PADA hari Selasa (8/6/2021), saya mengisi acara diskusi di forum LMD Masjid Salman ITB Bandung, melalui media daring. Temanya: “Sekulerisasi dan Islamisasi Ilmu”. Pesertanya sekitar 200 mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia.
Seperti biasa, saya menguraikan keunikan konsep ilmu dalam Islam. Khususnya, konsep ilmu Islam yang integral, dengan mengintegrasikan tiga sumber ilmu: pancaindera, akal, dan berita yang benar (khabar shadiq). Juga, seputar kedudukan dan porsi ilmu dan adab, serta konsep “maraatibul ilmi”.
Bahwa, ilmu itu ada tingkatan-tingkatan derajatnya. Tidak semuanya sama kedudukannya. Karena itu, diperlukan adab untuk dapat menempatkan ilmu-ilmu itu pada tempatnya yang tepat.
Dalam sesi diskusi, ada puluhan mahasiswa mengajukan diri untuk bertanya. Di antara pertanyaannya adalah tentang susahnya dakwah di masa kini, khususnya di dunia kampus.
Menurut si penanya, saat ini terjadi dominasi sekulerisme dalam dunia pendidikan dan keilmuan, sehingga terasa susah mengembangkan dakwah dan keilmuan Islam.
Pertanyaan semacam ini sering saya terima dalam berbagai diskusi di kampus. Menjawab pertanyaan semacam itu, saya ingin memberikan perspektif yang tidak pesimis. Bahwa, sebenarnya, saat ini, dakwah Islam itu sudah sangat berkembang di kampus-kampus. Jauh lebih berkembang dibandingkan era 1970-1990-an.
Kajian-kajian Islam sudah sangat marak. Bahkan, program-program studi ekonomi Islam, psikologi Islam, sudah diselenggarakan di sejumlah universitas.
Tapi, tentu saja, yang dihadapi umat Islam bukan sekedar masalah percaturan pemikiran tingkat lokal, tetapi sudah pada tingkat global. Ini adalah percaturan peradaban. Khususnya antara peradaban sekuler dengan peradaban Islam.
Dalam bidang keilmuan, ilmu-ilmu sekuler yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu memang masih terus dipaksakan kepada para mahasiswa muslim. Padahal, jalan Pendidikan sekuler ini sudah terbukti tidak memberikan solusi yang komprehensif bagi kehi dupan umat muslim.
Sayangnya, banyak umat Islam, bahkan kalangan cendekiawannya yang belum yakin dengan keunggulan konsep keilmuan dan pendidikan Islam, sehingga masih membanggakan perguruan tinggi sekuler.
Padahal, bahaya ilmu-ilmu sekuler sudah sangat nyata. Yakni, terjadinya “confusion of knowledge” (kekacauan ilmu). Dalam berbagai diskusi dengan para mahasiswa saya menangkap adanya “kerancuan pikir” dan “kegalauan” tentang situasi yang sedang dihadapi.
Inilah gejala dari fenomena “loss of adab”. Yakni, ketidakpahaman tempat yang tepat dari segala sesuatu dan bagaimana menyikapinya dengan betul.
Ilmu-ilmu dan pendidikan sekuler memang masih dominan. Tetapi, sudah mulai tampak kegagalan-kegagalannya dalam memberikan solusi bagi kehidupan. Akibatnya, muncul kepanikan dan ketakutan terhadap Islam secara berlebihan (Islamofobia). Jangan heran, jika yang mereka lakukan adalah mencari “kambing hitam” untuk disalahkan.
Menghadapi sutuasi seperti ini, sepatutnya, umat Islam tidak perlu ikut panik. Cukup tenang saja, bekerja sebaik-baiknya, dengan memberikan contoh-contoh (keteladanan) dalam berbagai bidang kehidupan. Kepanikan sekulerisme harus disambut dengan karya nyata yang merupakan perwujudkan pemikiran dan akhlak mulia.
****
Dalam kondisi seperti ini, umat Islam tidak boleh kehilangan wawasan yang mendasar dan menyeluruh tentang akar masalah umat dan solusinya. Memahami persoalan “loss of adab” bukan perkara sederhana. Bagaimana meletakkan masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sebagainya, dengan tepat, memerlukan ilmu dan kebijakan (hikmah).
Masalah politik dan ekonomi umat Islam sangatlah penting. Tetapi, masalah yang lebih mendasar adalah apa yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
Kemiskinan memang masalah. Tetapi, jika kemiskinan hilang, dan pada saat yang sama, penyakit cinta dunia masih bercokol, maka kekayaan yang dimilikinya akan membawa musibah bagi diri dan masyarakatnya.
Kekuasaan itu penting. Tetapi, jika orang muslim tidak dapat menggunakan kekuasaannya dengan benar dan bijak, maka kekuasaan itu bisa menjadi bencana. Begitu pula dengan ilmu yang tinggi atau popularitas yang luas. Salah menempatkan atau salah menggunakannya bisa berdampak buruk bagi masyarakat.
Inilah yang pernah ditulis oleh tokoh muslim AS, Syaikh Hamza Yusuf dalam akun media sosialnya, bahwa Prof. Naquib al-Attas adalah pemikir yang memberikan pengaruh terbesar pada pemikirannya; dalam hal memahami krisis yang menimpa umat Islam dan cara untuk mengatasinya:
“I have been Muslim now for 42 years, I can say with a great deal of conviction that Syed Naquib al-Attas is probably the greatest influence on my understanding on the crisis in the Muslim world and also, of what needs to be done in order to heal that crisis.”
InsyaAllah, jika umat Islam memahami akar masalahnya, dan berjuang untuk mengatasinya dengan ikhlas, sabar, dan sungguh-sungguh, maka keunggulan peradaban Islam tidak mungkin akan terhalangi. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 8 Juni 2021).*
Sumber: Dr. Adian Husaini, https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2021/06/20/210603/kepanikan-sekularisme.html
Recent Comments