Syeikh Yusuf al-Qaradhawi (lahir 9 September 1926) adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh di dunia. Pemikiran dan karya tulisnya memberikan pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam. Termasuk umat Islam di Indonesia.

Hal ini terlihat dari majoriti karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dikaji secara meluas. Di antara karyanya yang amat dikenal di Indonesia adalah: Fikih Zakat, Fikih Jihad, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran, Distorsi Sejarah Islam, Halal dan Haram dalam Islam, Ibadah dalam Islam, Fikih Prioritas, dan banyak lagi.

Dan di antara pemikirannya yang cukup unik dan sangat baik adalah mengenai konsep ‘fikih’. Fikih bukan dalam makna terminologis (istilah), tetapi ‘fikih’ yang disebutnya dengan ‘fikih baru’ (fiqh jadīd).

Inilah fikih yang sangat diperlukan umat hari ini. Iaitu fikih yang tidak berkaitan dengan hukum syariat yang bersifar parsial, seperti: hukum bersuci (thaharah), najasah (membersihkan najis), ibadat, muamalat, hukum pernikahan, talak (cerai), menyusui (radhā‘), dan sebagainya. Tetapi fikih yang banyak bermunculan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang maksudnya adalah: fikih (pemahaman yang mendalam) mengenai ayat-ayat (tanda kekuasaan Allah) dan fikih sunnah-sunnah-Nya di dalam alam, kehidupan dan masyarakat. (Lihat, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Awlawiyyāt al-Harakah al-Islāmiyyah fī al-Marhalah al-Qādimah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1412/1992), 21-25).

Karena demikian itu, Syeikh al-Qaradhawi menegaskan bahwa ada ‘lima’ bentuk fikih yang dibutuhkan, yaitu: (1) Fiqh as-Sunan (memahami hukum-hukum Allah di alam), (2) Fiqh Marātib al-A‘māl (fikih tertib atau urutan amal), (3) Fiqh al-Ikhtilāf (fikih beda pendapat), (4) Fiqh al-Muwāzanāt (fikih timbang amal), dan (5) Fiqih al-Awlawiyyāt (fikih prioritas/fiqih keutamaan).

Berkaitan dengan Fiqh al-Muwāzanāt, maka terdiri dari dua level, yaitu: Pertama,  fiqh as-syar‘i (fikih syariat) yang berdiri di atas pemahaman yang mendalam terhadap teks-teks syariat dan tujuan utamanya (ini berkaitan pula dengan fiqh al-maqāshid; Kedua, fiqh al-wāqi‘ (fikih realitas), yang dibangun di atas studi realitas kehidupan secara mendalam dan meliputi segala lini ulasan dan pembahasannya. (Prof. Dr. al-Qaradhawi, Awlawiyyāt al-Harakah al-Islāmiyyah, 26).

Itu adalah diantara ragam fikih yang menjadi usulan Syeikh al-Qaradhawi. Dan yang amat menjadi perhatian mantan Ketua Ulama Sedunia ini adalah fiqh al-aawiyyāt (fikih prioritas).

Urgensi Fikih Prioritas

Dalam bahasa Syeikh al-Qaradhawi adalah fiqh al-awlawiyyāt yang maksudnya adalah: meletakkan segala sesuatu pada kedudukannya (martabatnya) yang tepat. Sehingga tidak mengakhirkan sesuatu yang seharusnya dikedepankan (diutamakan) atau sebaliknya; tidak mengecilkan urusan yang besar dan membesarkan perkara kecil.

Contoh mengenal hal ini, misalnya, amat jelas dalam sirah nabawiyyah. Di mana di fasa Makkah visi dan misi Rasulullah SAW adalah dibatasi pada dakwah kepada Allah SWT. Fokus utamanya adalah akidah (tauhid). Karena di dalam Islam posisi akidah lebih diutamakan daripada amal. Karena akidah adalah fondasi sementara amal adalah bangunan. Maka, satu bangunan tidak akan kokoh berdiri tanpa fondasi. Setelah akidah tegak barulah disusul dengan berbagai bentuk amal yang levelnya bertingkat-tingkat (berbeda-beda) pula. (Syeikh al-Qaradhawi, Awlawiyyāt al-Harakah al-Islāmiyyah, 34, 35).

Satu hal yang menjadi perhatian Syeikh al-Qaradhawi ketika menawarkan urgensi “fikih prioritas” adalah kondisi umat Islam. Di mana model fikih ini hilang dari kebanyakan mereka, terutama dari apa yang dikenal dengan  gerakan ‘kebangkitan islam’ (as-shahwah al-islāmiyyah). Sehingga gerakannya hanya fokus pada perkara-perkara cabang (furū‘) dengan melupakan perkara inti dan utama (ushūl); memikirkan hal-hal parsial dari perkara kulli (sejagat); sibuk pada hal-hal yang diperdebatkan dan menyingkirkan hal yang telah disepakati; kita menuntut perkara darah seekor nyamuk namun membiarkan darah Husain mengucur; kita sibuk bertengkar perkara sunnah tetapi banyak orang menyia-nyiakan perkara yang wajib; atau sibuk dengan casing namun melupakan isi alias esensi. Itulah kondisi umum umat Islam hari ini, kata Syeikh al-Qaradhawi. (Syeikh al-Qaradhawi, Awlawiyyāt al-Harakah al-Islamiyyah, 37).

Kondisi di atas memang umum terjadi. Dan tentu saja ini sebuah kesalahan besar. Karena tak memahami skala prioritas inilah maka umat bekerja, bergerak, dan beramal bahkan berjuang tanpa arah, tanpa target bahkan tak jarang yang nihil alias tanpa hasil.

Lebih menyedihkan lagi, adalah umat ini seperti daun kering. Suara mereka berisik, sukar disatukan, sulit diikat tetapi mudah diprovokasi dan “dibakar” oleh pihak lain. Maka, amat mudah mereka berselih ketimbang bersatu.

Padahal bersatu-padu itu merupakan kewajiban (farīdhah) sementara berpecah-belah merupakan sebentuk kejahatan alias tindak kriminal (jarīmah). (Lebih luas, lihat Syeikh al-Qaradhawi, as-Shahwah al-Islāmiyyah bayna al-Ikhtilāf al-Masyrū‘ wa at-Tafarruq al-Madzmūm (Kairo: Dār as-Syurūq, 1421/2001), 20-40).

Sejatinya, Islam tidak melarang beda pendapat dalam hal-hal yang sifatnya furū‘ (cabang) dan ijtihadi. Ini tak mungkin dibendung. Karena para sahabat Nabi saja berbeda pendapat dalam hal-hal demikian. Namun mereka tidak sampai saling-mencela antara satu dengan lainnya. (Syeikh al-Qaradhawi, as-Shahwah al-Islāmiyyah bayna al-Jumūd wa at-Tatharruf (Kairo: Dār as-Syurūq, 1421/2001), 126, 127).

Nah, dengan melihat kondisi umat yang semakin hari semakin butuh panduan, usulan Syeikh al-Qaradhawi mengenai “fikih prioritas” amat urgen untuk diterapkan secara luas. Karena problem kehidupan umat hari ini amat kompleks. Segala lininya butuh sentuhan “fikih prioritas”. Karena skala prioritas dalam ranah pemikiran, sosial, ekonomi, politik dan lainnya, sudah lama tidak benar alias rusak bin error.

Beberapa fenomena di negara-negara Arab-Islam, misalnya, amat menyedihkan. Hal-hal yang berkaitan dengan seni dan hiburan lebih diutamakan daripada hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan pengajaran. Para pemudanya lebih perhatian kepada olahraga badan (jasmani) tetapi melupakan olahraga otak. Padahal manusia disebut manusia bukan karena sisi jasmaninya, melainkan karena faktor akal dan jiwanya.

Belum lagi yang disebut “bintang masyarakat” (mungkin istilahnya public figure) ternyata bukan ulama, tidak pula para pemikir dan para dai, tetapi para aktor dan aktris, pemain bola dan sejenisnya.

Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, lebih sibuk mengurusi dan menyoroti mereka dan tetek-bengek kehidupannya. Padahal kebanyakannya adalah “sampah”. Selain mereka sengaja tidak disorot bahkan dilupakan.

Lihatlah bagaimana pemberitaan media jika seorang artis mati. Sepanjang hari diberitakan. Namun ketika seorang ulama wafat, atau seorang pujangga wafat atau professor terkenal wafat, maka tak seorang pun ambil perhatian. Semua orang cuek.

Untuk urusan seni dan olahraga wang dihambur-hamburkan. Di saat yang sama lembaga pendidikan butuh biaya tak diperhatikan. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Abdullah ibn al-Muqaffa‘: “Tidaklah aku mendapati ada perilaku boros melainkan di sudut lain ada hak yang dihilangkan!” (Lihat, Syeikh al-Qaradhawi, Fī Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fī Dhau’ al-Qur’ān wa as-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1416/1996), 14-15).

Beberapa realita di atas sejatinya sudah cukup untuk menjelaskan betapa umat ini butuh kepada “fikih prioritas”. Fikih yang akan menyadarkan mereka bahwa telah banyak waktu yang terbuang, banyak kesempatan yang disia-siakan, banyak uang yang dihamburkan, dan banyak kesempatan yang tak bermakna.

Semuanya hilang dan sirna tanpa makna karena tidak tahu mana yang terpenting, mana yang penting, dan mana yang tidak penting. Semoga sedar kita belum terlambat.

Sumber: Qosim Nurseha Dzulhadi, https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2021/06/12/209978/syeikh-al-qaradhawi-dan-urgensi-fiqih-prioritas.html

Translate »