Beberapa waktu yang lalu ada peristiwa horor yang terjadi di rumah warisan kakek-nenek saya. Andini, saudara sepupu saya, mengambil foto dari arah belakang ibunya. Di arah depan ada dua bibi saya. Yang satu sedang duduk, dan yang satu lagi sedang berdiri dengan mengenakan baju biru.

Selesai memfoto, Andini bertanya kepada ibunya dengan nada terheran-heran: “Mah, orang yang ada di samping beh elis ini siapa?” Di lingkungan keluarga kami, sosok yang berdiri di samping bibi saya (beh elis yang mengenakan baju biru) ini memang tidak pernah dikenal.

Tidak ada yang tahu siapa perempuan yang ada di samping bibi saya itu. Keberadaannya mengundang tanda tanya. Anda boleh menduga ini sebagai efek kamera. Yang jelas, sebagai orang yang tahu tentang isi rumah, saya bisa menafikan dugaan itu.

Bajunya beda, gaya rambutnya beda, dan ekspresi wajahnya juga beda. Meskipun warna kulit hampir bisa dibilang sama. Menurut saya, bukan hal yang mustahil kalau perempuan yang berdiri tegak di samping bibi saya itu adalah jelmaan dari jin. Jin yang sedang menyerupakan dirinya dengan seorang manusia.

Dalam keyakinan umat Islam, jin diyakini sebagai makhluk yang memiliki kelebihan. Di antara kelebihannya, dia boleh merubah wujud sesuai dengan rupa dan bentuk yang dikehendakinya. Karena itu, meminjam terminologi ilmu kalam, perubahan jin menjadi seorang manusia itu tergolong kedalam perkara yang mumkin (kontingen).

Mengapa dikatakan mumkin? Karena kemungkinan terjadi atau tidaknya itu bersifat setara. Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Mungkin begitu, mungkin bukan.

Dengan kata lain, kejadian tersebut boleh benar-benar nyata demikian. Boleh jadi juga yang terjadi itu berbeda dengan apa yang kita sangkakan. Itu namanya perkara mumkin. “Sesuatu yang kedua sisinya bersifat setara dalam ada dan ketiadaannya” (mastawâ tharafâhu wujûdan wa ‘adaman).

Contohnya seperti penjelmaan jin tadi. Boleh jadi itu adalah jelmaan jin, tapi boleh jadi juga kalau itu bukan jelmaan dari jin, melainkan terjadi oleh sebab-sebab yang lain. Karena itu peristiwa tersebut kita yakini sebagai sesuatu yang mumkin.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana kalau sekarang ada orang yang memandang kejadian itu sebagai kejadian yang mustahil? Perlu dijelaskan terlebih dulu, bahawa yang dimaksud dengan mustahil ialah sesuatu yang tidak akan pernah ada, atau tidak menerima keadaaan karena dirinya sendiri (mâ lâ yaqbal al-Wujûd lizhatihi).

Sebagai contoh, semua manusia berakal di dunia ini pasti tahu bahwa angka dua pastilah lebih kecil dari angka empat. Adakah angka dua yang lebih besar dari angka empat, lima, enam, dan seterusnya? Dengan tegas kita akan berkata tidak. Atas dasar itu, keberadaan angka dua yang lebih besar dari angka empat adalah mustahil.

Apa itu mustahil? Sekali lagi, yang disebut mustahil ialah sesuatu yang tidak menerima keadaan, karena dirinya sendiri. Penyertaan frasa “karena dirinya sendiri” perlu ditambahkan agar kita boleh membedakan antara yang disebut sebagai mustahîl lidzâtihi dengan mustahîl lighairihi.

Yang saya maksud dengan mustahil dalam hal ini ialah yang pertama, bukan yang kedua. Karena yang kedua itu, pada dasarnya, masih tergolong mumkin lidzâtihi.

Kembali pada pertanyaan pertama: Apakah penyerupaan jin yang menjadi manusia itu tergolong sebagai sesuatu yang mustahil? Logik yang sehat akan mengatakan tidak. Mengapa? Karena akal kita sendiri tidak mencegah adanya kemungkinan itu.

Tidak ada hukum akal yang dilanggar kalau kita berkeyakinan bahwa penampakan manusia itu adalah jelmaan dari jin. Peristiwa semacam itu mungkin saja terjadi. Kalaupun dikatakan mustahil, kemustahilan itu disebabkan karena sesuatu yang lain (dan itulah yang dimaksud dengan mustahîl lighairihi), bukan mustahil karena dirinya sendiri (mustahîl lizhâtihi). Atas dasar itu, sesuatu yang mumkin tidak bisa dikatakan mustahil. Dan begitu juga sebaliknya.

Lalu, apakah dia tergolong ke dalam wajib? Erti dari wajib, menurut para ahli ilmu kalam, ialah sesuatu yang keberadaannya bersifat niscaya. Jika mustahil kita ertikan sebagai sesuatu yang tidak menerima keadaan, maka yang disebut wajib ialah sesuatu yang tidak menerima ketiadaan (baca: tidak dimungkinkan untuk ada), karena dirinya sendiri.

Pertanyaannya, bisakah kejadian tersebut kita katakan sebagai sesuatu yang wajib? Jawabannya sama dengan jawaban sebelumnya. Mengapa boleh begitu? Karena penyerupaan jin itu tidak bersifat pasti. Boleh jadi demikian, boleh jadi tidak. Ertinya, kendatipun benar bahwa itu adalah penjelmaan dari jin, akal kita masih memungkinkan adanya kemungkinan lain. Dan karena itulah peristiwa tersebut kita yakini sebagai sesuatu yang mumkin. Bukan wajib, bukan mustahil.

Masing-masing dari ketiga hukum akal ini tak boleh dicampuradukkan. Kalau Anda memandang sesuatu yang mumkin sebagai wajib, atau yang wajib sebagai mustahil, atau sebaliknya, maka itulah yang oleh para ahli ilmu kalam disebut dengan istilah qalbul haqâiq.

Secara harfiah, istilah itu bermakna “pemutar-balikan hakikat/kebenaran”. Anda mengatakan A sebagai B, tapi Anda juga mengatakan B sebagai A. Sedar atau tidak, pandangan seperti itu sudah menyalahi kewarasan berfikir.

Dalam ilmu logik, kita mengenal hukum identitas (qânûn al-Huwiyyah/law of identity). Hukum yang menyatakan bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri (al-Syai huwa huwa), bukan sesuatu yang lain. Kalau Anda mengatakan ini meja, dalam saat yang sama tidak bisa Anda berkata bahwa ini adalah baju.

Mengapa? Karena itu menyalahi hukum identitas. Meja adalah meja. Baju adalah baju. “Sesuatu itu adalah dirinya sendiri”. Begitulah ketentuan dari hukum identitas.

Begitu juga halnya dengan penjelasan yang penulis uraikan di atas. Kalau Anda memandang peristiwa penyerupaan jin menjadi manusia itu sebagai sesuatu yang mumkin, maka Anda tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah perkara yang mustahil ataupun wajib.

Mengapa? Jawapannya sejalan dengan hukum identitas di atas, yang menyatakan bahawa sesuatu itu adalah dirinya sendiri. Yang wajib itu wajib, yang mustahil itu mustahil, yang mumkin itu mumkin. Yang satu berbeda dengan yang lain.

Keberadaan Tuhan itu wajib, mumkin, atau mustahil? Dengan pertanyaan yang lebih jelas, keberadaan Tuhan itu bersifat niscaya, boleh ada biasa tiada, atau tidak dimungkinkan untuk ada? Jika Anda memandang keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang mumkin, maka Anda harus menjelaskan sebab keberadaannya kalau dia ada, atau sebab yang meniadakannnya kalau dia memang tidak ada.

Kalau Anda tidak boleh membuktikan sebab itu, bererti pilihan Anda ditolak. Kerana segala sesuatu yang mumkin pastilah bergantung pada suatu sebab.

Kalau Anda memandang keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang mustahil, maka Anda harus menjelaskan di mana letak kemustahilannya. Adakah hukum akal yang dilanggar manakala kita percaya dengan keberadaan Tuhan?

Bolehkah Anda membuktikan pelanggaran itu? Para teologi telah menulis ratusan buku untuk mendiskusikan hal ini. Ijtihad intelektual mereka berakhir dengan kesimpulan bahawa keberadaan Tuhan bersifat niscaya.

Dalam bahasa ilmu kalam, Tuhan itu disebut sebagai wâjibul wujûd (necessary being). Karena keberadaan-Nya bukan disebabkan oleh sesuatu yang lain, melainkan karena dirinya sendiri. Kalau tidak demikian, maka Tuhan akan menjadi akibat dari suatu sebab.

Dan kalau sudah menjadi akibat maka gugurlah sudah ketuhanannya. Karena di sana akan ada suatu ketergantungan. Dengan alasan itulah Tuhan disebut sebagai wujud yang wajib (wâjibul wujûd). Dan sesuatu yang wajib, sekali lagi, tidak boleh kita sebut mumkin apalagi mustahil.

Kalau Anda memandang sesuatu yang wajib sebagai mumkin, atau yang mumkin sebagai mustahil, atau sebaliknya, maka itulah yang disebut dengan qalbul haqâiq (pemutar-balikan hakikat/kebenaran). Kerana itu menyalahi hukum identitas, yang menyatakan bahawa sesuatu itu adalah dirinya sendiri.

Alhasil, yang wajib itu harus dikatakan wajib, yang mumkin itu mumkin, dan yang mustahil itu mustahil. Hukum yang satu berbeda dengan hukum yang lain.

 

Muhammad Nuruddin, https://www.qureta.com/next/post/apa-itu-qalbul-haqaiq

Translate »