Prof Dr Samsul Nizar menulis:

Mungkin dunia sudah tua, seirama semakin anehnya perilaku isi alam. Bagai kepikunan menerpa, ternyata aktiviti isi alam (termasuk manusia) meski tua, namun berperilaku seperti anak-anak.

Di sisi lain, manusia moden acapkali lupa sejarah. Meski Bung Karno memberi nasihat melalui JASMERAH, namun semua hanya ada dalam teori belaka.

Secara historis, dunia berkembang demikian pesat tak boleh dilepaskan dari peradaban Islam era keemasan. Berbagai temuan ilmiah dan karya tulis menjadi simbol peradaban saat itu dan menjadi warisan bagi era sekarang.

Kekayaan temuan dan tulisan (meski melalui tulisan tangan) mampu merubah air sungai Tigris berubah hitam akibat tinta karya tulis ulama saat itu. Sedangkan kaum anti budaya tulis dimainkan oleh bangsa Mongolia (Barbar) yang hanya senang pada budaya real-hedonis.

Demikian konteks Indonesia. Banyak sejarah negeri ini hilang akibat budaya tulis yang rendah. Justeru sejarah Indonesia sedikit “terselamatkan” oleh budaya tulis bangsa Belanda. Apakah sejarah lalu akan dilanjutkan oleh generasi sekarang untuk ditonton oleh generasi yang akan datang ?

Ternyata “kepikunan” peradaban sedang terjadi. Ada beberapa indikasi “kepikunan”sedang terjadi, antara lain; Pertama, rendahnya penghargaan atas karya tulis, baik pada level atas, menengah, apatah lagi bawah. Beda dengan zaman keemasan Islam tatkala khalifah Bani Abbasiyah (di antaranya Harun ar-Rasyid) menghargai kitab ulama dengan timbangan berat emas.

Sesama intelektual berlomba menemukan dan membangun peradaban, tanpa rasa iri hati dan dengki. Perbedaan bukan untuk dibicarakan versi subyektif diri. Perbedaan melahirkan karya tulis yang menambah khazanah ilmu. Lihatlah kitab Tahaful al-Falasifah karya Imam al-Ghazali memperoleh respon ilmiah dari Ibn Rusyd yang melahirkan kitab Tahafut Tahafut. Tak ada yang menghabiskan  tenaga untuk saling membantah dan menghujat dalam debat tanpa literasi.   Namun, sayangnya saat ini justeru mengalami “kepikunan”. Tatkala penulis justeru “memberikan hadiah” agar tulisannya boleh diterbitkan, apalagi bisa “mengambil hati” sang penguasa bernama “Scopus dan variannya”agar bisa hadir dalam “jubah kebesaran Scopus”.

Kedua, rendahnya perhatian atas publikasi dan apresiasi atas karya tulis. Justeru saat ini apresiasi dan respons karya tulis telah dikalahkan oleh unggahan selfi, informasi aktivitas diri, gurauan yang melampaui usia, cerita lucu, atau berita suka dan duka yang silih berganti.

Sepertinya, tradisi ABS masih akan lama bertahan di muka bumi. Mungkin “kepikunan” peradaban telah memiskinkan manusia untuk boleh hanya sekedar berucap atau memberi apresisasi melalui berbagai emoji. Bila aspek ini saja sudah tak mampu, apatah lagi apresiasi dalam wujud materi.

Namun, bila kuasa telah ada, karya biasa menjadi luar biasa. Sementara tanpa apa-apa, sejuta kebenaran yang berkualitas syurga tak ada ertinya. Padahal, disandarkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda “Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan dilihat siapa yang bicara”.  Terlepas apakah teks di atas hadis atau bukan, namun substansinya mengajarkan melihat kebenaran boleh hadir dari siapa saja, bukan dilihat dari sosok siapa.

Ketiga, karya tulis bergeser menjadi karya web dengan biaya murah (cenderung gratis) membuat karya tulis ilmiah dikalahkan oleh ceramah tujuh minit yang jelas angkanya. Ternyata, tren bahasa lisan kembali diminati  ketika alat tulis canggih telah ditemukan. Akibatnya, karya tulis kurang diminati dan tak lagi menjadi andalan sumber kehidupan menghadapi dunia yang serba materi.

Bila pun ada, tulisan yang menyedot perhatian acap kali didominasi alur fiksi. Bererti, dunia mimpi masih terbuka dengan peluang yang menjanjikan. Namun, apakah kerana kepikunan membuat umat ingin tertidur dan ingin bermimpi lebih panjang lagi.

Sungguh, “kepikunan” telah menyerang dan mendera peradaban moden. Meski kadang terselip ingin tertawa atas fenomena yang ada. Namun, mungkin inilah era yang telah diciptakan manusia dengan budaya pura-pura atau pura-pura berbudaya ? Entahlah. Tak ada yang tau apa makna semua ini.

Biarlah Allah SWT dengan skenarionya mempertontonkan apa yang patut ditonton. Bila tontonan baik, gunakan untuk memperbaiki diri. Bila tontonan bernilai jelek, maka jauhi dan tinggalkan.

Akankah “kepikunan” peradaban ini akan terus dilanjutkan untuk diwariskan pada generasi yang akan datang, atau sudah saatnya diri menjadi sihat dan cerdas yang terhindar dari kepikunan yang berkarat ? Tak ada yang mampu menjawab, kecuali oleh setiap diri yang mampu bertafakkur atas kedhaifan diri di hadapan Allah Yang Maha Sempurna. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.

Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini – Kepikunan Peradaban – Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Translate »