “upaya untuk mengkriminalisasi pelaporan apapun selain versi resmi insiden.” Serta bahawa pelaporan itu “berdasarkan laporan akurat dan benar, oleh banyak organisasi media, tentang apa yang dikatakan korban kejahatan itu sendiri tentang insiden tersebut.”

Namun yang dimainkan di sini adalah upaya yang diatur oleh pemerintah India untuk menutupi dan membungkam Muslim. Serta orang lain yang berbicara menentang kejahatan kebencian yang semakin meningkat oleh nasionalis Hindu pro pemerintah terhadap Muslim. Islam merupakan satu dari banyak minoritas agama lain di India yang tertindas oleh demokrasi terbesar di dunia.

Pemerintah India tidak hanya menekan Twitter untuk melarang jurnalis dan aktivis HAM yang melaporkan kejahatan kebencian anti-Muslim. Partner pemerintah, organisasi nasionalis Hindu, juga mengancam perusahaan dengan kekerasan.

Tahun lalu, ketika Dr Gregory Stanton memperingatkan bahwa “persiapan” untuk genosid (pembunuhan beramai-ramai) terhadap Muslim di India dan Kashmir sedang berlangsung. Tanggapan dari komunitas internasional tidak bisa lebih acuh tak acuh, meskipun Dr Stanton dianggap sebagai otoritas terkemuka dalam genosid.

Ada banyak alasan untuk percaya bahawa peringatannya kini semakin mendekati kenyataan. Bahkan masuk akal untuk menyimpulkan bahwa situasi yang dihadapi Muslim India saat ini dengan cepat menyusul realitas yang dialami Uighur.

Konspirasi Islamofobia

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri, Narendra Modi, di seluruh negeri para imam dikriminalisasi dan ditangkap atas tuduhan palsu; masjid-masjid diserang; dan konspirasi Islamofobia telah menjadi dasar bagi undang-undang baru yang mendiskriminasi umat Islam.

Pernikahan beza agama dilarang; kematian Muslim dalam tahanan meningkat; dan hukuman mati tanpa pengadilan terjadi dengan frekuensi yang besar. Ada 10 serangan massa yang terpisah terhadap Muslim sejak 1 Mei.

Eskalasi permusuhan terhadap Muslim ini dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan dan pencabutan status otonomi Kashmir. Tetapi hari ini kita menyaksikan ‘pembezaan’ minoritas agama di semua lini (peringkat) dan di semua tingkat masyarakat India.

Bulan lalu, polis  Uttar Pradesh menangkap Umar Guatam, seorang imam yang dulunya non-Muslim. Dia dituduh secara paksa memualafkan 1.000 orang Hindu selama 35 tahun, meskipun tidak seorang pun dari mereka mengaku dipaksa menerima Islam.

Di bawah undang-undang anti pindah agama yang kejam di negara bahagian, beban pembuktian bukan pada jaksa [proses pengadilan] tetapi pada Muslim yang dituduh. Membuat Muslim harus memberi bukti ketidakbersalahan mereka, kalau tidak negara akan menetapkan mereka bersalah.

Undang-undang anti pindah agama berjalan seiring dengan UU ‘Jihad Cinta’ yang baru disahkan, yang melarang pernikahan antara agama. Kedua UU semakin memajukan teori konspirasi Islamofobia yang menuduh pria Muslim mempermainkan wanita Hindu untuk menikahi mereka sebagai bahagian dari upaya mengubah India menjadi kekhalifahan Islam.

Di New Delhi, para pedagang kaki lima Muslim dihentam dan diboikot oleh pesaing Hindu yang telah diradikalisasi oleh teori konspirasi ‘Jihad Pedagang Kaki Lima’. Yang tentu saja parallel [selari] dengan ‘Jihad Tanah’, ‘Jihad Ekonomi’, ‘Jihad Corona’, ‘Jihad Sejarah’ dan ‘Jihad Media’.

Ketka Muslim diserang dan dipukuli oleh gerombolan Hindu karena konspirasi kebencian ini, mereka tidak memiliki sistem peradilan pidana [jenayah] yang simpatik.

Departemen kepolisian negara itu sedang diradikalisasi oleh pasukan nasionalis Hindu. Sebuah kenyataan yang terlihat dengan meningkatnya kematian dan penyiksaan Muslim dalam tahanan polis baru-baru ini.

Sebuah laporan terbaharu tentang penyiksaan dan kematian di penjara di seluruh dunia mengungkapkan bahwa 1,731 orang tewas dalam tahanan pasukan keamanan India dan petugas koreksi pada 2019, dengan sebahagian besar korban berasal dari komunitas minoritas, terutama Muslim dan Dalit.

Perlu juga dicatat bahawa petugas polisi berpartisipasi dalam pembunuhan 52 Muslim selama Kerusuhan Delhi 2020. Dengan laporan pencarian fakta yang mengutip “contoh pelecehan seksual terhadap wanita Muslim oleh polisi dan juga contoh polisi yang terlibat dalam kekerasan dan pelecehan langsung. ”.

Sementara peristiwa terpisah ini sendiri tidak sama dengan genosid, yang jelas adalah bahawa tahun 2020-an telah mewakili dekad kehidupan yang berbahaya bagi 200 juta Muslim di India.*

Sumber: CJ Werleman,  https://www.hidayatullah.com/

 

Translate »