Semestinya saat kita mendengar nama seseorang yang memiliki gelar tertentu (entah dia itu presiden, menteri, anggota dewan, gabenur, bupati, kepala desa, ustaz, dosen (pensyarah), dan semua yang dianggap bergelar), gambaran yang hadir di benak (dalam fikiran) kita adalah tentang hal-hal yang baik.

Misalnya, saat kita mendengar nama pak Jokowi (sebagai orang yang saat ini menjabat sebagai presiden) disebut, maka yang selayaknya tergambar dalam benak kita adalah seseorang yang mencintai rakyatnya, mengayomi (menjaga) rakyatnya, mendengarkan segala keluh kesah rakyatnya, dan mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Demikian pula tatkala kita mendengar seseorang yang menyebut nama pak menteri, anggota dewan, pak gabenur, pak bupati, pak ustaz, dan yang lainnya, maka yang seharusnya hadir di benak kita adalah perilaku-perilaku yang baik, dan bukan justeru malah yang di sebaliknya.

Kerana kenapa, mereka semua (para pemilik gelar) adalah orang-orang yang terdidik dan berpengetahuan yang memang sudah sewajarnya menyandang predikat (kedudukan) yang seperti disebutkan itu.

Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat lama hidup di dunia pendidikan dan sudah melewati berbagai macam bentuk gemblengan yang tentu saja dengan proses yang sangat panjang.

Gelar yang menempel di depan dan di belakang nama mereka itu juga pastinya bukan sesuatu yang mereka boleh dapatkan secara instan (segera). Melainkan ada banyak pengorbanan dan energi (usaha) yang mereka kerahkan sehingga mereka boleh mendapatkannya.

Dan dalam perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan itu pasti banyak pelajaran hidup dan hikmah yang sudah mereka dapatkan. Mereka sudah pasti banyak melalui rintangan dan cobaan. Mereka juga pasti sudah pernah berada pada kondisi (keadaan) merasa ingin berhenti, namun karena mereka memiliki keinginan kuat sehingga mereka boleh bangkit lagi.

Sehingga berbekal dari apa yang sudah pernah mereka lalui itu sudah seharusnya mampu membuat mereka berperilaku baik dan berbudi pekerti. Mereka seharusnya sudah boleh menjadi panutan (teladan), setiap yang mereka katakan sudah semestinya patut untuk didengarkan oleh semua orang kerana bersesuaian dengan nilai-nilai akal sihat manusia, dan sudah sepantasnya apa yang mereka instruksikan (anjur/cadang/saranan) layak untuk dijalankan oleh setiap orang karena sudah melalui proses pertimbangan yang matang.

Mereka seharusnya mampu melakukan itu semua. Dan merekalah yang juga seharusnya paling layak untuk merepresentasikan (menunjukkan) apa yang pernah diungkapkan oleh Tan Malaka ini, “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.”

Namun sayangnya, realitas justeru malah berbicara sebaliknya. Fakta yang paling sering kita temukan terkait dengan orang-orang yang bergelar ini justeru malah jamak dari mereka yang dekat dengan kes-kes yang menyimpang.

Kita tentu tidak perlu repot-repot (bersusah payah) segala untuk membahas siapa saja tokoh-tokoh dunia yang banyak terlibat dalam kes-kes kriminal (jenayah). Yang jelas keberadaan (kemunculan) mereka dalam lembaran-lembaran sejarah jumlahnya tidak sedikit.

Melainkan cukuplah bagi kita untuk membicarakan tentang apa yang ada di negara kita sendiri. Karena bagaimana mungkin kita boleh untuk tidak merasa malu pergi ke pelbagai pelosok negeri demi membuktikan bahawa sebuah kekuasaan, jabatan, ataupun gelar yang dimiliki oleh seseorang tidak lantas akan membuatnya berperilaku yang baik, sedangkan di negara kita sendiri sudah ada begitu banyak fakta yang boleh dijadikan sebagai buktinya.

Sebagaimana yang terdapat dari berbagai sumber dikatakan bahawa jumlah kes criminal (jenayah) yang terjadi di negara kita ini di mana pelakunya adalah para petinggi negara, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh publik lainnya bukan main banyaknya.

Kasus korupsi misalnya, di mana pelakunya adalah para pejabat kita sendiri. Di kutip dari pencatatan yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) disebutkan selama tahun 2020 pada period  semester satu terdapat 169 kasus korupsi yang sudah terjadi.

Catatan tersebut berdasarkan pada hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW sejak 1 Januari hingga 30 Jun  2020. Sementara kita tahu kes kriminal seperti korupsi sudah bertahun-tahun lamanya terjadi di negara tercinta kita ini. Sehingga boleh dibayangkan betapa banyaknya jumlah kes yang ada dan betapa melimpahnya pejabat kita yang mata duitan jika seluruh kes korupsi yang pernah terjadi kita akumulasikan (kumpulkan).

Kemudian ada pula kes pelanggaran UU ITE, yang juga tidak luput dari keterlibatan para tokoh publik kita. Sedikit informasi tentang UU ITE, undang-undang ini sejatinya ditujukan kepada mereka yang melakukan pelanggaran seperti mencemarkan nama baik seseorang atau kelompok tertentu, memprovokasi, memfitnah, dan sebagainya.

Berdasarkan pada data yang dikeluarkan oleh Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) disebutkan sejak bulan Januari hingga Oktober 2020 terdapat 35 kes pelanggaran UU ITE. Bahkan dari 35 kes tersebut sejumlah tokoh agama kita juga ikut terlibat di dalamnya. Sungguh sebuah fakta yang benar-benar sangat disayangkan. Mereka yang seharusnya menciptakan kedamaian di hati banyak orang justeru malah melakukan hal yang sebaliknya.

Dan pastinya masih banyak lagi kes-kes kriminal lainnya yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gelar tertentu yang ada di negara kita ini. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi contoh yang baik bagi banyak orang justeru malah menjadi bahan gosipan di mana-mana.

Alih-alih keperibadian mereka semakin terbentuk kerana sudah berhasil melalui berbagai macam rintangan dan gemblengan (sebagaimana yang sudah disebutkan di paragraf sebelumnya), mereka justeru malah dibuat terlena oleh gelar yang mereka miliki dan membuat mata hati mereka menjadi buta.

Gelar yang sudah berhasil mereka miliki semestinya mereka manfaatkan untuk kepentingan banyak orang, bukan malah menjadikannya sebagai perisai untuk melindungi diri sehingga merasa bebas untuk bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Jika ia adalah seorang presiden, maka seharusnya ia lebih mengutamakan panggilan rakyat yang sedang mengalami musibah dan selalu dalam keadaan siap untuk melihat langsung kondisi yang sedang mereka alami, bukan malah lebih memilih untuk menghadiri acara pernikahan kedua orang aktris yang serba mewah.

Ataupun jika ia adalah seorang menteri, maka seharusnya sikap yang paling layak untuk ia tunjukkan kepada semua orang adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sebagai salah satu orang yang berdiri di baris depan dalam melawan tindakan korupsi, bukan malah menjadi pelaku korupsi itu sendiri.

Dan seperti itu pula jika ia adalah seorang tokoh agama yang memiliki pengikut yang banyak, maka perdamaian dan toleransi seharusnya menjadi motivasi utamanya dalam mensyiarkan ajaran-ajaran Tuhan, bukan malah mengajak banyak orang untuk ribut-ribut di tengah jalan dan menciptakan kemacetan (keresahan) hanya karena demi tegaknya keyakinan yang ia perjuangkan atas dasar keegoisan.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari keberadaan orang-orang seperti mereka, yang seharusnya paling lantang menyuarakan keadilan tapi malah mereka sendiri yang sering kali tampil sebagai pelaku kezaliman? Nihil.

Sejatinya, bangsa kita ini tidak mengalami kemajuan dan bahkan malah semakin terpuruk tidak lain kerana dikongkong oleh berbagai macam permasalahan yang diciptakan oleh manusia jenis seperti mereka.

Hal ini juga bisa menjadi bukti yang nyata bagi kita bahawa sebuah gelar yang dimiliki oleh seseorang betapapun tingginya tidak lantas akan menjadikan pemiliknya jadi manusia yang berakhlak. Karena akhlak jauh lebih mahal dari apapun, dan menjadikan gelar sebagai tolok ukur akan berakhlaknya seseorang sama halnya merendahkan nilai akhlak itu sendiri.

 

Sumber: https://www.qureta.com/next/post/bergelar-tak-berarti-berakhlak

Translate »